PANCASILA

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Translate

• Republik Indonesia Serikat (RIS) "Verenigde Staten van IndonesiĆ«" 1949-1950



Kesepakatan pada KMB pada tanggal 2 November 1949 merupakan awal terbentuknya Republik Indonesia Serikat. Republik Indonesia Serikat merupakan negara dengan sistem federal yang terdiri atas:

1. Tujuh negara bagian, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura dan Negara Indonesia Timur.

2. Sembilan satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu Kalimantan Barat, Banjar, Dayak Besar, Bangka, Belitung, Riau, Jawa Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tenggara.

3. Wilayah Indonesia selebihnya yang tidak termasuk dalam tujuh negara bagian dan 9 negara yang berdiri sendiri.

Karena tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi, serta diketahui bahwa sebagian negara anggota Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah hasil bentukan Belanda serta sangat bergantung pada kekuatan militer dan campur tangan pemerintah Belanda. Maka banyak terjadi pergolakan baik di pusat maupun di negara-negara bagian RIS lainnya.
Para tokoh bangsa yang duduk di kabinet RIS menginginkan agar bentuk negara kembali pada kesatuan, karena bentuk federal dianggap sebagai siasat Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia, belum lagi dasar pembentukan RIS yang lemah, menjadikan RIS sangat bergantung pada kekuatan militer Belanda, belum lagi rongrongan yang berasal dari dalam negeri yang mendapat dukungan dari Belanda.


   Perangko Republik Indonesia Serikat
Sebenarnya negara-negara bagian dibentuk atas keinginan Belanda dan bukan merupakan kehendak rakyat, tujuannya apalagi kalau bukan untuk mempengaruhi negara-negara bagian itu agar memisahkan diri selamanya dari RI dan dikuasai kembali oleh Belanda. Terjadi reaksi yang hampir senada di berbagai daerah, para pimpinan daerah negara bagian mengadakan rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan, sementara itu rakyat mengadakan berbagai demonstrasi di jalan-jalan di berbagai daerah. Tujuannya tak lain dan tak bukan agar RIS dibubarkan dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan. Bahkan beberapa pimpinan RI yang berada di parlemen bertekad untuk segera menghapuskan sistem negara federal ini.

Beberapa kejadian dan alasan yang membuat negara-negara bagian ingin kembali ke NKRI di antaranya sebagai berikut:

1. Di Negara Jawa Timur dan negara Madura dan Yogyakarta terjadi demonstrasi besar-besaran dalam rangka menuntut agar negara kesatuan segera dibentuk. Mereka merasa tidak memiliki perbedaan secara identitas kultural, linguistik ataupun etnik dengan rakyat di wilayah pemerintah, Yogyakarta. Akhirnya mereka sepakat untuk kembali bergabung dengan RI menjelang akhir Januari 1950.

2. Pada tanggal 23 Januari 1950 terjadi percobaan kudeta, pendudukan kota Bandung bahkan percobaan pembunuhan terhadap beberapa menteri. Teror itu dilakukan oleh Kapten KNIL, Raymond Westerling bersama pasukannya yang disebut Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Kejadian itu membuat tekad rakyat negara Pasundan semakin bulat untuk bergabung dengan RI.

3. Tanggal 30 Januari 1950 Wiranata Kusumah, wali negara Pasundan, mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaannya kepada komisaris RIS sewaka pada tanggal 8 Februari 1950. Hal ini memicu berbagai wilayah lain untuk mengikuti jejak negara Pasundan, mereka berbondong-bondong mengundurkan diri dan bergabung dengan RI. Di antara bulan Maret dan April 1950 tercatat Kalimantan Timur, Daerah Banjar, Dayak Besar, Kalimantan Tengah, Bangka, Riau, dan Belitung, melebur kembali ke RI.

4. Pada bulan April 1950 kekuasaan atas negara Kalimantan Barat diambil alih oleh RIS. Hal ini disebabkan karena Sultan Hamid II selaku kepala negara terbukti melakukan penghasutan kepada pasukan Westerling untuk membuat keonaran. Lalu terungkap juga bahwa Sultan Hamid adalah termasuk salah seorang menteri yang tidak memiliki fortopolio dalam kabinet RIS.

5. Pada bulan Mei 1950, hampir seluruh negara bagian dan daerah-daerah membubarkan diri. Dimulai sekitar bulan Maret, terjadi pergolakan dan pertentangan antara golongan federalis (pendukung sistem federal yang biasanya mendapat sokongan dan hasutan dari Belanda) dan unitaris (para loyalis yang ingin kembali ke NKRI) berkobar terutama di Makasar, hal ini menimbulkan krisis politik dan pemberontakan.

Berbagai pergolakan di hampir seluruh wilayah negara-negara bagian itu membuat para pemimpin RIS dan parlemen harus segera memberikan respon, karena dikhawatirkan pergolakan ini justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin memancing di air keruh. Akhirnya berbagai upaya pun dilakukan, mulai dari pertemuan-pertemuan, konferensi, rapat-rapat, dan sebagainya.
Dalam konstitusi RIS, pasal 43 dan 44 disebutkan bahwa peleburan negara-negara bagian dan penggabungan dengan negara-negara bagian harus berdasarkan aturan-aturan yang telah tercantum dalam Undang-Undang Federal.Untuk merespon berbagai tuntutan dan usaha-usaha dari berbagai daerah yang menginginkan kembali ke sistem negara kesatuan, maka pada tanggal 20 Februari 1950 Perintah pusat RIS mengajukan usulan suatu RUU kepada DPR RIS yang bertugas mengatur permasalahan yang ada di negara-negara bagian dan daerah-daerah.

