PANCASILA

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Translate

• Perdana menteri Syahrir II

 Sutan Syahrir 

 

 

Masa Revolusi Nasional Indonesia

Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.
Di masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.
Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."
Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan.
Perjuangan Kita adalah karya terbesar Syahrir, kata Salomon Tas, bersama surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. Manuskrip itu disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, "Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan."
Terbukti kemudian, pada November ’45 Syahrir didukung pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Syahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
  
Penculikan

Penculikan Perdana Menteri Sjahrir merupakan peristiwa yang terjadi pada 26 Juni 1946 di Surakarta oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda. Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh, sedangkan kabinet yang berkuasa hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.
Kelompok Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka dari Partai Komunis Indonesia. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras.
Presiden Soekarno sangat marah atas aksi penculikan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan kelompok tersebut. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan.
Tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14 pimpinan penculikan.
Presiden Soekarno marah mendengar penyerbuan penjara dan memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan penculikan. Lt. Kol. Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala (koppig).
Kelak Let. Kol. Soeharto menjadi Presiden RI Soeharto dan menerbitkan catatan tentang peristiwa pemberontakan ini dalam buku otobiografinya Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya.
Lt. Kol. Soeharto berpura-pura bersimpati pada pemberontakan dan menawarkan perlindungan pada Mayjen Soedarsono dan ke 14 orang pimpinan di markas resimen tentara di Wiyoro. Malam harinya Lt. Kol. Soeharto membujuk Mayjen Soedarsono dan para pimpinan pemberontak untuk menghadap Presiden RI di Istana Presiden di Jogyakarta. Secara rahasia, Lt. Kol. Soeharto juga menghubungi pasukan pengawal Presiden dan memberitahukan rencana kedatangan Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak.
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal.

Setelah kejadian penculikan Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri, tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno. Namun pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946.
Tanpa Syahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia nyalakan. Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Syahrir tidak berdaya apa-apa.
Syahrir mengakui Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat. Soekarno-lah pemersatu bangsa Indonesia. Karena agitasinya yang menggelora, rakyat di bekas teritori Hindia Belanda mendukung revolusi. Kendati demikian, kekuatan raksasa yang sudah dihidupkan Soekarno harus dibendung untuk kemudian diarahkan secara benar, agar energi itu tak meluap dan justru merusak.
Sebagaimana argumen Bung Hatta bahwa revolusi mesti dikendalikan; tak mungkin revolusi berjalan terlalu lama, revolusi yang mengguncang ‘sendi’ dan ‘pasak’ masyarakat jika tak dikendalikan maka akan meruntuhkan seluruh ‘bangunan’.
Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan wajah bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan.
Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap melakukan propaganda bahwa orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, menculik, dll. Karena itu sah bagi Belanda, melalui NICA, menegakkan tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II. Mematahkan propaganda itu, Syahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.
Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan ditodong pistol oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Karena geram, dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli.
Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.
Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir bersama Agus Salim berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan India dan Mesir.
Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Eelco van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.
Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu sebagai kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki.
Syahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat.
Syahrir mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang. Pimpinan delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus Nicodemus Palar (L.N.) Palar sampai tahun 1950.
  
Partai Sosialis Indonesia

Selepas memimpin kabinet, Sutan Syahrir diangkat menjadi penasihat Presiden Soekarno sekaligus Duta Besar Keliling. Pada tahun 1948 Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan komunis internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan mendasarkan pada ajaran Marx-Engels, namun ia menentang sistem kenegaraan Uni Soviet. Menurutnya pengertian sosialisme adalah menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia.
  
Hobi dirgantara dan musik

Meskipun perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering dijuluki Si Kancil, Sutan Syahrir adalah salah satu penggemar olah raga dirgantara, pernah menerbangkan pesawat kecil dari Jakarta ke Yogyakarta pada kesempatan kunjungan ke Yogyakarta. Di samping itu juga senang sekali dengan musik klasik, di mana beliau juga bisa memainkan biola.

Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun 1958, hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga 1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu Syahrir diijinkan untuk berobat ke Zürich Swis, salah seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito menghantarkan beliau di Bandara Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo degan air mata, dan akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.
  
Karya
  1. Pikiran dan Perjuangan, tahun 1950 (kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat Rakyat” dan majalah-majalah lain, tahun 1931 – 1940)
  2. Pergerakan Sekerja, tahun 1933
  3. Perjuangan Kita, tahun 1945
  4. Indonesische Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan surat-surat dan karangan-karangan dari penjara Cipinang dan tempat pembuangan di Digul dan Banda-Neira, dari tahun 1934 sampau 1938).
  5. Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Indonesische Overpeinzingen oleh HB Yassin)
  6. Out of Exile, tahun 1949 (terjemahan dari ”Indonesische Overpeinzingen” oleh Charles Wolf Jr. dengan dibubuhi bagian ke-2 karangan Sutan Sjahrir)
  7. Renungan dan Perjuangan, tahun 1990 (terjemahan HB Yassin dari Indonesische Overpeinzingen dan Bagian II Out of Exile)
  8. Sosialisme dan Marxisme, tahun 1967 (kumpulan karangan dari majalah “Suara Sosialis” tahun 1952 – 1953)
  9. Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan pada Asian Socialist Conference di Rangoon, tahun 1953)
  10. Karangan–karangan dalam "Sikap", "Suara Sosialis" dan majalah–majalah lain
  11. Sosialisme Indonesia Pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir diterbitkan oleh Leppenas)

 Jabatan
  1. Perdana Menteri pertama Republik Indonesia
  2. Ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI)
  3. Ketua delegasi Republik Indonesia pada Perundingan Linggarjati
  4. Duta Besar Keliling (Ambassador-at-Large) Republik Indonesia
 Referensi

  • Legge, J.D. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan. Peranan Kelompok Sjahrir. Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1993.
  • Lampau dan Datang. Pidato Mohammad Hatta pada penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada, 1956
  • Mangunwijaya, Y.B. Dilema Sutan Sjahrir: Antara Pemikir dan Politikus. Prisma, Agustus 1977.
  • Mengenang Sjahrir, disunting oleh H. Rosihan Anwar. Jakarta, Gramedia, 1980.
  • Rudolf Mrazek. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996.

• Perdana menteri Syahrir I

Sutan Syahrir

Sutan Syahrir (ejaan lama:Soetan Sjahrir) (lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909 – meninggal di Zürich, Swiss, 9 April 1966 pada umur 57 tahun) adalah seorang politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Ia meninggal dalam pengasingan sebagai tawanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Syahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari |Koto Gadang, Agam. Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Syahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka.

Syahrir mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, dan membetahkannya bergaul dengan berbagai buku-buku asing dan ratusan novel Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel De Boer (kini Hotel Natour Dharma Deli), hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih.
Pada 1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat.
Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Syahrir menjadi seorang bintang. Syahrir bukanlah tipe siswa yang hanya menyibukkan diri dengan buku-buku pelajaran dan pekerjaan rumah. Ia aktif dalam klub debat di sekolahnya. Syahrir juga berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit.
Aksi sosial Syahrir kemudian menjurus jadi politis. Ketika para pemuda masih terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada tanggal 20 Februari 1927, Syahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia. Kongres monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.
Sebagai siswa sekolah menengah, Syahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis. Dalam kenangan seorang temannya di AMS, Syahrir kerap lari digebah polisi karena membandel membaca koran yang memuat berita pemberontakan PKI 1926; koran yang ditempel pada papan dan selalu dijaga polisi agar tak dibaca para pelajar sekolah.
Syahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam. Di sana, Syahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-sungguh ia berkutat dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi Syahrir, meski sebentar. (Kelak Syahrir menikah kembali dengan Poppy, kakak tertua dari Soedjatmoko dan Miriam Boediardjo).
Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal Syahrir yang mencari teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan hidup secara kolektif – saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional.
Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di awal 1930, pemerintah Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional, dengan aksi razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan agar pergerakan jangan jadi melempem lantaran pemimpinnya dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan lewat tulisan. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik.

"Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju kemerdekaan," katanya.
Pengujung tahun 1931, Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir segera bergabung dalam organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya. Pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia praktekkan di tanah air. Syahrir terjun dalam pergerakan buruh. Ia memuat banyak tulisannya tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Ia juga kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Hatta kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932, segera pula ia memimpin PNI Baru. Bersama Hatta, Syahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal tinimbang Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.
Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Syahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Bandaneira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.

Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif.
Sastra, seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Syahrir, menulis:
Di bawah kepemimpinan Syahrir, kami bergerak di bawah tanah, menyusun kekuatan subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan tibanya saat-saat psikologis untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan.

Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh pasukan Sekutu. Syahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio tak bisa menangkap berita luar negeri karena disegel oleh Jepang. Berita-berita tersebut kemudian ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Syahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang.
Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah menyerah, Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan pada 24 September 1945.
Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI adalah bikinan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.

• Peristiwa MALARI 1974


 Peristiwa MALARI 1974


Ekstrem Kanan Langganan Orde Baru

Peristiwa Malari di Senen Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.

Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.

Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin Soetopo Juwono digantikan oleh Yoga Sugama.

Moertopo dan Peristiwa Malari

Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks Masyumi yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari.
Inginnya ekonomi tumbuh, syaratnya stabilitas, caranya represif, alatnya tuduhan ekstrem kanan.

Orde Baru adalah orde yang bertekad melaksanakan pembangunan untuk nantinya menjadi ideologi pembangunan sebagaimana ditulis Adam Scwarz dalam A Nation in Waiting. Pada masa awal orde baru ada dua kubu dalam hal kebijakan strategi pembangunan. Kubu pertama adalah kubu yang menekankan pada pemerataan, dimotori oleh Hatta. Seperti kita ketahui Hatta dengan gagasan koperasinya menitikberatkan pembangunan pada aspek pemerataan.

Yang kedua adalah kubunya Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, beserta kawan-kawannya yang lulusan University of California Berkeley, sehingga sementara kalangan pengamat menjulukinya sebagai 'mafia Berkeley'.

Kubu kedua ini sangat mengagungkan pembangunan ekonomi melalui pertumbuhan dengan harapan nantinya akan terjadi trickle down effect (efek menetes/merembes ke bawah) alias otomatis terjadi pemerataan.

Maka gagasan dari kubu pertama tidak dipakai, kalaupun dipakai hanyalah sebagai 'pelengkap penderita' saja. Gagasan kedua dipakai karena para lulusan Berkeley itu dipercaya penuh oleh Presiden Soeharto untuk mengobati luka-luka masa Orde Lama. Apalagi menurut Assar Lindbeck pada bukunya, Kritik atas Ekonomi Kiri Baru terbitan LP3ES 1988, saat mereka kuliah di Berkeley yang trendy adalah kecenderungan pemikiran perkembangan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, yang dikritik dengan keras oleh aliran 'Kiri Baru'.

Yang dipakai oleh pemerintah orde baru pada awalnya (dan bahkan sampai sekarang walaupun kadar penekanannya sudah agak sedikit berbeda) adalah gagasan dari kubu kedua. Alasannya, menurut Nurcholish Madjid dalam Politik Pembangunan, "Kalau kita hendak membagi-bagikan kue pembangunan harus kita buat dulu kuenya."

Pemerintah orde baru beralasan bahwa ekonomi negara sangat morat-marit. Inflasi mencapai 600%, utang negara sangat bertumpuk. Untuk itu maka perlu secepatnya diadakan stabilisasi ekonomi dengan tiang penyangga utamanya berupa stabilitas politik. Maka setiap potensi konflik diredam sedemikian rupa secara terus-menerus agar teredam kekuatan laten yang disebut pemerintah orde baru sebagai ekstrem kiri dan ekstrem kanan.

Terhadap ekstrem kiri, yang dilakukan orba berupa: pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya sekaligus peryataan sebagai organisasi terlarang, dan pelarangan terhadap ajaran Marxisme-Leninisme di seluruh wilayah RI.

Terhadap golongan Islam, tindakannya malah lebih banyak lagi. Secara jelas Yudi Latif dalam buku Mencari Islam (Mizan 1990) membeberkan langkah-langkah yang merugikan umat Islam yaitu:

1-Penolakan rehabilitasi Masyumi;
2-Dikeluarkannya peraturan Mendagri No 12/1969 dan PP No 6/1970 tentang monoloyalitas pegawai negeri yang mengakibatkan 'marginalisasi' pegawai negeri dari partai Islam;
3-Pemaksaan fusi dengan UU No 3/1973;
4-Terbitnya UU perkawinan 1974 yang merupakan de-islamisasi kaidah-kaidah kemasyrakatan karena banyak bertentangan dengan hukum-hukum perkawinan Islam;
5-Terbentuknya MUI sebagai perwakilan tunggal umat Islam tahun 1975 yang lebih sering merupakan alat legitimasi pemerintah;
6-Dilegitimasinya aliran kepercayaan dan P4 melalui Tap MPR No II/1978 yang merupakan usaha pemerintah untuk memperlemah potensi alternatif umat Islam.

Presiden Soeharto sejak awal menjalankan suatu model kepemimpinan sangat khas, yang merupakan hasil penjumlahan dari:
(1) Cara berpikirnya yang sangat Jawa;
(2) Kapabilitasnya yang tak terbantahkan sebagai seorang perwira militer yang cakap dan kaya pengalaman lapangan;
(3) Kecanggihannya sebagai aktor politik dalam melakukan manajemen kekuasaan.; sebagaimana ditulis Eep Saefulloh Fatah dalam Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia.

Otaknya Ali Moertopo

Otak pemberangusan gerakan politik Islam adalah Jenderal Ali Moertopo. Langkah-langkahnya yang cukup ketahuan dan transparan cukup banyak. Penjelasan berikut ini adalah sebagian dari padanya.

Pada tahun 1970 Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo telah 'digarap' atau dibajak oleh J Naro dengan 'diotaki' oleh Jendral Ali Moertopo.

Kemudian pada tahun 1971 PSII di bawah pimpinan M Ch Ibrahim 'digarap' oleh Drs Syarifudin Harahap, juga diotaki oleh Ali Moertopo. Berita pembajakan ini dimasukkan ke dalam berita TVRI, yaitu media massa resmi pemerintah Indonesia. (Bincang-bincang dengan Dahlan Ranuwihardjo).

Selanjutnya dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh dan memfitnah umat Islam. Dikatakan bahwa eks PSI dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Hariman Siregar diadili, tidak ada sedikitpun fakta dan tak ada seorangpun eks Masyumi terlibat di situ.

Belakangan ini barulah ada pengakuan dari Jenderal Soemitro (alm) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa justru Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari.

Kemudian pada sidang pengadilan Ismail Pranoto di Jawa Timur pada tahun 1978, yang dituduh membentuk komando jihad, terbukti yang terungkap di pengadilan bahwa kegiatan Ismail Pranoto adalah atas perintah dan biaya Jenderal Ali Moertopo dalam rangka membentuk Front Pancasila Anti Komunis.

Dengan terungkapnya masalah ini tim pembela meminta kepada majelis Hakim untuk menampilkan Jenderal Ali Moertopo sebagai saksi. Tetapi majelis hakim menolaknya, sehingga Ismail Pranoto dijatuhi hukuman seumur hidup. Dengan peristiwa ini, jelas bahwa Jendral Ali Moertopo telah menjebak Ismail Pranoto (bekas DI/TII) untuk kemudian dihancurkan.

Aksi Ali Moertopo berikutnya adalah pada peristiwa Lapangan Banteng 1982. Ali yang ketika itu menjadi Mentri Penerangan dalam briefingnya di hadapan pimpinan teras Deppen dua hari setelah kejadian telah menuduh dan memfitnah umat Islam yang lagi-lagi disebut ekstrem kanan. Ali Moertopo menuduh Yusuf Hasyim dari PPP dan Ali Sadikin dari Petisi 50.

Tetapi setelah pengadilan memeriksa para terdakwa yang dituduh terlibat peristiwa Lapangan Banteng terbukti tidak ada satupun anggota PPP atau petisi 50 yang terlibat, bahkan menjadi saksipun tidak.

