PANCASILA

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Translate

• Perdana menteri Syahrir II

 Sutan Syahrir 

 

 

Masa Revolusi Nasional Indonesia

Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.
Di masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.
Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."
Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan.
Perjuangan Kita adalah karya terbesar Syahrir, kata Salomon Tas, bersama surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. Manuskrip itu disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, "Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan."
Terbukti kemudian, pada November ’45 Syahrir didukung pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Syahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
  
Penculikan

Penculikan Perdana Menteri Sjahrir merupakan peristiwa yang terjadi pada 26 Juni 1946 di Surakarta oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda. Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh, sedangkan kabinet yang berkuasa hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.
Kelompok Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka dari Partai Komunis Indonesia. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras.
Presiden Soekarno sangat marah atas aksi penculikan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan kelompok tersebut. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan.
Tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14 pimpinan penculikan.
Presiden Soekarno marah mendengar penyerbuan penjara dan memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan penculikan. Lt. Kol. Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala (koppig).
Kelak Let. Kol. Soeharto menjadi Presiden RI Soeharto dan menerbitkan catatan tentang peristiwa pemberontakan ini dalam buku otobiografinya Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya.
Lt. Kol. Soeharto berpura-pura bersimpati pada pemberontakan dan menawarkan perlindungan pada Mayjen Soedarsono dan ke 14 orang pimpinan di markas resimen tentara di Wiyoro. Malam harinya Lt. Kol. Soeharto membujuk Mayjen Soedarsono dan para pimpinan pemberontak untuk menghadap Presiden RI di Istana Presiden di Jogyakarta. Secara rahasia, Lt. Kol. Soeharto juga menghubungi pasukan pengawal Presiden dan memberitahukan rencana kedatangan Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak.
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal.

Setelah kejadian penculikan Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri, tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno. Namun pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946.
Tanpa Syahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia nyalakan. Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Syahrir tidak berdaya apa-apa.
Syahrir mengakui Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat. Soekarno-lah pemersatu bangsa Indonesia. Karena agitasinya yang menggelora, rakyat di bekas teritori Hindia Belanda mendukung revolusi. Kendati demikian, kekuatan raksasa yang sudah dihidupkan Soekarno harus dibendung untuk kemudian diarahkan secara benar, agar energi itu tak meluap dan justru merusak.
Sebagaimana argumen Bung Hatta bahwa revolusi mesti dikendalikan; tak mungkin revolusi berjalan terlalu lama, revolusi yang mengguncang ‘sendi’ dan ‘pasak’ masyarakat jika tak dikendalikan maka akan meruntuhkan seluruh ‘bangunan’.
Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan wajah bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan.
Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap melakukan propaganda bahwa orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, menculik, dll. Karena itu sah bagi Belanda, melalui NICA, menegakkan tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II. Mematahkan propaganda itu, Syahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.
Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan ditodong pistol oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Karena geram, dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli.
Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.
Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir bersama Agus Salim berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan India dan Mesir.
Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Eelco van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.
Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu sebagai kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki.
Syahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat.
Syahrir mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang. Pimpinan delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus Nicodemus Palar (L.N.) Palar sampai tahun 1950.
  
Partai Sosialis Indonesia

Selepas memimpin kabinet, Sutan Syahrir diangkat menjadi penasihat Presiden Soekarno sekaligus Duta Besar Keliling. Pada tahun 1948 Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan komunis internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan mendasarkan pada ajaran Marx-Engels, namun ia menentang sistem kenegaraan Uni Soviet. Menurutnya pengertian sosialisme adalah menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia.
  
Hobi dirgantara dan musik

Meskipun perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering dijuluki Si Kancil, Sutan Syahrir adalah salah satu penggemar olah raga dirgantara, pernah menerbangkan pesawat kecil dari Jakarta ke Yogyakarta pada kesempatan kunjungan ke Yogyakarta. Di samping itu juga senang sekali dengan musik klasik, di mana beliau juga bisa memainkan biola.

Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun 1958, hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga 1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu Syahrir diijinkan untuk berobat ke Zürich Swis, salah seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito menghantarkan beliau di Bandara Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo degan air mata, dan akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.
  
Karya
  1. Pikiran dan Perjuangan, tahun 1950 (kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat Rakyat” dan majalah-majalah lain, tahun 1931 – 1940)
  2. Pergerakan Sekerja, tahun 1933
  3. Perjuangan Kita, tahun 1945
  4. Indonesische Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan surat-surat dan karangan-karangan dari penjara Cipinang dan tempat pembuangan di Digul dan Banda-Neira, dari tahun 1934 sampau 1938).
  5. Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Indonesische Overpeinzingen oleh HB Yassin)
  6. Out of Exile, tahun 1949 (terjemahan dari ”Indonesische Overpeinzingen” oleh Charles Wolf Jr. dengan dibubuhi bagian ke-2 karangan Sutan Sjahrir)
  7. Renungan dan Perjuangan, tahun 1990 (terjemahan HB Yassin dari Indonesische Overpeinzingen dan Bagian II Out of Exile)
  8. Sosialisme dan Marxisme, tahun 1967 (kumpulan karangan dari majalah “Suara Sosialis” tahun 1952 – 1953)
  9. Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan pada Asian Socialist Conference di Rangoon, tahun 1953)
  10. Karangan–karangan dalam "Sikap", "Suara Sosialis" dan majalah–majalah lain
  11. Sosialisme Indonesia Pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir diterbitkan oleh Leppenas)