Uang pada masa RIS

 Tanggal 8 Maret 1950, pemerintah RIS mensahkan Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1950, tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-undang itu, beberapa negara bagian menggabungkan diri dengan Republik Indonesia di Yogyakarta atas inisiatif sendiri. Parlemen RIS tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan negara-negara bagian dan daerah-daerah, begitu pula dengan pemerintah RIS.
Pada tanggal 5 April 1950, RIS hanya terdiri dari tiga negara bagian, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur. Semakin kuatnya keinginan rakyat agar Negara kesatuan diwujudkan, mendorong pemerintah RI untuk memberikan masukan pada pemerintah RIS agar dilaksanakan suatu perundingan dengan Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur. 

Lalu dilaksanakanlah konferensi segitiga antara Perdana Menteri Moh. Hatta (RIS), Presiden Sukawati (NIT) dan wali negara Tengku Mansyur untuk membicarakan masalah pembentukan negara kesatuan pada bulan Mei 1950.
Pada tanggal 19 Mei 1950, berlangsung pertemuan antara Perdana Menteri Moh. Hatta (RIS) dan Perdana Menteri Halim (RI) yang membuahkan kesepakatan yang dituangkan dalam suatu Piagam Persetujuan, yang inti dari kandungannya adalah kesepakan antara RI dan RIS untuk membentuk negara kesatuan. Lalu, kedua pemerintah membentuk sebuah kepanitiaan yang akan melaksanakan Piagam Persetujuan 19 Mei 1950 itu. Tugas panitia ini khusus untuk menyusus Rancangan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan.

Undang-Undang Dasar ini disusun dengan cara mengubah konstitusi RIS, poin-poin yang dianggap baik dalam konstitusi RIS diambil dan digabungkan dengan poin-poin penting dari UUD 1945, poin-poin itu antara lain tentang aturan warga negara, agama, dan susunan ekonomi yang berasaskan kekeluargaan, sementara dari konstitusi RIS diambil poin tentang hak-hak asasi manusia. Parlemen dan senat RIS akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tanggal 12 Agustus, Badan Pekerja Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta menyetujui Rancangan UUDS itu.
Akhirnya, di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1950, di depan sidang Senat RIS dan DPRS, presiden Soekarno mengumumkan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan pada hari yang sama Soekarno menerima kembali jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia dari Mr. Asaat yang memangku jabatan sementara Presiden Republik Indonesia, lalu Perdana Menteri RIS menyatakan mengundurkan diri, dan dengan demikian berakhirlah Negara Republik Indonesia Serikat.
Pada tanggal 17 Agustus 1950, presiden Soekarno mengumumkan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia di Jakarta. UUDS Negara Kesatuan Republik Indonesia diberlakukan yang kemudian lebih dikenal dengan UUDS 1950. Kemudian pada hari yang sama Soekarno berangkat menuju Yogyakarta untuk membubarkan Negara Indonesia Serikat secara resmi.
Pada kenyataannya Republik Indonesia Serikat hanya berumur sekitar 8 bulan setelah konstitusi Republik Indonesia Serikat diganti dengan Undang-Undang Dasar 1950 (UUDS 1950). UUDS ini pun hanya berlaku hingga tahun 1959, setelah presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit dan menyatakan Indonesia kembali ke UUD 1945. Dengan demikian cita-cita kemerdekaan Indonesia yang sesuai dengan proklamasi 17 Agustus 1945 yang berbentu negara kesatuan sudah tercapai. 

(sumber: bimbie.com) 
(foto:sejarahri.com,uang-kuno.com)

• R.E Martadinata

• RADEN EDDY MARTADINATA


Laksamana TNI (Anumerta) Raden Eddy Martadinata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 29 Maret 1921 – meninggal di Riung Gunung, Jawa Barat, 6 Oktober 1966 pada umur 45 tahun), atau yang lebih dikenal dengan nama R. E. Martadinata, adalah tokoh ALRI dan pahlawan nasional Indonesia. Ia meninggal dunia akibat kecelakaan helikopter di Riung Gunung dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.


PERJUANGAN


Ia menghimpun pemuda bekas siswa Pelayaran Tinggi dan mereka berhasil merebut beberapa buah kapal milik Jepang di Pasar Ikan Jakarta. Selanjutnya mereka menguasai beberapa kantor di Tanjung Priok dan Jalan Budi Utomo Jakarta. Setelah pemerintah membentuk BKR, pemuda-pemuda pelaut bekas pelajar dan guru Sekolah Pelayaran Tinggi serta pelaut-pelaut Jawa Unko Kaisya yang dikoordinasi oleh M. Pardi, Adam, Martadinata, Surjadi Untoro, dan lain-lain, membentuk BKR Laoet Poesat yang dalam perjalanannya berubah menjadi TKR Laoet, diubah lagi menjadi TRI Laoet dan bulan Februari berganti lagi menjadi ALRI.