Lanjutannya Benny Moerdani

Pasca 1982 peran Ali Moertopo digantikan oleh Benny Moerdani. Pada tahun 1983-1985 Benny melakukan penggarapan terhadap ummat Islam dengan memuluskan perintah Soeharto yaitu bahwa semua ormas dan parpol harus berasaskan Pancasila.

Garapan pertama Benny adalah PII. Organisasi pelajar ini memiliki sejarah harum di masa lalu. Beberapa kadernya menghiasi kepemimpinan umat Islam tahun '90-an.

Gagasan asas tunggal Pancasila mengharuskan mereka menjadikan organisasi PII berjuang di bawah tanah. Sebab tahun 1985 PII merencanakan kongres yang isinya menolak Pancasila sebagai asas, tetapi kongres itu tidak mendapat izin.

Pada tanggal 17 Juli 1987, tanggal terakhir pendaftaran ulang ormas-ormas, PII tidak ikut didaftarkan. Maka sejak saat itu PII menjadi organisasi ilegal atau organisasi bawah tanah. PII juga dicap sebagai ekstrem kanan oleh pemerintah Orde Baru.

'Kakak'-nya PII yaitu HMI juga digarap oleh Benny Moerdani. Hanya bedanya HMI tidak menjadi organisasi ilegal melainkan pecah menjadi dua. HMI Dipo 16 yang menerima Pancasila sebagai asas dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang menolak Pancasila.

Penerimaan asas tunggal Pancasila oleh HMI berjalan alot. Pada mulanya, dalam persiapan Kongres 1983 sudah ada utusan-utusan pemerintah yang alumni HMI atau penyebutan oleh anggota HMI saat itu adalah 'antek-antek pemerintah' dan 'hilang ke HMI-annya' contohnya adalah Menpora Abdul Gafur.

Terjadilah konflik antara anggota HMI dan alumni HMI. Benih-benih konflik ini semakin bersemai dan terbuka dalam kongres berikut di Padang, tahun 1986. Menyadari potensi reaktif HMI yang radikal, pemerintah mulai menggarap anggota-anggotanya yang dianggap 'akomodatif'.

Melalui berbagai 'lobbying' yang dilakukan oleh Abdul Gafur dan Akbar Tanjung, mereka berhasil meyakinkan HMI untuk mencari 'jalan selamat'. Dalam sidang pleno PB HMI 1983/1985 tanggal 5 April 1985 di Ciloto Jawa Barat, HMI menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas.

Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam kongresnya di Padang tahun 1986. Pelaksanaan kongres ini sempat tertunda beberapa bulan karena adanya conditioning oleh pemerintah. Kemudian tokoh-tokoh akomodatif diberi lampu hijau oleh pemerintah dan tokoh-tokoh garis keras seperti Abdullah Hehamahua dan Eggy Sudjana diberi lampu merah.

Terpilihlah Saleh Khalid sebagai ketua umum PB HMI. Persoalan tidak berhenti sampai di situ karena keputusan ini ditolak oleh banyak sekali anggota HMI. Mereka berpendapat bahwa penetapan Pancasila sebagai asas tunggal diterima tidak melalui kongres. Mereka yang menolak ini membentuk 'HMI Tandingan' berupa HMI MPO dan mencoba 'mengadili' pengurus HMI 'bentukan' pemerintah. Sejak saat itulah muncul 'pengurus tandingan' pada banyak cabang HMI di Indonesia. Sejak saat itu pula HMI MPO disebut ekstrem kanan.

Tahun 1984 juga meletus peristiwa Tanjung Priok. Selain kondisi masyarakat yang memang sangat tidak puas terhadap pemerintah dan dipanasi-panasi oleh penceramah-penceramah yang keras, unsur rekayasa dan provokasi juga terlihat (walaupun masih misteri sampai saat ini).

Yang menarik adalah peristiwa sesudahnya yaitu kasus 'lembaran putih' yaitu surat protes yang dikeluarkan oleh Petisi 50 dan ditandingi oleh penceramah-penceramah yang keras. 'Lembaran putih' ini dijadikan alasan oleh Benny Moerdani untuk menangkap penceramah-penceramah keras itu seperti AM Fatwa, AQ Jailani, Tasrif Tuasikal, HM Sanusi, HR Dharsono, Oesmany El Hamidy, Mawardi Noor, Tonie Ardhie, dan lain-lain. Mereka juga dicap sebagai ekstrem kanan. Menurut Panji Masyarakat yang terbit pasca persidangan, persidangan ini mirip dagelan.

Beberapa bulan setelah peristiwa Tanjung Priok, tanggal 4 Maret 1985, timbul peristiwa peledakan dua kantor BCA yang mengakibatkan 200 orang tewas. Di malam Natal dua gereja diledakkan di Malang Jawa Timur. Sebulan kemudian tepat pada tahun baru 1986, 9 Stupa Candi Borobudur diledakkan.

Hal yang lucu adalah yang dituduh sebagai pelaku pemboman ini antara lain Hussein Al Habsyi, seorang tuna netra. Bagaimana mungkin seorang tuna netra yang berjalan atau berlari sebelum bom meledak saja susah (apalagi di Borobudur yang banyak sekali tangganya), dituduh meledakkan bom. Pelaku pemboman ini juga dicap ekstrem kanan.

Pada tahun 1987 di Aceh muncul barisan jubah putih dipimpin Teuku Bantaqiyah. Gerakan ini mencita-citakan 'tegaknya Islam sedunia'. Bulan Mei 1987, dengan berjalan kaki di desa Blang Beuradeh, Beutung Aseuh, Aceh Barat, mereka membunuhi orang Cina yang dijumpai di jalan serta memaksa tutup warung-warung yang buka di siang hari. Pada waktu itu adalah bulan puasa. (Tempo, 18 Februari 1989, hal 26). Mereka juga dicap Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dan ekstrem kanan.

Kemudian terjadi peristiwa Lampung. Gerakan ini meletus ke permukaan pada bulan Februari 1989, dengan membunuh beberapa anggota ABRI. Sedangkan di pihak rakyat Lampung jatuh 27 korban termasuk Anwar alias Warsidi. Pemerintah menyebut pelaku peristiwa ini sebagai Gerakan Pengacau Keamanan dan ekstrem kanan.

Lantas muncul kasus Daerah Operasi Militer di Aceh dan berubah menjadi arena 'killing field'. Pemerintah menyebut Hasan Tiro dan kawan-kawannya sebagai GPK dan ekstrem kanan.

Mengapa Soeharto mempertahankan orang-orang seperti Ali Moertopo dan Benny Moerdani? Agar Soeharto dianggap pahlawan yang bisa mengerem tindakan Benny dan Ali. Terbukti kemudian umat Islam yang menjadi korban langsung atau tidak langsung sampai sekarang kebencian itu tidak ditujukan kepada Soeharto melainkan kepada Ali Moertopo dan Benny Moerdani, apalagi setelah Soeharto naik haji dan takbiran. (Agung Pribadi) 
http://almutawakkilblogsgroup.blogspot.com/2008/01/peristiwa-15-januari-1974-malari.html

