PANCASILA

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Translate

• Puisi Pahlawanku yang tak dikenal

Di hari pahlawan ini aku akan kisahkan kembali tentang Lelaki Tua Itu, yang gurat keriput nampak lekat di sekujur tubuhnya. Lelaki yang aku temui di pinggir trotoar jalan. Lelaki malang yang sedang kelaparan. Aku sungguh tak tega melihatnya. Lelaki tua itu yang ternyata adalah seorang pejuang. Dia ikut mengukir sejarah bagi negri ini dalam mencapai kemerdekaan.
Lelaki tua itu begitu antusias bercerita, bulir bening membasahi pipinya yang menua. Benaknya kembali membayang perjuangan puluhan tahun yang silam saat mengusir penjajah. Berdiri di garis depan menyerang musuh.
Saat itu di malam yang pekat dia bersama dengan prajurit yang lain menerobos malam. Pakaian yang lusuh dan compang-camping tak dihiraukan. Rasa letih dan lelah juga dingin yang menusuk tulang bukan halangan bagi mereka. Terus mengendap-endap dengan debar jantung yang tak karuan. Dentum meriam menggema memecah malam terdengar di mana-mana, Sebutir peluru mengarah kepadanya. Seorang sahabat menyelamatkan jiwanya. Sahabatnya itu akhirnya gugur di medan laga. Darah mengalir membasahi bumi pertiwi demi negri ini.
Lelaki tua itu menghentikan ceritanya. Matanya berkaca-kaca , rona kesedihan terpancar dari mukanya. Dia memandang sekelilingnya dengan tatapan yang hampa. Aku yang duduk di sebelahnya jadi merasa tak enak. Banyak orang yang perhatikan aku saat itu, tapi aku tak peduli apa kata mereka. Lelaki tua itu mungkin sedih teringat sahabatnya yang gugur menyelamatkan jiwanya.
Akhirnya setelah hening sejenak dia kembali bercerita. Kali ini dia bercerita tentang jepang. Saat masa penjajahan jepang rakyat Indonesia sangat menderita. Makan dengan nasi yang terbuat dari jagung dan memakai pakaian yang terbuat dari karung yang penuh kutu. Jepang yang masuk ke Indonesia pada tahun 1942, saat itu mengaku sebagai saudara tua. Jepang lebih kejam dari Belanda. Lelaki tua itu ternyata pernah juga menjadi anggota Seinendan yang di bentuk oleh jepang untuk mendidik dan melatih pemuda Indonesia untuk mempertahankan Indonesia dengan kekuatan sendiri. Bahkan dia masih ingat sedikit tentang bahasa jepang. Bisa membaca dan menulis juga. Dia terus berjuang sampai Indonesia merdeka.
Lelaki tua itu memang bukan pahlawan nasional, seperti pangeran Diponegoro, kapten Pattimura, Bung Karno dan Bung Hatta yang namanya wajib di hafal saat menjadi murid SD, yang kenyataannya pada saat ini banyak yang lupa nama-nama pahlawan nasional yang lain. Lelaki tua itu juga bukan yang sering di tulis oleh penulis-penulis terkenal. Lelaki tua itu hanya sosok tak dikenal. Tapi jasanya sangat besar bagi bangsa ini. Bukankah bangsa yang baik adalah bangsa yang selalu menghargai jasa para pahlawannya?
Lelaki tua itu memang seorang pahlawan tak dikenal dan masih banyak lagi pahlawan tak dikenal sepertinya dia di negri ini. Lelaki tua itu seperti mayat-mayat tanpa nama yang gugur dalam pertempuran di Surabaya, Ambarawa, Karawang Bekasi, dan semua tempat di Indonesia. Kita sebagai anak bangsa harus perhatikan nasib mereka. Lelaki tua itu sudah pertaruhkan jiwa raganya demi negri kita. Tanpa mereka (para pahlawan bangsa) tentu kita saat ini tidak bisa sekolah dan tentunya masih bodoh. Aku ucapkan terima kasihku untukmu para pahlawanku, dan doaku selalu tercurah untukmu.


Puisi ini untuk mengenangmu pahlawanku

Malam itu

Bagaimana malam itu
Saat deru meriam semakin menggebu
Saat kau lari penuh tuju
Melawan musuh yang bergerak maju
Malam yang hitam atau kelam
dimana luka dan perih mendalam
daundaun berguguran penuh kecemasan
kau melawan seteru yang hebat
Meski hanya berbekal semangat
Bagaimana malam itu
Saat jantungmu berdegup dengan kencang
dan tubuhmu tertembus peluru
Kaupun mengejang
rebah ke tanah
berlumur darah
Bagaimana malam itu
Tubuhmu terbujur kaku
tak seorangpun mengenalmu
terbaring bersama ribuan tubuh yang lain
Malam itu
langit seolah murka
menyaksikanmu yang tanpa nyawa
Tapi jiwamu tetap ada
Demi anak bangsa