Menteri/Panglima Angkatan Laut   

Pada tahun 1959, terjadi pergolakan di dalam tubuh ALRI yaitu adanya ketidakpuasan terhadap kepemimpinan KSAL yang pada saat itu dipimpin oleh Laksamana Madya R. Soebijakto, beberapa perwira yang dimotori oleh Mayor Laut Yos Soedarso dan Mayor (KKO) Ali Sadikin (kemudian disebut sebagai Gerakan 1959) menghadap Presiden Sukarno untuk menyampaikan permohonan penggantian KSAL dengan damai dan tanpa kekerasan.
Pada awalnya Presiden Sukarno tidak menyetujui permohonan tersebut, namun setelah melihat bahwa gerakan tersebut mendapat dukungan hampir sebagian besar staf ALRI maka Presiden Soekarno memanggil Laksamana Madya R. Soebijakto untuk mendiskusikan Gerakan 1959. Dalam pembicaraan tersebut Presiden menyampaikan rencana penggantian KSAL dan ketika Presiden menanyakan siapakah calon yang cocok untuk menjadi KSAL maka Laksamana Madya R. Soebijakto mengusulkan Kolonel Laut R.E. Martadinata sebagai penggantinya karena dianggap netral. Pada saat itu Martadinata masih memimpin satuan ALRI mengawasi pembuatan kapal pesanan ALRI di Italia. Setelah menjabat, maka dengan sekuat tenaga ia berhasil mendamaikan kembali golongan-golongan yang saling berlawanan sehingga ALRI tetap utuh dan bersatu.
Ketika menjabat KSAL yang kemudian diubah namanya diubah menjadi Menteri/Panglima Angkatan Laut, Angkatan Laut Republik Indonesia memiliki kekuatan yang disegani di kawasan Asia Pasifik seiring dengan meningkatnya konfrontasi dengan Belanda berkaitan dengan perebutan Irian Barat. Dengan dicanangkannya Trikora, maka ALRI membeli peralatan tempur dari Rusia dengan jumlah yang cukup banyak antara lain: 1 kapal penjelajah (kelas Sverdlov), 8 perusak (kelas Skoryy), 8 frigat (kelas Riga), 12 kapal selam (kelas Whiskey) dan kapal-kapal pendukung lainnya yang berjumlah hampir lebih dari 100 buah kapal. Selain itu dibeli pula pesawat pembom torpedo Ilyushin Il-28 seri Il-28T dan Il-28U, serta helikopter Mil Mi-4.
Pada tahun 1965, terjadi kembali pergolakan di dalam tubuh ALRI yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan Perwira Progresif Revolusioner (GPPR). Gerakan ini mengikuti pola Gerakan 1959 yaitu menghadap Presiden Sukarno untuk menyampaikan laporan terjadinya kemerosotan kinerja Angkatan Laut karena dikelola oleh para perwira yang tidak profesional serta ketidakpuasan dengan kepemimpinan R.E. Martadinata sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut. Karena gerakan ini dianggap sebagai pelanggaran militer dan sesuai saran dari Letnan Jenderal Ahmad Yani yang ketika itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, maka hampir kurang lebih 150 perwira yang terlibat dalam gerakan tersebut di mana termasuk diantaranya J.E. Habibie (mantan Dubes RI di Belanda) dan Pongky Soepardjo (mantan Dubes RI di Finlandia) dikeluarkan dari dinas Angkatan Laut.


Kepangkatan

  1. Kapten (Act) Mayor - 1950
  2. Mayor Laut - 1953
  3. Letnan Kolonel Laut - 1957
  4. Kolonel Laut - 1959
  5. Komodor Laut - 1959
  6. Laksamana Muda Laut - 1960
  7. Laksamana Madya Laut - 1964
  8. Laksamana - 1966
Sumber : wiki

• Panglima Batur (Kalimantan)


PANGLIMA BATUR

Selasa, 27 September 2011 di Hotel Luansa Palangkaraya, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah menggelar seminar pengusulan Panglima Batur sebagai Pahlawan Nasional. Seminar diusung untuk memperjuangkan Panglima Batur sebagai Pahlawan Nasional. Panglima Batur dianggap layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional karena jasanya yang sangat besar dalam mengangkat panji-panji perjuangan membela bangsa dan tanah air di daerah hulu sungai Barito.

Panglima Batur adalah salah seorang pejuang Perang Banjar (Bandjermasinsche Krijg), yakni perang antara dua bangsa dan pemerintahan yang berdaulat, yakni antara bangsa Banjar di Kesultanan Banjarmasin di satu pihak yang wilayah utamanya meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sekarang dengan pihak Belanda. Pada saat berdirinya Kesultanan Banjar, semua suku yang ada dalam wilayah teritorial Kesultanan Banjar seperti suku Banjar, Bukit, dan Dayak (a.l. suku Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Siang, Bakumpai) baik yang beragama Islam maupun yang masih menganut kepercayaan Kaharingan adalah ”Bangsa Banjar”.
Panglima Batur berasal dari suku Dayak beragama Islam di daerah Buntok-Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh. Sebagai panglima ia mengabdi kepada pemerintahan Pegustian yakni pemerintahan kelanjutan Kesultanan Banjar di hulu Sungai Barito. Setelah Perang Banjar meletus pada tahun 1859, maka kemudian perang ini meluas hingga ke hulu Barito. Pangeran Antasari sebagai pimpinan perang mampu menyatukan kalangan pejuang dari etnis Banjar dan Dayak untuk bersama-sama melawan Belanda. Selepas Antasari meninggal di tahun 1862 di Bayan Begok daerah Puruk cahu, pimpinan perlawanan diteruskan oleh puteranya Sultan Muhammad Seman, dan ia dibantu oleh pengikut setianya yakni Panglima Batur. Oleh karena itu, perjuangan yang dilakukan Panglima Batur pada hakikatnya adalah untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan tanah Banjar dari penguasaan Belanda.