• YUBILEUM KE-60 RUSIA-INDONESIA


 
 60 TAHUN PERSAHABATAN 
RUSIA DAN INDONESIA 
(1950 - 2010)


Tanggal 3 Februari adalah hari yang sangat istimewa dalam sejarah hubungan bilateral antara Rusia dan Indonesia. Pada hari ini 60 tahun yang lalu Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Serikat M.Hatta mengirim surat kepada pemerintah Uni Soviet menjawab surat pemberitahuan dari pihak Soviet tertanggal 25 Januari 1950 bahwa Uni Soviet akan mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dan menetapkan hubungan diplomatik dengan negara ini. M.Hatta menulis bahwa pihak Indonesia sangat menhargai pengakuan ini dan siap memulai perundingan tentang penetapan hubungan diplomatik. Sedemikian, tanggal 3 Februari 1950 dianggap sebagai tanggal penetapan hubungan diplomatik antara kedua negara kita.
Saya mau menarik perhatian para pembaca yang terhormat pada fakta bahwa konsulat Rusia tidak tetap di Batavia, pada saat itu nama ibu kota Indonesia, dibuka pada tahun 1885 dan konsul Rusia yang pertama menjadi M.M.Bakunin yang menjabat sebagai konsul Rusia mulai dari tahun 1893 sampai tahun 1899. Baru-baru ini di Rusia diterbitkan kembali buku M.M.Bakunin dengan memoir tentang keberadaannya di Indonesia yang populer antara para pembaca.
Pada tahun 1954 kedua negara kita membuka perwakilan diplomatiknya di Moskwa dan Jakarta. Pada tanggal 13 April 1954 Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet yang pertama Soebandrio menyerahkan surat kepercayaan kepada Ketua Majelis Tertinggi Uni Soviet K.E.Voroshilov. Duta Besar menyatakan bahwa penjalinan hubungan persahabatan yang berdasarkan prinsip kesederajatan dengan Uni Soviet membuka kesempatan untuk kerjasama ekonomi yang erat, memberikan peluang bagi progres teknisnya serta peningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia.
Duta Besar Uni Soviet untuk Indonesia yang pertama D.A.Zhukov menyerahkan surat kepercaannya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 20 September 1954. Dalam pernyataannya sebelum penyerahan dia menggarisbawahi bahwa hubungan antara Uni Soviet dan Republik Indonesia akan mempengaruhi secara baik proses perluasan kerjasama politik, ekonomi dan budaya, dan akan mengembangkan dan mengeratkan persahabatan dan mengabdi pada kepentingan perdamaian dan keamanan di seluruh dunia.
Sejarah kerjasama Rusia-Indonesia adalah riwayat hubungan dua bangsa bersaudara, dua negara bersahabat. Di riwayat ini ada halaman-halaman perkembangan kerjasama bilateral secara intensif dan untungnya tidak ada halaman-halaman dengan pemutusan atau penghentian kerjasama antara negara kita. Hubungan antara Rusia dan Indonesia selama 60 tahun adalah contoh kerjasama unik yang berdasarkan prinsip kepercayaan menyeluruh, transparansi dan ketidakadaan persyaratan-persyaratan politik apapun untuk realisasi hubungan ini.
Menurut saya ada tiga tahap utama hubungan Rusia-Indonesia. Tahap pertama mulai dari tahun 1950 sampai 1965 dan para ahli sejarah Rusia dan Indonesia menyebut tahap itu sebagai periode pendekatan dan kerjasama erat antara negara-negara kita. Saya ingin mengingatkan hal-hal yang paling penting.
Salah satu masalah yang paling utama untuk negara Indonesia muda adalah pengakuan negara ini oleh pihak masyarakat sedunia. Oleh karena itu masuknya ke PBB dipandang sebagai langkah yang paling penting. Pada akhir April – awal Mei, 1950 delegasi Pemerintah Indonesia mengunjungi Moskwa untuk mengadakan perundingan dengan Menteri Luar Negeri Uni Soviet A.Y.Vishinskiy membahas dukungan dari negara kami yang adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB untuk Indonesia bisa menjadi anggota PBB. Sesuai dengan kesepakatan yang tercapai pada September 1950 Uni Soviet sebagai negara yang sudah punya hubungan diplomatik dengan Indonesia menjadi salah satu negara pertama yang mendukung masuknya Indonesia ke PBB. 
Pada tahun 1956 Presiden Soekarno untuk pertama kalinya melakukan kunjungan resmi ke Rusia. Lawatan ini benar-benar luar biasa. Selamanya segala sesuatu memperlihatkan sikap bersahabat Soekarno terhadap Uni Sovyet dan keramahtamahan tuan rumah yang tulus. Lawatan itu yang berlangsung selama
16 hari dari tanggal 28 Agustus sampai 12 September daftar acaranya sangat padat. Presiden pertama Indonesia sempat mengunjungi sepuluh kota Rusia yang macam-macam.
Kunjungan Presiden Indonesia membuka babak baru dalam hubungan antara kedua negara besar kita. Sesudah perundingan antara Presiden Soekarno dengan pemimpin Uni Soviet masa itu Nikita Khruchev pada tanggal 11 September telah ditandatangani Pernyataan Bersama. Dokumen itu menegaskan bahwa kedua negara akan membentuk hubungan bilateralnya berdasarkan prinsip-prinsip saling penghormatan keutuhan wilayah dan kedaulatan, penolakan campur tangan ke urusan masing-masing, akan mengikuti semangat dan prinsip-prinsip Konperensi Bandung. Kedua pihak sepakat untuk mengatur kerjasama di bidang perdagangan, teknologi dan ekonomi berdasarkan kesetaraan dan saling menguntungkan.
Kedatangan Soekarno menarik perhatian ribuan orang masyarakat Soviet. Acara yang paling istimewa meeting massal persahabatan Uni Soviet-Indonesia diadakan di gelanggan olah raga “Luzhniki” di Moskow. Waktu itu pidato Soekarno berkali-kali diinterogasi tepukan tangan yang berkumandang. Para hadirin telah terpesona dengan penampilan orator luar biasa ini. Semua memahami bahwa mereka dihadapi tokoh berskala dunia, putra sejati bangsanya yang luhur.
Waktu melihat-lihat gelanggan olah raga “Luzhniki” di Moskow Soekarno bilang: “Saya ingin yang sama”. Dan pada tahun 1962 tepat menjelang Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games di Jakarta telah dibuka Gelora Senayan (Bung Karno). Gelanggan olah raga ini dibangun dengan bantuan tenaga ahli dan teknis lansung dari Uni Sovyet. Harus dicatat bahwa Gelora Senayan waktu itu bahkan lebih unggul dibanding “Luzhniki” dari segi mutunya: di Gelora Bung Karno langsung dipasang pelindung hujan yang melindungi para penonton dari hujan dan sinar matahari. Di “Lizhniki” konstruksi seperti ini baru dipasang empat puluh tahun kemudian.
Soekarno mengunjungi Uni Sovyet tiga kali lagi, yaitu pada tahun 1959, 1961 dan 1964. Dan pada tahun 1960 pemimpin Negara Soviet Nikita Khruchev melakukan kunjungan ke Indonesia. Segala kunjungan tersebut menghasilkan penandatanganan persetujuan-persetujuan baru mengenai kerjasama antara kedua negara.
Pada tahap awal agenda hubungan bilateral padat dengan tukar-menukar kunjungan tokoh politik dan masyarakat, kalangan militer dan industri. Kedua pihak menandatangani sejumlah persetujuan bilatelar yang bersifat strategis, termasuk mengenai kerjasama di bidang peningkatan pertahanan Indonesia, modernisasi angkatan udara dan laut. Uni Soviet memulai penyediaan persenjataan dan peralatan militer ke Indonesia, beberapa ribu orang tentara maritim dan angkatan udara dididik dan dilatih di Uni Soviet. Kemudian mereka mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia, termasuk Irian Jaya. 
Sayangnya, dalam naskah-naskah sejarah baik Rusia maupun Indonesia peran Uni Soviet dalam pembebasan Irian Jaya dari penjajahan Belanda disoroti dengan kurang terperinci. Tetapi para peserta peristiwa-peristiwa zaman itu baik dari Indonesia, maupun dari negara saya masih mengingatnya dengan baik. Sebagaimana diketaui, walaupun Indonesia menjadi merdeka pada tahun 1945 Irian Jaya tetap dijajahi Belanda sampai tahun 1962. Belanda sangat berminat untuk tetap mengelola kawasan ini yang kaya-raya dengan migas dan sumber daya mineral yang lain serta mempunyai cadangan sumber laut dan alam yang besar.
Pada tahun 1952 pemerintah Indonesia memutuskan menyampaikan masalah yang bersifat konflik itu kepada pertimbangan PBB. Akan tetapi akibat penentangan Belanda yang didukungi oleh beberapa negara kolonial yang lain, PBB tidak mengadopsi rekomendasi yang semestinya untuk penyelesaian konflik tersebut.
Perkembangan situasi di Irian Jaya membuat pemerintah Soekarno mengambil tindakan tegas. Pada tanggal 13 Desember, 1961 Presiden Soekarno memerintahkan TNI bersiap-siaga untuk membebaskan Irian Jaya dengan tindakan perang. Pada waktu yang sama Presiden Soekarno menyampaikan amanat kepada bangsa Indonesia yang diketaui sebagai “Trikora”. Saya yakin, bahwa untuk mengambil keputusan ini Presiden Soekarno perlu mempunyai keyakinan kuat pada kekuatan tentara Indonesia dan pada dukungan dari para sekutu. Kedua faktor tersebut dijamin pertama-tama dengan bantuan dari Uni Soviet, yang tidak hanya memberikan dukungan politik kepada negara Indonesia secara obyektif dan adil, tidak hanya menelanjangi kepentingan-kepentingan penjajahan Belanda dan mitranya di PBB, tetapi juga memberikan bantuan militer yang raksasa kepada negara muda yang belum kuat ini.
Saya ingin mengingatkan bahwa pada periode kerjasama dengan Pemerintah Soekarno Uni Soviet telah memasok ke Indonesia persenjataan dan teknik militer dengan biaya yang melebihi satu miliar dollar AS (dengan perhitungan harga masa itu). Angkatan laut mendapat 70 buah kapal tempur dan kapal pendukung, termasuk kapal-kapal penjelalah bernama “Ordzhonikidze” (namanya Indonesia adalah “Irian”), 6 buah kapal torpedo, 4 buah kapal jaga, 12 buah kapal selam, 12 buah kapal motor luncur rudal dan 12 buah kapal motor luncur torpedo, 10 buah kapal penyapu ranjau. Pasukan marinir mendapat 100 buah tank amfibi, artileri, beberapa devision rudal sistim pertahanan antirudal, persenjataan tembak, mesiu dan amunisi untuk dua divisi pasukan militer. Angkatan Udara Indonesia telah disuplai dengan pesawat torpedo modern (TU-16 KS dan TU-16), pesawat pengebom dan pesawat intelijen jarak jauh. Angkatan laut mendapat pesawat-pesawat tempur MIG-17, MIG-19, MIG-21 dan pesawat-pesawat pendukung.
Sebagaimana diketaui, justru kehadiran kapal selam Soviet di kawasan Irian Jaya menyebabkan Belanda menerima ultimatum Indonesia dan mengakui kemerdekaan wilayah itu dalam rangka kenegaraan Indonesia.
