• RADEN EDDY MARTADINATA
Laksamana TNI (Anumerta) Raden Eddy Martadinata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 29 Maret 1921 – meninggal di Riung Gunung, Jawa Barat, 6 Oktober 1966 pada umur 45 tahun), atau yang lebih dikenal dengan nama R. E. Martadinata, adalah tokoh ALRI dan pahlawan nasional Indonesia. Ia meninggal dunia akibat kecelakaan helikopter di Riung Gunung dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
PERJUANGAN
Ia menghimpun pemuda bekas siswa Pelayaran Tinggi dan mereka berhasil
merebut beberapa buah kapal milik Jepang di Pasar Ikan Jakarta.
Selanjutnya mereka menguasai beberapa kantor di Tanjung Priok dan Jalan
Budi Utomo Jakarta. Setelah pemerintah membentuk BKR, pemuda-pemuda
pelaut bekas pelajar dan guru Sekolah Pelayaran Tinggi serta
pelaut-pelaut Jawa Unko Kaisya yang dikoordinasi oleh M. Pardi,
Adam, Martadinata, Surjadi Untoro, dan lain-lain, membentuk BKR Laoet
Poesat yang dalam perjalanannya berubah menjadi TKR Laoet, diubah lagi
menjadi TRI Laoet dan bulan Februari berganti lagi menjadi ALRI.
Menteri/Panglima Angkatan Laut
Pada tahun 1959, terjadi pergolakan di dalam tubuh ALRI yaitu adanya
ketidakpuasan terhadap kepemimpinan KSAL yang pada saat itu dipimpin
oleh Laksamana Madya R. Soebijakto, beberapa perwira yang dimotori oleh
Mayor Laut Yos Soedarso dan Mayor (KKO) Ali Sadikin (kemudian disebut sebagai Gerakan 1959) menghadap Presiden Sukarno untuk menyampaikan permohonan penggantian KSAL dengan damai dan tanpa kekerasan.
Pada awalnya Presiden Sukarno
tidak menyetujui permohonan tersebut, namun setelah melihat bahwa
gerakan tersebut mendapat dukungan hampir sebagian besar staf ALRI maka
Presiden Soekarno memanggil Laksamana Madya R. Soebijakto untuk
mendiskusikan Gerakan 1959. Dalam pembicaraan tersebut Presiden
menyampaikan rencana penggantian KSAL dan ketika Presiden menanyakan
siapakah calon yang cocok untuk menjadi KSAL maka Laksamana Madya R.
Soebijakto mengusulkan Kolonel Laut R.E. Martadinata sebagai
penggantinya karena dianggap netral. Pada saat itu Martadinata masih
memimpin satuan ALRI mengawasi pembuatan kapal pesanan ALRI di Italia.
Setelah menjabat, maka dengan sekuat tenaga ia berhasil mendamaikan
kembali golongan-golongan yang saling berlawanan sehingga ALRI tetap
utuh dan bersatu.
Ketika menjabat KSAL yang kemudian diubah namanya diubah menjadi
Menteri/Panglima Angkatan Laut, Angkatan Laut Republik Indonesia
memiliki kekuatan yang disegani di kawasan Asia Pasifik seiring dengan
meningkatnya konfrontasi dengan Belanda berkaitan dengan perebutan Irian
Barat. Dengan dicanangkannya Trikora, maka ALRI membeli peralatan
tempur dari Rusia dengan jumlah yang cukup banyak antara lain: 1 kapal
penjelajah (kelas Sverdlov), 8 perusak (kelas Skoryy), 8 frigat (kelas Riga), 12 kapal selam (kelas Whiskey)
dan kapal-kapal pendukung lainnya yang berjumlah hampir lebih dari 100
buah kapal. Selain itu dibeli pula pesawat pembom torpedo Ilyushin Il-28 seri Il-28T dan Il-28U, serta helikopter Mil Mi-4.
Pada tahun 1965, terjadi kembali pergolakan di dalam tubuh ALRI yang
kemudian dikenal dengan nama Gerakan Perwira Progresif Revolusioner
(GPPR). Gerakan ini mengikuti pola Gerakan 1959 yaitu menghadap Presiden
Sukarno untuk menyampaikan laporan terjadinya kemerosotan kinerja
Angkatan Laut karena dikelola oleh para perwira yang tidak profesional
serta ketidakpuasan dengan kepemimpinan R.E. Martadinata sebagai
Menteri/Panglima Angkatan Laut. Karena gerakan ini dianggap sebagai
pelanggaran militer dan sesuai saran dari Letnan Jenderal Ahmad Yani
yang ketika itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, maka
hampir kurang lebih 150 perwira yang terlibat dalam gerakan tersebut di
mana termasuk diantaranya J.E. Habibie (mantan Dubes RI di Belanda) dan Pongky Soepardjo (mantan Dubes RI di Finlandia) dikeluarkan dari dinas Angkatan Laut.
Kepangkatan
- Kapten (Act) Mayor - 1950
- Mayor Laut - 1953
- Letnan Kolonel Laut - 1957
- Kolonel Laut - 1959
- Komodor Laut - 1959
- Laksamana Muda Laut - 1960
- Laksamana Madya Laut - 1964
- Laksamana - 1966