Panglima Batur bersama Sultan Muhammad Seman mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kerajaan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa. Ia adalah sultan terakhir dari Kerajaan Banjar dalam pemerintahan pelarian di daerah Barito. Sultan Muhammad Seman benar-benar konsekwen terhadap sumpah melaksanakan amanah ayahndanya Pangeran Antasari yang tidak kenal kompromi dengan Belanda, “Haram manyarah waja sampai kaputing”.
Tertegun dan dengan rasa sedih yang mendalam ketika Panglima Batur kembali ke benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya telah tewas. Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali ke Buntok-Kecil. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung di Puruk Cahu.
Sepeninggal Sultan, Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan. Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi sifat Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang dijadikan alat untuk menjebaknya.
Ketika terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di kampung Lemo, dimana seluruh anggota keluarga Panglima Batur terkumpul, saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan. Pasangan mempelai yang sedang bertanding juga ditangkap dimasukkan ke dalam tahanan, dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai Belanda untuk menjebak Panglima Batur.

Dengan perantaraan Haji Kuwit salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha menangkapnya. Atas suruhan Belanda Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding dengan Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan dan dibebaskan, dan sebaliknya apabila Panglima tetap berkeras kepala, tahanan tersebut akan ditembak mati. Hati Panglima Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila dia bertekad lebih baik dia yang menjadi korban sendirian dari pada keluarganya yang tidak berdosa ikut menanggungnya.
Dengan diiringi orang-orang tua dan orang sekampungnya Panglima Batur turun ke Muara Teweh. Benar apa yang menjadi kata hatinya, bukan perundingan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan. Ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah dua minggu di tawan di Muara Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke Banjarmasin. Di kota Banjarmasin dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati.
Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ketiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan “Dua Kalimah Syahadat” untuknya. Dia dimakamkan di belakang Mesjid Jami’ lama Banjarmasin di tepian Sungai Martapura, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks “Makam Pahlawan Banjar” Jalan Mesjid Jami Banjarmasin (Dikutip a.l. dari Buku Sejarah Banjar; foto Panglima Batur koleksi keluarga alm. H.M. Yakub Amin —lahir 1915, pensiunan TNI tahun 1950— diwarisi dari orang tua beliau, di Jalan Panglima Batur, Banjarmasin).


*oleh Wajidi
http://bubuhanbanjar.wordpress.com/2011/10/14/panglima-batur/

• Mayor Tjilik Riwut (Kalimantan)


Pahlawan Nasional Tjilik Riwut
02 Februari 1918-17 Agustus 1987

Sosok gagah perkasa dan berkarakter itu telah tiada, tapi nama besar dan pengabdiannya untuk Kalimantan Tengah, kini masih terpateri dan bergaung, seindah namanya; Tjilik Riwut.

Tjilik Riwut lahir di Katunen,Kasongan,Kalimantan Tengah pada tanggal 02 Februari 1918.
Ia dibesarkan oleh kedua oranga tuanya yang sangat mencintainya, yakni Bapak Riwut Dahiang dan Ibu Piai Sulang.
Saat berusia 18 tahun, Tjilik Riwut dikirim Zending ke Pulau Jawa untuk mengikuti Kursus Perawat di Banyu Asih, Purwakarta(1936). Di Jawa, selain sekolah perawat, Tjilik Riwut juga bekerja sebagai pengantar koran. Dari sanalah ia mulai bersentuhan dengan dunia jurnalistik dari Sanusi Pane dan M. Tabrani.
Pada usia 28 tahun, tepatnya pada tanggal 17 Desember 1946 ia mewakili 142 suku Dayak di pedalaman Kalimantan, bersama dengan 7 pemuda Dayak lainnya, melakukan sumpah setiapada pemerintahan RI di Gedung Agung Yogyakarta, di hadapan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Gubernur Borneo (Kalimantan) Ir. Pangeran Mohammad Noor, Serta sejumlah pejabat lainnya. Sejak tahun 1946-1949 , mayor Tjilik Riwut bertugas sebagai Komandan Pasukan MN 1001 Mobiele Brigade MBT TNI Kalimantan.
Sejak 1950-1956 menjadi Bupati Kotawaringin Sampit dan Bupati Kepala Daerah Swantra Tinggkat II Kotawaringin. Tahun 1964-1966, sebagai anggota MPRS dan sejak tahun 1956-1967, menjadi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah (perintis pembangunan di kota Palangkaraya).
Tahun 1973-1985 , Tjilik Riwut mengemban tugas sebagai Koordinator Masyarakat Dayak terasing untuk seluruh pedalaman di Kalimantan.
Pada tahun 1971-1987, Tjilik Riwut menjadi Anggota DPR-RI (3 periode/masa jabatan)
17 Agustus 1987 , dikala seluruh rakyat Indonesia mengenang detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI, Tjilik Riwut dipanggil Tuhan pada pkl. 05.00 WITA, di Rumah Sakit Suaka Insan Banjarmasin. Untuk Putra Bangsa seperti Tjilik Riwut, hanya ada satu sebutan yang tepat. Dia seorang Adiwaskita, seorang yang serba cekatan,tanggap dan paham.

*Berbagai Penghargaan/Tanda Jasa yang diraih Tjulik Riwut tidak dapat disebutkan secara rinci dalam biografi singkat ini, tetapi dimuat secara lengkap dalam Buku yang ditulis oleh beliau sendiri, yang berjudul "Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan".