Tahap kedua hubungan bilateral bertepatan dengan masa kepresidenan Soeharto (1966-1998). Dengan hilangnya Soekarno dari gelanggan politik hubungan Uni Soviet dan Indonesia agak membeku, tapi tidak putus. Setelah peristiwa tanggal 30 September, 1965 dan mulainya zaman “Orde Baru” dalam hubungan bilateral tentu terjadi penurunan aktifnya, kerjasama dalam beberapa bidang pudar, volume perdagangan menurun. Dan walaupun Menteri Luar Negeri Adam Malik menggarisbawahi keinginan pimpinan Indonesia baru untuk memelihara dan mengembangkan kontak-kontak politik dan ekonomi dengan negara-negara sosialisme, “Orde baru” membatasi peluang hubungan antarnegara sampai hanya satu bidang – penandatanganan persetujuan mengenai pembayaran hutang.
Uni Soviet setuju supaya pembayaran hutang kredit Indonesia, yang ada jatuh pada tanggal 1 Januari, 1970 diadakan selama 30 tahun. Penandatanganan persetujuan itu sangat bermakna bagi Indonesia, karena waktu itu Indonesia belum mendapat konsesi baik dari para anggota “Klub Paris”.
Sejak tanggal 23 sampai 26 Desember, 1974 diadakan kunjungan resmi ke Moskow oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik, yang menyerahkan pesan dari Presiden Indonesia Soeharto kepada Ketua Presidium Dewan Tertinggi Uni Soviet. Dalam komunike penutup kedua pihak menyatakan keyakinan bahwa perbaikan dan perkembangan hubungan antara Uni Soviet dan Indonesia memenuhi kepentingan-kepentingan perdamaian dan keamanan di Asia dan di seluruh dunia, suasana perubahan positif di gelanggan internasional. Persetujuan mengenai kerjasama ekonomi dan teknis telah ditandatangani, yang menjadi langkah pertama pemerintah Soeharto ke arah perkembangan kerjasama ekonomi dan teknis dengan Uni Soviet pada dasar yang saling menguntungkan.
Pada bulan April, 1984 setelah jeda waktu sepuluh tahun, terjadinya kunjungan resmi Menteri Luar Negeri Indonesia M.Koesoemaatmadja ke Uni Soviet. Setelah perundingan dengan Menteri Luar Negeri Uni Soviet diterbitkan pernyataan bersama Uni Soviet dan Indonesia yang menemui titik persamaan kedua belah pihak mengenaisoal-soal internasional yang penting. Para pihak mementingkan perkembangan dialog politik dan menyetujui akan memperluas konsultasi di berbagai taraf.
Akan tetapi perubahan-perubahan nyata dalam hubungan bilateral terjadi hanya setelah mulainya “perestroika” di Uni Soviet. Pihak Uni Soviet beberapa kali, termasuk pada taraf paling tinggi, mengkonfirmasikan kerelaannya untuk mengembangakn kerjasama yang saling menguntungkan dalam segala bidang. Begini, dalam pidatonya di kota Vladivostok tanggal 28 Juli, 1986 M.S.Gorbachev berkata, bahwa Uni Soviet rela mengembangkan hubungan  bilateral dengan beberapa negara, dan antaranya dia menyebutkan Indonesia. Sebagai tindakan yang patut diberi perhatian, yang membuktikan deideologisasi pendekatan Uni Soviet terhadap Indonesia, telah disampaikan undangan kepada Presiden Soeharto untuk mengunjungi Moskow.
Kunjungan Soeharto ke Uni Soviet di September, 1989 menjadi sukses. Di samping komunike bersama, yang menggarisbawahi kedekatannya posisi-posisi Uni Soviet dan Indonesia mengenai serangkaian masalah internasional yang paling penting, pihak-pihak telah menandatangani Pernyataan tentang dasar-dasar hubungan persahabatan dan kerjasama antara Uni Soviet dan Republik Indonesia. Dokumen yang dasar ini mendorong dialog politik, kerjasama ekonomi dan hubungan humaniter.
Sejak 1999 tahap yang mutakhir, akif dan penuh dengan isi baru mulai dalam hubungan Rusia dan Indonesia. Pertama-tama, pada waktu ini diadakan dialog politik intensif: tiga kunjungan tingkat tinggi diadakan antara tahun 2003 dan 2007. Di bulan April, 2003 Presiden Indonesia Megawati Soekarnoputri mengunjungi Rusia, dan selama kunjungan ini para pemimpin kedua negara telah menandatangani Deklarasi mengenai kerangka hubungan persahabatan dan kemitraan antara Rusia dan Indonesia pada abad yang ke-21, yang menentukan pendalaman dan perluasan dialog politik di semua bidang hubungan bilateral. Salah satu dokumen yang paling penting, yang ditandatangani pada waktu kunjungan ini ialah Persetujuan tentang kerjasama militer dan Persetujuan tentang pembelian empat pesawat tempur “Sukhoi” dan dua helikopter “Mi”. Saya akan menggarisbawahi sekali lagi bahwa baik di bidang militer-teknis, maupun di bidang-bidang lain, prinsip ketiadaan syarat-syarat politik apapun menjadi “benang merah” kerjasama antara Rusia dan Indonesia. Signifikan bahwa pada tahun 2005 pesawat-pesawat buatan Rusia ikut serta dalam parade militer berhubungan dengan peringatan hari TNI, yang sejak itu mejadi tradisi tahunan. Untuk informasi, sekarang ini di Indonesia ada tujuh pesawat SU buatan Rusia.
Presiden Yudhoyono mengunjungi Rusia dengan kunjungan resmi pada tanggal 29 November-1 December 2006. Selama kunjungan ditandatangani 10 dokumen terkait dengan kerjasama di bidang strategis yang penting untuk kedua negara kita, yaitu di bidang penelitian dan pemanfaatan antariksa untuk tujuan-tujuan damai, dan di bidang pemanfaatan tenaga nuklir secara damai.
Kunjungan resmi Presiden Putin ke Jakarta pada tanggal 6 September, 2007 menjadi bersejarah sebagai kunjungan pemimpin negara saya ke Indonesia yang pertama sepanjang 50 tahun terakhir. Sewaktu kunjungan ini paket dokumen bilateral yang baru telah ditandatangani. Dokumen-dokumen ini terkait dengan kerjasama antar-pemerintah dan antar-kementerian, temasuk di bidang investasi, kebudayaan dan pemberantasan terorisme. Menurut saya, persetujuan tentang kredit negara sebesar 1 milyar dolar AS, yang diberikan oleh pemerintah Rusia kepada Indonesia untuk pembelian peralatan militer buatan Rusia menjadi dokumen yang sentral. Sekarang ini, dalam kondisi krisis moneter dunia, pada hemat saya, persetujuan itu ialah sangat menuntungkan untuk Indonesia, karena membuka peluang-peluang besar untuk mengadakan modernisasi kemampuan militer dengan syarat ringan. Pihak Rusia menyajikan kepada mitra-mitranya contoh-contoh peralatan militer yang paling mutakhir dan memuaskan untuk tugas yang dilaksanakan oleh Angkatan Darat, Udara dan Laut Indonesia. Pekerjaan dalam rangka persetujuan ini diadakan oleh kedua pihak bersandarkan pada prinsip pembukaan dan saling pengertian, kontrak-kontrak pertama sedang dilaksanakan dengan sukses.
Pada tahun 2008 volume perdagangan bilateral telah melampaui 1 milyar dolar AS, yang menjadi hasil dari persetujuan kedua Presiden pada tahun 2007. Meskipun pada tahun 2009 volume perdagangan antara Rusia dan Indonesia sedikit menurun dibanding dengan volume 2008 yang rekor akibat dampak negatif dari krisis moneter global, saya menilai dinamika kerjasama bilateral di bidang ekonomi secara optimistis. Pertama-tama, saya maksud dimulainyaimplementasi serangkaian proyek bilateral yang besar di Indonesia di bidang migas, yang dilaksanakan oleh perusahaan Rusia “Petros” dan “Sintezmorneftegaz”. Perusahaan Rusia perseroan terbatas “Sistem Satelit Informasi - Reshetnev” menang dalam tender dan menandatangani kontrak pada awal tahun 2009 untuk meluncurkan satelit telekomunikasi Indonesia “Telkom-3” pada tahun 2011 (proyek ini senilai 200 juta dolar AS). Dalam konteks ini saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa kerjasama antara Rusia dan Indonesia di bidang telekomunikasi dan antariksa telah diadakan sebelumnya, umpamanya satelit komunikasi Indonesia “Garuda-1” diluncurkan dari kosmodrom “Baikonur” pada tahun 2000.
Pada masa kini perusahaan-perusahaan Rusia yang bergiat secara aktif di pasar Indonesia adalah FGUP “Goznak”, korporasi “Irkut”,  korporasi aeroangkasa “Vozdushny start”, OAO “Silovye mashiny”, OAO Chetra-promyshlennye mashiny”, OAO “Chelyabinsky traktorny zavod Uraltrak”, NPG “Sainmet”, perusahaan inovasi “Arter Technology”. Dan tiap tahun tampil perusahaan-perusahaan Rusia yang baru lagi yang berkepentingan menjalin hubungan dan melaksanakan proyek multikompleks dengan mitra-mitra Indonesia.
Kedua negara kita mendekati tanggal peringatan penjalinan hubungan bilateral dengan prestasi baru. Begitu, pada bulan Oktober, 2009 Sidang ke-6 Komisi Bersama untuk Kerjasama Rusia–Indonesia pada Dagang, Ekonomi dan Teknik telah diadakan, dan selama sidang ini didirikan Dewan Bisnis Rusia–Indonesia dan Dewan Bisnis Indonesia–Rusia yang menandatangani MoU bersama untuk kerjasama. Pada bulan Juli dan Agustus Hari-Hari Kebudayaan Rusia telah berlangsung dengan sukses yang besar di Jakarta dan Yogyakarta, Hari-Hari Kebudayaan Indonesia di Rusia diharapkan akan berlangsung pada tahun ini.
Kiranya perlu artikel tersendiri untuk menceritakan dinamika kontemporer kerjasama Rusia–Indonesia dengan terperinci. Selagi saya bisa mengonstatir dengan rasa senang hati, bahwa hubungan negara-negara kita hari ini mengalami masa kenaikan ke puncak-puncak baru. Tanpa melebih-lebihkan ini menyentuh segala bidang: politik, ekonomi, teknis-militer, parlementer, budaya, pendidikan (Pemerintah Rusia tiap tahun menyediakan 35 beasiswa bagi mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang ingin belajar di sekolah tinggi Rusia), humaniter dll. Sekarang negara-negara kita melaksanakan tugas dalam negeri yang serupa dan yang berkait dengan demokratisasi masyarakat dan dengan kemajuan ekonomi ke taraf yang bersifat baru. Di pentas internasional Rusia dan Indonesia mendekati kebanyakan masalah dunia secara serupa. Tidak ada rintangan politik atau bersifat lain yang bisa menghalangi pertambahan interaksi Rusia–Indonesia atas prinsip-prinsip persahabatan, transparensi dan saling percaya.
Saya yakin, bahwa kegiatan bersama dan pengalaman saling pengertian serta kerjasama yang diperoleh selama 60 tahun hubungan diplomatik Rusia–Indonesia merupakan dasar kuat, batu loncatan untuk penyempurnaan selanjutnya hubungan bilateral kita sesuai dengan perkembangan-perkembangan terbaru dalam negeri masing-masing dan di dunia internasional. Bagi terobosan ini kedua negara kita mempunyai potensi yang besar dan, paling penting, minat yang tinggi.
Saya mengucapkan selamat memperingati yubileum bersama ini. Saya berterima kasih tulus ikhlas kepad semua pihak yang memberikan sumbangannya ke perkara kerjasama Rusia–Indonesia demi kepentingan-kepentingan negara-negara dan bangsa-bangsa kita. Saya mengharapkan kepada kita semua kebahagiaan, perdamaian dan kesejahteraan.