(Museum Balanga: Kalimantan Tengah)

• Senapan masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia & World War II

Dalam catatan sejarah Republik Indonesia, tercatat era kolonial yang ditandai dengan masuknya penjajah dari Eropa dan juga Jepang. Perang merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan tidak dapat dihindari.
Sejarah perjuangan rakyat Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan tidak lepas dengan senjata yang digunakan melawan penjajah pada masa itu, salah satunya berupa senapan/bedil. Senapan-senapan ini juga memberikan andil yang besar dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang kita banggakan.
Berikut sejumlah senapan yang pernah muncul pada masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

1. Sten Machine Gun (MARK I-MARK VI)

Sten Gun Mark II Parts
Sub machine gun buatan Inggris ini mulai diproduksi taun 1941. Didesain oleh Major Reginald V. Shepherd dan Harold J. Turpin. SMG ini didesain untuk bisa mudah diproduksi massal dan murah harganya. Tidak heran kalau bentuk SMG ini simpel dan kasar. Perbandingan harganya adalah 15 sten gun sama dengan 1 Lee Enfield. Pejuang kita merampasnya dari tentara Inggris. Rate of fire: 500 peluru/menit. Jarak efektif: 60 m.
2. LE Lee Enfield


SMLE (Short Magazine Lee Enfield), merupakan bolt action rifle yang awal-awal mengadopsi sistem magasin. Pertama diproduksi oleh Inggris taun 1895 dan digunakan di dua perang dunia bahkan pada konflik afganisthan. Sesuai namanya, senapan ini didesain oleh James Paris Lee, RSAF Enfield. Pejuang kita merampasnya dari Inggris dan Belanda. Jarak efektif: 503 m.

3.OWEN






Owen merupakan SMG buatan Australia. Pertama diproduksi tahun 1938. Didesain oleh Evelyn Owen, veteran tentara Australia. DIbuat berdasarkan SMG Sten Gun Inggris dan Thompson amerika. Dirampas dari Inggris. Rate of Fire: 700 peluru/menit.


4. M1 GARAND




Mungkin inilah bolt action rifle sekutu paling terkenal di muka bumi semasa perang dunia 2. Senjata ini pasti jadi senjata wajib kalo agan main game fps WWII kayak Call of Duty. Senjata bolt action terlaris dalam sejarah. Buatan Amerika Se rikat, pertama diproduksi tahun 1936. Didesain oleh John C. Garand. Dirampas dari Inggris dan Belanda. Jarak efektif 402 m.

5. Bren Light Machine Gun





Siapa tak kenal Bren? Light machine gun dari Inggris ini merupakan andalan sekutu untuk menyaingi light machine gun Jerman yang terkenal, MG42. Sangat terkenal dan digunakan secara luas di hampir seluruh permukaan bumi. Seb enarnya Bren merupakan modifikasi dari light machine gun Cekoslovakia, ZB vz. 26. Pertama diproduksi 1935. Dirampas dari Inggris dan Belanda. Rate of Fire: 500–520 peluru/menit. Jar ak efektif: 550 m.

6. Arisaka Rifle


Arisaka merupakan bolt action rifle buatan Jepang. Terdiri dari 5 varian, type 30, 38, 44, 97, 99. Pejuang Indonesia paling banyak menggunakan yang 44. Diproduksi pertama kali 1898. Dirampas dari Jepang. Jarak efektif: 400 m.

7. Nambu Pistol



Pistol ini ke desain oleh Jenderal Kijiro Nambu pada 1902. Dia adalah seorang desainer senjata produktif yang kadang-kadang disebut "John Browning dari Jepang". Meskipun pistol memiliki kemiripan pada Luger P08 Jerman, pistol ini tidak berdasarkan pada desain Luger itu. Luger menggunakan toggle-lock, sedangkan nambu memaka i mekanisme blowback.

produksi = 1906 - 1945
berat = 900 g (1.98 lb) unloaded
amunisi = 8x22mm nambu,7x20mm nambu
kaliber = 8mm
mekanisme = recoil-spring
kec.peluru = 950 ft/s (289.6 m/s)

8. Lewis








Light machine gun ini merupakan hasil kerja sama Amerika Serikat dan Inggris. Diproduksi di kedua negara dan didesain oleh Colonel Isaac Newton Lewis, seorang tentara Amerika. Mulai diproduksi 1913. Digunakan sangat luas oleh ang katan bersenjata Inggris pada masanya. Senapan ini pernah menorehkan sejarah di Indonesia. Rate of Fire: 500–600 peluru per menit. Jarak efektif 800 m.

9. Thompson Sub Machine Gun dan Thompson M1 A1

1.Thompson Sub Machine Gun






Sub machine gun (SMG) andalan sekutu pas PD2 dan senjata standar pasukan sekutu ini dibikin oleh Amerika Serikat dari tahun 1921. Didesain oleh John T. Thompson. Dalam sejarahnya banyak dipakai oleh mafia-mafia seperti al capone, dan pada zaman mafia itu, senapan ini terhitung SMG mewah, terutama karena harganya. D ikenal mahal, sulit diproduksi, dan ribet, tapi sangat luas penggunaannya. Meski begitu, cuma sedikit yang masuk ke Indonesia. Dirampas dari Belanda. Rate of Fire: 600-1200 peluru/menit. Jarak efektif: 50 m.

2. Thompson M1A1








***crashnow/kaskus
Foto :
machinegunboards.com/rifleman.org.uk/ww2incolor.com/militaryfactory.com/freerepublic.com/cornellpubs.com/modelguns-worldwide.com/emilylouiselangley.blogspot.com.

• Peristiwa MANDOR (Kalimantan Barat)

Peristiwa MANDOR



 

Oleh A. Halim R
Budayawan dan Wartawan Senior Kalbar.




Tanggal 28 bulan 6 di Kalimantan Barat berkabung. Bendera merah-putih dinaikkan setengah tiang di seluruh daerah Kalimantan Barat (Kalbar). Upacara ziarah masal dilaksanakan di Mandor, sebuah kota kecamatan berjarak 88 km di sebelah timur Pontianak.

Apa konon yang telah terjadi?

Sebuah tragedi sejarah telah terjadi 64 tahun lalu. Tentara pendudukan Jepang telah melakukan pembantaian masal di Kalbar terhadap raja-raja, keluarga raja, cerdik-cendekia, amtenar, orang-orang politik, tokoh masyarakat, tokoh agama, bahkan hingga rakyat jelata, dari berbagai etnik, suku maupun agama!
Borneo Sinbun sebuah suratkabar Pemerintah Bala Tentara Jepang, Sabtu tanggal 1 Sitigatu 2604 (1 Juli 1944 – pen) pada halaman pertama menurunkan berita utama (head line) berjudul: KOMPLOTAN BESAR YANG MENDURHAKAI UNTUK MELAWAN DAI NIPPON SUDAH DIBONGKAR SAMPAI KE AKAR-AKARNYA.
Judul kecil (kicker) di bawahnya berbunyi: Kepala-kepala Komplotan serta Lain-lainnya Ditembak mati. Keamanan di Borneo Barat Tenang Kembali dengan Sempurna.
Di bawah judul itu – dalam tanda kurung – tertulis: Pengumuman Pasukan di Daerah Ini pada Tanggal 1 Juli 1944.
Koran Borneo Sinbun cukup dikenal di Kalbar pada masa itu, karena penerbitannya sudah menginjak tahun kedua. Ukuran halamannya hanya sebesar kertas folio, 5 kolom, terdiri dari 4 halaman, terbit 3 x seminggu.
Tanggal 1 Juli 1944, tiga halaman pertama koran itu habis dimakan berita tersebut. Dalam tubuh berita (body text) antara lain tertulis: Oleh sebab itu baru-baru ini dalam Sidang Majelis Pengadilan Hukum Ketentaraan Angkatan Laut, kepala-kepala komplotan serta lain-lainnya telah dijatuhkan hukum mati, maka pada tanggal 28 Rokugatu (28 Juni 1944 – pen) mereka pun telah ditembak mati.
Setidaknya ada 48 nama korban yang dimuat Borneo Sinbun hari itu, lengkap dengan keterangan umur, suku, jabatan atau pekerjaan. Mereka adalah: JE Pattiasina, Syarif Muhammad Alkadri, Pangeran Adipati, Pangeran Agung, Ng Nyiap Soen, Lumban Pea, Rubini (dr), Kei Liang Kie, Ny Nyiap Kan, Panangian Harahap, Noto Soedjono, FJ Loway Paath, CW Octavianus Lucas, Ong Tjoe Kie, Oeray Alioeddin, Gusti Saoenan, Mohammad Ibrahim Tsafioeddin, Sawon Wongso Otomodjo, Abdul Samad (Batak), Soenarco Martowardoyo (dr), M Yatim, Rd Mas Soediyono, Nasaruddin, Soedarmadi, Tamboenan, Thji Boen Khe, Nasroen St Pangeran (Batak), E Londak Kawengian, WFM Tewu, Wagimin bin Wonsosemito, Ng Loeng Khoi, Theng Swa Teng, RM Ahmad Diponegoro (dr), Ismail (dr), Ahmad Maidin (India), Amaliah Rubini (istri dr Rubini), Nurlela Panangian Harahap (istri Panangian), Tengkoe Idris, Goesti Mesir, Syarif Saleh, Gusti A Hamid, Ade M Arief, Goesti M Kelip, Goesti Djafar, Rd Abdulbahri Danoeperdana, M Taoefik, AFP Lantang, dan Rd Nalaprana. (Kaum-kerabat, anak-cucu korban, kini pasti ada bertebaran di Nusantara ini – pen).
Tuduhan terhadap para korban itu diungkapkan pula oleh Borneo Sinbun: Apa yang diidamkan oleh mereka ialah sambil mempergunakan kekalutan keamanan sewaktu Bala Tentara Dai Nippon memasuki daerah ini, melaksanakan kemerdekaan Borneo Barat dengan sekaligus.
Diungkapkan pula, penangkapan secara besar-besaran pertama kali dilakukan tentara Jepang subuh tanggal 23 Zyugatu (23 Oktober 1943 – pen), disusul penangkapan gelombang kedua subuh tanggal 24 Itigatu (24 Januari 1944 – pen).
Sekitar tiga tahun mendaulat Kalbar, tentara pendudukan Jepang telah membantai 21.037 warga Kalbar. Dari lingkungan Istana Kadriyah Pontianak, Jepang bukan cuma menangkap dan membunuh Sultan Syarif Muhammad Alkadri, tetapi juga 59 korban lainnya. Sungguh sedikit nama-nama korban yang tertulis di Borneo Sinbun itu.
Adapun data 21.037 korban ini terungkap dari mulut Kiyotada Takahashi seorang turis Jepang yang berkunjung ke Kalbar 21 – 22 Maret 1977 kepada H Mawardi Rivai (alm) seorang wartawan di Pontianak. “Saya ingat dan masih punya catatan tentang jumlah korban yang tertangkap ataupun terbunuh secara masal pada sekitar bulan Juni 1944, yaitu 21.037 orang. Tapi saya kurang mengetahui dengan pasti apakah semua tawanan itu dibunuh di daerah Mandor. Akan tetapi tentang jumlah korban tersebut pernah tercatat dalam sebuah dokumen perang yang tersimpan di museum di Jepang,” ucap Kiyotada Takahashi. Takahashi datang ke Pontianak bersama 21 orang turis Jepang lainnya, dan mereka sempat berziarah ke Mandor dan meneteskan air mata di sana.
Siapakah Takahashi? Ia bukan lain, mantan opsir Syuutizityo Minseibu yang pernah tinggal di Jalan Zainuddin Pontianak. Selain Takahashi, dalam rombongan itu terdapat beberapa orang lagi bekas Kaigun Minseibu yang pada hari tuanya telah menjadi pengusaha. Takahashi sendiri, pada tahun 1977 itu adalah Presiden Direktur perusahaan Marutaka House Kogyo Co Ltd.
Data akurat tentang jumlah korban ini memang belum ada, namun untuk sementara data inilah yang dijadikan pegangan Pemprov Kalbar. Sedangkan satu-satunya dokumen tertulis yang ada di Kantor Arsip Pemprov Kalbar hanya selembar suratkabar Borneo Sinbun tersebut. Itu pun hanya halaman 1 dan 2 saja. Namun dari beberapa sumber yang pernah membaca berita tersebut selengkapnya, di halaman 3 suratkabar itu disebutkan bahwa jumlah korban seluruhnya sekitar 20.000 orang!