Alexander IVANOV
DUTA BESAR RUSIA UNTUK INDONESIA

• Bujang Lokal : Soekarno-Kennedy

 Soekarno-Kennedy


 Keakraban Bung Karno – Kennedy? Tak diragukan lagi, dunia pun mengetahuinya. Bagi yang gemar ber”andai-andai”, selalu saja akan melantunkan kalimat, “Andai saja Kennedy tidak mati terbunuh… hubungan Amerika Serikat – Indonesia tidak akan seburuk akhir dekade 60-an.” Bahkan ada yang mengandaikan, “andai saja Kennedy tidak mati tertembak, Soeharto tidak akan jadi presiden.” Dan masih banyak “andai-andai” yang lain.

Semua “andai” tak penting lagi sekarang. Kennedy sudah menjadi sejarah. Bung Karno juga sudah menjadi sejarah. Hubungan Amerika – Indonesia bahkan masih menorehkan jalannya sejarah. Begitu hakikat sejarah hingga Tuhan menamatkan riwayat kehidupan dunia.

Menukil kemesraan hubungan Bung Karno – Kennedy, selalu saja menarik. Bukan saja menyangkut dua sosok kepala negara, tetapi juga menyangkut sisi-sisi humanisme dua orang paling berpengaruh pada zamannya. Kennedy dengan super power Amerikanya, Bung Karno dengan New Emerging Forces-nya. Dua kekuatan maha dahsyat yang jika bersatu, tidak ada satu negara pun mampu menggoyangnya. Tidak ada satu blok negara-negara pun yang bisa menandinginya.