Tempat pembantaian masal itu sesungguhnya tak hanya di Mandor dan Sungai Durian (sekarang: Bandara Supadio) Pontianak, tetapi juga di rimba pedalaman Kalbar. Sebab bersama tentara Jepang masuk ke Kalbar, ikut serta pula dua perusahaan yaitu Nomura yang bergerak di bidang pertambangan, dan Sumitomo di perkayuan (perkapalan). Kedua perusahaan ini, di-backing militer, menggunakan berpuluh ribu tenaga romusa. Contohnya, di pertambangan batu tungau (bahan mesiu) di Petikah Kapuas Hulu, sekitar 70.000 remaja tanggung dan lelaki dipekerjakan secara paksa.
H Abdurahman Banjar (78 th) seorang saksi hidup yang kini tinggal di Nanga Semangut Kabupaten Kapuas Hulu, ditangkap Jepang ketika tengah berjalan di pasar Pontianak. Ia dan para remaja lain yang ditangkap dimasukkan ke dalam truk, kemudian dinaikkan ke kapal dan dibawa ke hulu Sungai Kapuas. Ia menyaksikan dan merasakan sendiri hidup di “neraka Petikah”. Para remaja dan orang muda yang semula datang dengan badan sehat dan tubuh tegap, berangsur menjadi kurus-kering, bermata cekung, wajah pucat, kurang makan. Karena ketiadaan pakaian, ribuan manusia bekerja keras di tengah rimba hanya mengenakan cawat dari kulit kayu. Yang mati dan dibunuh, mayat-mayatnya langsung dikuburkan di bekas lubang galian yang tidak dipergunakan lagi.
Ketika Jepang kalah – menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu – mereka meninggalkan ladang pembantaian Mandor dalam keadaan sangat memilukan. Di sana ditemukan sejumlah lapangan yang diberi tanda dengan tonggak kayu belian (ulin). Diperkirakan, itu merupakan makam masal yang sempat dikerjakan. Selain itu sekitar 3000-an kerangka manusia ditemukan berserakan di sana, telah bercerai-berai karena di makan babi hutan.
Nyonya Saddiah Mahidin Batubara (almh) asal Sipirok (Sumut) pada tahun 1977 bercerita: Suami saya – Mahidin Batubara – yang bekerja di Kantor Distribusi Pemerintah Jepang (SADIP) di kawasan Pelabuhan Seng Hie Pontianak, diambil Jepang dari kantornya pada bulan Maret 1944 sekitar pukul 10.00 pagi. Kami tak pernah bertemu lagi setelah itu. Setelah Jepang kalah, kami keluarga korban berkesempatan untuk datang ke Mandor. Sekitar 11 – 13 mobil yang dipergunakan. Bertindak selaku penunjuk jalan, beberapa orang Jepang yang tangannya diborgol dan dikawal oleh tentara Australia. Apa yang kami saksikan di Mandor, sangat memilukan. Banyak yang pingsan menyaksikannya. Di sana-sini tulang belulang berserakan. Kerangka-kerangka itu sudah bercerai-berai karena dimakan babi hutan. Di sana-sini terlihat pula bekas-bekas pakaian, baik pakaian pria maupun pakaian wanita. Bekas kain panjang wanita, saya kira ada 5 helai. Juga rambut wanita, setagen dan sandal. Dari sekian banyak barang yang terlihat, ada satu yang saya kenal betul, yaitu sebuah sisa celana. Ciri celana itu tidak umum, karena bawaan dari Medan. Ketika almarhum ditangkap, celana itulah yang dipakainya. Tapi yang mana kerangka almarhum, tak dapat ditemukan.
Saini Saad kelahiran Singkawang (Kalbar), berusia 22 tahun ketika Jepang masuk ke Kalbar tahun 1942. Setelah Jepang kalah, ia datang ke Mandor ikut menjadi pekerja pengumpul dan pembersih kerangka manusia yang dibunuh di sana. Pengumpulan tulang belulang itu dikerjakan mulai akhir tahun 1945 hingga awal tahun 1946, selama tiga bulan!
“Kami mengumpulkan semua tulang belulang yang berserakan, juga tulang belulang yang kami temukan tertumpuk di dalam parit-parit dangkal. Setiap kali ditemukan, selalu saja tengkorak kepala itu terpisah dari kerangka tubuh. Malah dalam jarak yang agak berjauhan. Oleh sebab itu saya yakin, korban dibunuh dengan cara dipancung dengan samurai. Dugaan ini diperkuat dengan melihat adanya bekas-bekas bangku kayu yang berdekatan dengan parit-parit. Saya kira, sebelum dibunuh, korban disuruh duduk di atas bangku itu menghadap ke parit. Lalu diperintah sedikit membungkuk. Dan pada ketika itulah samurai Jepang diayunkan. Tubuh korban dengan sendirinya akan jatuh ke parit. Kalaupun tidak, hanya dengan dorongan sedikit saja tubuh korban pasti masuk ke parit. Setiap bertemu tengkorak kepala, meskipun telah terpisah dari rahang bawahnya, saya selalu mengamati apakah tengkorak itu ada mengalami cacat seperti retak bekas pukulan ataupun berlubang bekas peluru. Tak satupun saya temukan hal yang demikian. Tugas kami hanya mengumpulkan dan membersihkan tulang-belulang yang berserakan, yang belum dikubur. Tulang belulang itu dikuburkan secara masal di 10 lokasi makam. Sebuah di antaranya diperuntukkan bagi kerangka korban yang diangkut dari Sungai Durian Pontianak. Sebuah lagi, yang agak dekat dan berada di atas bukit kecil, dikatakan oleh orang-orang Belanda sebagai makam raja-raja. Makam itulah yang pertama dikerjakan penyemenannya,” tutur Saini Saad tahun 1977 di Mandor kepada penulis. Kini dia sudah almarhum.