Adalah Guntur Soekarnoputra yang pada tahun 1961 berkesempatan makan siang di ruang makan White House. Ia dan adiknya, Megawati, diajak sang bapak, menghadiri jamuan makan siang di Gedung Putih. Menurut catatan Guntur dalam bukunya, semua makanan yang dihidangkan sama sekali tidak ada yang menggugah selera, kecuali satu… steak daging sapi yang begitu enyak…enyak… enyak.….

Singkatnya, Guntur sangat menikmati saat garpu menusuk daging, dan pisau diiris-iriskan di permukaan daging, lantas sekerat daging empuk menghampiri lidah… melayanglah cita rasa steak ala White House. Nah, entah tusukan yang keberapa, entah irisan yang keberapa… Guntur menjumpai bagian daging yang begitu alot. Itu artinya, Guntur harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menundukkan si daging alot tadi. Apa yang terjadi kemudian? Pada irisan dengan tekanan penuh, si daging pun melawan… mencelat dan… wuusshhh… daging itu terbang melayang… jatuh tepat di piring Presiden Kennedy!

Wajah keenakan Guntur berubah menjadi pucat… takut… dan Kennedy tahu situasi itu, kemudian mencairkan suasana dengan kalimat bersahabat dalam bahasa Indonesia terbata-bata… “Hati-hati… tidak apa-apa… rupanya juru masak kami kurang teliti dalam memasak steak sehingga agak alot untuk diiris….”

Bung Karno menimpali, “Well John… rupanya putraku tahu bahwa kau sekarang punya senjata ampuh paling mutakhir yaitu ICBM (inter continental balistic missiles) sehingga ia mengirimkan juga sebuah “missiles”-nya buat tandingannya.”

“Ha…ha…ha… that’s right….” Kennedy tertawa menyambut humor Bung Karno. Tapi pasti di benaknya ia berpikir keras, darimana Sukarno tahu Amerika sekarang punya ICBM? Sedangkan informasi itu masuk kategori top secret di Amerika Serikat. Bahkan rakyat Amerika sendiri tidak tahu.

Syahdan… jamuan makan siang pun selesai. Giliran acara berpamitan. Kennedy sebagai tuan rumah yang baik, mengiringkan langkah Bung Karno keluar White House menuju mobil kepresidenan yang hendak membawa Bung Karno dan rombongan kembali ke hotel. Sambil berjalan, keduanya pun bercakap-cakap… tetap dengan akrabnya…. “John, dari tadi saya tidak melihat Jackie… ke mana dia?”

Kennedy spontan menjawab, “Oh ya… tadi aku lupa menyampaikan permintaan maafnya. Ia berhalangan ikut makan siang bersama kita karena sedang ke luar kota untuk suatu acara. Dan itu berarti, bahwa di Washington malam ini ada dua orang ‘bujangan’ yang berbahagia!!! Kau dan saya!!! Betul atau tidak Mr President?”

“Ha…ha…ha… John…. Kau betul-betul sahabatku yang baik.”

oleh : http://rosodaras.wordpress.com

• Perkembangan Koperasi di Indonesia


Koperasi Indonesia

Sejak lama bangsa Indonesia telah mengenal kekeluargaan dan kegotongroyongan yang dipraktekkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Kebiasaan yang bersifat nonprofit ini, merupakan input untuk Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang dijadikan dasar/pedoman pelaksanaan Koperasi. Kebiasaan-kebiasaan nenek moyang yang turun-temurun itu dapat dijumpai di berbagai daerah di Indonesia di antaranya adalah Arisan untuk daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, paketan, mitra cai dan ruing mungpulung daerah Jawa  Barat, Mapalus di daerah Sulawesi Utara, kerja sama pengairan yang terkenal dengan Subak untuk daerah Bali, dan Julo-julo untuk daerah Sumatra Barat merupakan sifat-sifat hubungan sosial, nonprofit dan menunjukkan usaha atau kegiatan atasdasar kadar kesadaran berpribadi dan kekeluargaan.
Bentuk-bentuk ini yang lebih bersifat kekeluargaan, kegotongroyongan, hubungan social, nonprofit dan kerjasama disebut Pra Koperasi. Pelaksanaan yang bersifat pra-koperasi terutama di pedesaan masih dijumpai, meskipun arus globlisasi terus merambat ke pedesaan.
Kemajuan ilmu oengetahuan dan teknologi pada pertengahan abad ke-18 telah mengubah wajah dunia. Berbagai penemuan di bidang teknologi ( revolusi industri ) melahirkan tata dunia ekonomi baru. Tatanan dunia ekonomi menjajdi terpusat pada keuntungan perseorangan, yaitu kaum pemilik modal ( kapitalisme ). Kaum kapitalis atau pemilik modal memanfaatkan penemuan baru tersebutdengan sebaik-baiknya untuk memperkaya dirinya dan memperkuat kedudukan ekonominya. Hasrat serakah ini melahirkan persaingan bebas yang tidak terbatas. Sistem ekonomi kapitalis / liberal memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada pemilik modal dan melahirkan kemelaratan dan kemiskinan bagi masyarakat ekonomi lemah.
Dalam kemiskinan dan kemelaratan ini, muncul kesadaran masyarakat untuk memperbaiki nasibnya sendiri dengan mendirikan koperasi. Pada tahun 1844 lahirlah koperasi pertama di Inggris yang terkenal dengan nama Koperasi Rochdale di bawah pimpinan Charles Howart. Di Jerman, Frederich Willhelm Raiffeisen dan Hermann Schulze memelopori Koperasi Simpan Pinjam. Di Perancis, muncul tokoh-tokoh kperasi seperti Charles Fourier, Louis Blance, dan Ferdinand Lassalle. Demikian pula di Denmark. Denmark menjadi Negara yang paling berhasil di dunia dalam mengembangkan ekonominya melalui koperasi.
Kemajuan industri di Eropa akhirnya meluas ke Negara-negara lain, termasuk Indonesia. Bangsa Eropa mulai mengembangkan sayap untuk memasarkan hasil industri sekaligus mencari bahan mentah untuk industri mereka. Pada permulaannya kedatangan mereka murni untuk berdagang. Nafsu serakah kaum kapitalis ini akhirnyaberubah menjadi bentuk penjajahan yang memelaratkan masyarakat.
Bangsa Indonesia, misalnya dijajah oleh Belanda selama 3,5 abad dan setelah itu dijajah Jepang selama 3,5 tahun. Selama penjajahan, bangsa Indonesia berada dalam kemelaratan dan kesengsaraan. Penjajah melakukan penindsan terhadap rakyat dan mengeruk hasil yang sebanyak-banyaknya dari kekayaan alam Indonesia. Penjajahan menjadikan perekonomian Indonesia terbelakang. Masyarakat diperbodoh sehingga dengan mudah menjadi mangsa penipuan dan pemerasan kaum lintah darat, tengkulak, dan tukang ijon.
Koperasi memang lahir dari penderitaan sebagai mana terjadi di Eropa pertengahan abad ke-18. Di Indonesia pun koperasi ini lahir sebagai usaha memperbaiki ekonomi masyarakat yang ditindas oleh penjajah pada masa itu. Untuk mengetahui perkembangan koperasi di Indonesia, sejarah perkembangan koperasi Indonesia secara garis besar dapat dibagi dalam “ dua masa ”, yaitu masa penjajahan dan masa kemerdekaan.

Masa Penjajahan

Di masa penjajahan Belanda, gerakan koperasi pertama di Indonesia lahir dari inisatif tokoh R. A. Wiriaatmadja pada tahun 1986. Wiriaatmadja, patih Purwokerto ( Banyumas ) ini berjasa menolong para pegawai, pedagang kecil dan petani dari hisapan lintah darat melalui koperasi. Beliau dengan bantuan E. Sieberg, Asisten Residen Purwokerto, mendirikan Hulp-enSpaar Bank. Cita-cita Wiriaatmadja ini juga mendapat dukungan dari Wolf van Westerrode, pengganti Sieberg. Mereka mendirikan koperasi kredit sistem Raiffeisen.
Gerakan koperasi semakin meluas bersamaan dengan munculnya pergerakan nasional menentang penjajahan. Berdirinya Boedi Oetomo, pada tahun 1908 mencoba memajukan koperasi rumah tangga ( koperasi konsumsi ). Serikat Islam pada tahun 1913 membantu memajukan koperasi dengan bantuan modal dan mendirikan Toko Koperasi. Pada tahun 1927, usaha koperasi dilanjutkan oleh Indonesische Studie Club yang kemudian menjadi Persatuan Bangsa Indonesia ( PBI ) di Surabaya. Partaui Nasional Indonesia ( PNI ) di dalam kongresnya di Jakarta berusah menggelorakan semangat kooperasi sehuingga kongres ini sering juga disebut “ kongres koperasi ”.
Pergerakan koperasi selam penjajahan Belanda tidak dapat berjalan lancer. Pemerintah Belanda selalu berusaha menghalanginya, baik secara langsug maupun tidak langsung. Selain itu, kesadaran masyarakat atas koperasi sangat rendah akibat penderitaan yang dialaminya. Untuk membatasi laju perkembangan koperasi, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan koperasi Besluit 7 April No. 431 tahun 1915. Berdasarkan peraturan ini rakyat tidak mungkin mendirikan koperasi karena :
  1. mendirikan koperasi harus mendapat izin dari gubernur jenderal
  2. akta dibuat dengan perantaraan notaris dan dalam bahasa Belanda
  3. ongkos materai sebesar 50 golden
  4. hak tanah harus menurut hukum Eropa
  5. harus diumumkan di Javasche Courant yang biayanya juga tinggi
Peraturan ini mengakibatkan munculnya reaksi dari kaum pergerakan nasional dan para penganjurkoperasi. Oleh karena itu, pada tahun 1920 pemerintah Belanda membentuk “ Panitia Koperasi ” yang diketuai oleh J. H. Boeke. Panitia ini ditugasi untuk meneliti mengenai perlunya koperasi. Setahun kemudian, panitia itu memberikan laporan bahwa koperasi perlu dikembangkan. Pada tahun 1927 pemerintah mengeluarkan peraturan No. 91 yang lebih ringan dari perturan 1915. isi peraturan No. 91 antara lain :
  1. akta tidak perlu dengan perantaraan notaries, tetapi cukup didaftarkan pada Penasehat Urusan Kredit Rakyat dan Koperasi serta dapat ditulis dalam bahasa daerah
  2. ongkos materai 3 golden
  3. hak tanah dapat menurut hukum adat
  4. berlaku untuk orang Indonesia asli, yang mempunyai hak badan hukum secara adat
Dengan keluarnya peraturan ini, gerakan koperasi mulai tumbuh kemabli. Pada tahun 1932, Partai Nasional Indonesia mengadakan kongres koperasi di Jakarta. Pada tahun 1933, pemerintah Belanda mengeluarkan lagi peraturan No. 108 sebagai pengganti peraturan yang dikeluarkan pada tahun 1915. Peraturan ini merupakan salinan dari peraturan koperasi Belanda tahun1925, sehingga tidak cocok dan sukar dilaksanakan oleh rakyat. Pada masa penjajahan Jepang, koperasi mengalami nasib yang lebih buruk. Kamntor Pusat Jawatan Koperasi diganti oleh pemerintah Jepang menjadi Syomin Kumiai Cou Jomusyo dan Kantor Daerah diganti menjadi Syomin Kumiai Saodandyo. Kumiai yaitu koperasi model Jepang, mula-mula bertugas untuk mendistribusikan barang-barang kebutuhan rakyat. Hal ini hanya alat dari Jepang untuk mengumpulkan hasil bumi dan barang-barang kebutuhan untuk Jepang. Walau hanya berlangsung selama 3,5 tahun tetapi rakyat Indonesia mengallami penderitaan yang jauh lebih dahsyat. Jadi, dalam masa penjajahan Jepang koperasi Indonesia dapat dikatakan mati.

Masa Kemerdekaan
 

Setelah bangsa Indonesia merdeka, pemerintah dan seluruh rakyat segera menata kembali kehidupan ekonomi. Sesuai dengan tuntutan UUD 1945 pasal 33, perekonomian Indonesia harus didasrkan pada asas kekeluargaan. Dengan demikian, kehadiran dan peranan koperasi di dalam perekonomian nasional Indonesia telah mempunyai dasar konstitusi yang kuat. Di masa kemerdekaan, koperasi bukan lagi sebagai reaksi atas penderitaan akibat penjajahan, koperasi menjadi usaha bersama untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup yang didasarkan pada asas kekeluargaan. Hal ini sangat sesuai dengan cirri khas bangsa Indonesia, yaitu gotong royong.
Pada awal kemerdekaan, koperasi berfungsi untuk mendistribusikan keperluan masyarakat sehari-hari di bawah Jawatan Koperasi, Kementerian Kemakmuran. Pada tahun 1946, berdasarkan hasil pendaftaran secara sukarela yang dilakukan Jawatan Koperasi terdapat sebanyak 2.500 buah koperasi. Koperasi pada saat itu dapat berkembang secara pesat.
Namun karena sistem pemerintahan yang berubah-ubah maka terjadi titik kehancuran koperasi Indonesia menjelang pemberontakan G30S / PKI. Partai-partai memenfaatkan koperasi untuk kepentingan partainya, bahkan ada yang menjadikan koperasi sebagai alat pemerasan rakyat untuk memperkaya diri sendiri, yang dapat merugikan koperasi sehingga masyarakat kehilangan kepercayaannya dan takut menjadi anggota koperasi.
Pembangunan baru dapat dilaksanakan setelah pemerintah berhasil menumpas pemberontakan G30S / PKI. Pemerintah bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kehadiran dan peranan koperasi dalam perekonomian nasional merupakan pelaksanaan amanat penderitaan rakyat. Masa pasca kemerdekaan memang dapat dikatakan berkembang tetapi pada masa itu membuat perkembangan koperasi berjalan lambat. Namun keadaannya sperti itu, pemerintah pada atahun 1947 berhasil melangsungkan Kongres Koperasi I di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kongres Koperasi I menghasilkan beberapa keputusan penting, antara lain :
  1. mendirikan sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia ( SOKRI )
  2. menetapkan gotong royong sebagai asas koperasi
  3. menetapkan pada tanggal 12 Juli sebagai hari Koperasi
Akibat tekanan dari berbagai pihak misalnya Agresi Belanda, keputiuasab Kongres Koperasi I belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Namun, pada tanggal 12 Juli 1953, diadakanlah Kongres Koperasi II di Bandung, yang antara lain mengambil putusan sebagai berikut :
  1. Membentuk Dewan Koperasi Indonesia ( Dekopin ) sebagai pengganti SOKRI
  2. Menetapkan pendidikan koperasi sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah
  3. Mengangkat Moh. Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia
  4. Segera akan dibuat undang-undang koperasi yang baru
Hambatan-hambatan bagi pertumbuhan koperasi antara lain disebabkan oleh hal-hal berikut :
  1. kesadaran masyarakat terhadap koperasi yang masih sangat rendah
  2. pengalaman masa lampau mengakibtakan masyarakat tetap merasa curiga terhadap koperasi
  3. pengetahuan masyarakat mengenai koperasi masih sangat rendah
Untuk melaksanakan program perkoperasian pemerintah mengadakan kebijakan antara lain :
  1. menggiatkan pembangunan organisasi perekonomian rakyat terutama koperasi
  2. memperluas pendidikan dan penerangan koperasi
  3. memberikan kredit kepada kaum produsen, baik di lapangan industri maupun pertanian yang bermodal kecil
Organisasi perekonomian rakyat terutama koperasi sangat perlu diperbaiki. Para pengusaha dan petani ekononmi lemah sering kali menjadi hisapan kaum tengkulak dan lintah darat. Cara membantu mereka adalah mendirikan koperasi di kalangan  mereka. Dengan demikian pemerintah dapat menyalutrkan bantuan berupa kredit melalui koperasi tersebut. Untuk menanamkan pengertian dan fubgsi koperasi di kalangan masyarakat diadakan penerangan dan pendidikan kader-kader koperasi.

Sumber : http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_1893/title_sejarah-koperasi-perkembangan-di-indonesia.