books.google.com
Setelah pemakaman seluruh kerangka korban selesai dilakukan, di pintu masuk ke areal tersebut dibangun sebuah pintu gerbang beton yang sederhana, diberi bertulisan: Ereveld Mandor. Letaknya di tepi jalan Pontianak – Sanggau.
Tahun demi tahun setelah itu berlalu dalam kelengangan alam. Hutan kayu jenger, beragam anggrek dan berbagai jenis kantung semar tumbuh subur di areal tanah berpasir tersebut. Bertahun kemudian, kawasan itu bagaikan tersembunyi oleh alam. Bagaikan terkucil. Citra paling ngeri seperti menggelantung di sana.
Baru pada tahun 1973 timbul prakarsa untuk melakukan ziarah masal setiap tahun. Hal ini dilakukan pertama kali pada tanggal 28 Juni 1973, dipimpin langsung oleh Gubenur Kalbar pada masa itu: Kadarusno. Keadaan dan suasana di kompleks pemakaman Mandor itu masih berhutan, jalan masuk baru dibersihkan sekadarnya.
Ustaz H Djamhur Rafi (alm) yang memimpin pembacaan doa pertama kali pada ziarah masal awal itu bercerita: Waktu pembacaan doa dilakukan di salah satu makam masal, saya memimpin pembacaan doa sambil berdiri. Demikian juga para hadirin lainnya. Namun waktu pembacaan doa dimulai, saya tak sanggup meneruskannya. Berkali-kali saya coba, selalu demikian. Hadirin tampak gelisah, saya sendiri berkeringat dingin. Pundak saya terasa seperti ditekan beban yang sangat berat, sehingga napas saya menjadi sesak dan tak sanggup meneruskan pembacaan doa. Akhirnya saya mengajak para peziarah untuk melaksanakan pembacaan doa sambil duduk. Aneh, tekanan di pundak saya jadi hilang, saya bisa bernapas leluasa. Pembacaan doa berjalan lancar.
Pada tahun 1976/1977 Pemerintah Daerah Tingkat I Kalbar membangun sebuah monumen di Mandor. Kompleks monumen dilengkapi pula dengan plaza yang luas, di kiri-kanan menumen dibuat dinding beton, masing-masing berukuran 15 x 2,5 m berhiaskan relief. Monumen ini diarsiteki oleh Ir M Said Djafar, pelaksana pembangunan H Fachrozi BE (CV Nokan Nayan, Ptk). Desain relief oleh seniman lukis Kalbar Syekh Abdul Aziz Yusnian, pembuatan relief oleh Hermani Cs seniman Jogjakarta. Tiga nama yang disebut terakhir ini sudah almarhum.
Monumen ini berjarak sekitar 500 meter dari gerbang “Ereveld Mandor”, berjarak sekitar 1 km dari makam masal pertama yang terdekat.
Monumen tersebut diresmikan bersempena dengan ziarah masal tanggal 28 Juni 1977, dan diberi nama: Monumen Makam Juang Mandor. Pintu gerbang “Ereveld Mandor” diganti dengan pintu gerbang yang lebih kokoh dan anggun.
Dengan Perda No. 5 Tahun 2007, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menetapkan tanggal 28 Juni sebagai: Hari Berkabung Daerah (HBD) Kalbar. Pengibaran bendera setengah tiang tanggal 28 Juni di Kalbar, dimulai pada tahun 2007.
Hari ini Kalbar berkabung atas malapetaka yang ditimbulkan oleh tentara pendudukan Jepang tahun 1942 – 1945. Mandor menyimpan duka rakyat Kalbar dari berbagai etnik, warna kulit, suku dan agama. Mandor pernah tergenang darah, namun hanya ada satu warna darah: merah!
Gubernur Kadarusno dalam kata sambutannya pada peresmian Monumen Makam Juang Mandor tanggal 28 Juni 1977 antara lain berkata,”Pembangunan monumen di Mandor ini dimaksudkan sebagai monumen sejarah perjuangan bangsa. Bukan dengan maksud untuk menyembah sesuatu makam. Dan bukan pula untuk menanamkan dan mengabadikan rasa benci atau rasa dendam kepada bangsa Jepang sebagai bangsa penjajah.”