 Jabatan
  1. Perdana Menteri pertama Republik Indonesia
  2. Ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI)
  3. Ketua delegasi Republik Indonesia pada Perundingan Linggarjati
  4. Duta Besar Keliling (Ambassador-at-Large) Republik Indonesia
 Referensi

  • Legge, J.D. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan. Peranan Kelompok Sjahrir. Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1993.
  • Lampau dan Datang. Pidato Mohammad Hatta pada penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada, 1956
  • Mangunwijaya, Y.B. Dilema Sutan Sjahrir: Antara Pemikir dan Politikus. Prisma, Agustus 1977.
  • Mengenang Sjahrir, disunting oleh H. Rosihan Anwar. Jakarta, Gramedia, 1980.
  • Rudolf Mrazek. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996.

• Perdana menteri Syahrir I

Sutan Syahrir

Sutan Syahrir (ejaan lama:Soetan Sjahrir) (lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909 – meninggal di Zürich, Swiss, 9 April 1966 pada umur 57 tahun) adalah seorang politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Ia meninggal dalam pengasingan sebagai tawanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Syahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari |Koto Gadang, Agam. Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Syahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka.

Syahrir mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, dan membetahkannya bergaul dengan berbagai buku-buku asing dan ratusan novel Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel De Boer (kini Hotel Natour Dharma Deli), hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih.
Pada 1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat.
Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Syahrir menjadi seorang bintang. Syahrir bukanlah tipe siswa yang hanya menyibukkan diri dengan buku-buku pelajaran dan pekerjaan rumah. Ia aktif dalam klub debat di sekolahnya. Syahrir juga berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit.
Aksi sosial Syahrir kemudian menjurus jadi politis. Ketika para pemuda masih terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada tanggal 20 Februari 1927, Syahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia. Kongres monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.
Sebagai siswa sekolah menengah, Syahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis. Dalam kenangan seorang temannya di AMS, Syahrir kerap lari digebah polisi karena membandel membaca koran yang memuat berita pemberontakan PKI 1926; koran yang ditempel pada papan dan selalu dijaga polisi agar tak dibaca para pelajar sekolah.
Syahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam. Di sana, Syahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-sungguh ia berkutat dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi Syahrir, meski sebentar. (Kelak Syahrir menikah kembali dengan Poppy, kakak tertua dari Soedjatmoko dan Miriam Boediardjo).
Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal Syahrir yang mencari teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan hidup secara kolektif – saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional.
Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di awal 1930, pemerintah Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional, dengan aksi razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan agar pergerakan jangan jadi melempem lantaran pemimpinnya dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan lewat tulisan. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik.

"Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju kemerdekaan," katanya.
Pengujung tahun 1931, Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir segera bergabung dalam organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya. Pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia praktekkan di tanah air. Syahrir terjun dalam pergerakan buruh. Ia memuat banyak tulisannya tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Ia juga kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Hatta kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932, segera pula ia memimpin PNI Baru. Bersama Hatta, Syahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal tinimbang Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.
Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Syahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Bandaneira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.

Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif.
Sastra, seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Syahrir, menulis:
Di bawah kepemimpinan Syahrir, kami bergerak di bawah tanah, menyusun kekuatan subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan tibanya saat-saat psikologis untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan.

Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh pasukan Sekutu. Syahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio tak bisa menangkap berita luar negeri karena disegel oleh Jepang. Berita-berita tersebut kemudian ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Syahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang.
Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah menyerah, Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan pada 24 September 1945.
Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI adalah bikinan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.

• Peristiwa MALARI 1974


 Peristiwa MALARI 1974


Ekstrem Kanan Langganan Orde Baru

Peristiwa Malari di Senen Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.

Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.

Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin Soetopo Juwono digantikan oleh Yoga Sugama.

Moertopo dan Peristiwa Malari

Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks Masyumi yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari.
Inginnya ekonomi tumbuh, syaratnya stabilitas, caranya represif, alatnya tuduhan ekstrem kanan.

Orde Baru adalah orde yang bertekad melaksanakan pembangunan untuk nantinya menjadi ideologi pembangunan sebagaimana ditulis Adam Scwarz dalam A Nation in Waiting. Pada masa awal orde baru ada dua kubu dalam hal kebijakan strategi pembangunan. Kubu pertama adalah kubu yang menekankan pada pemerataan, dimotori oleh Hatta. Seperti kita ketahui Hatta dengan gagasan koperasinya menitikberatkan pembangunan pada aspek pemerataan.

Yang kedua adalah kubunya Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, beserta kawan-kawannya yang lulusan University of California Berkeley, sehingga sementara kalangan pengamat menjulukinya sebagai 'mafia Berkeley'.

Kubu kedua ini sangat mengagungkan pembangunan ekonomi melalui pertumbuhan dengan harapan nantinya akan terjadi trickle down effect (efek menetes/merembes ke bawah) alias otomatis terjadi pemerataan.

Maka gagasan dari kubu pertama tidak dipakai, kalaupun dipakai hanyalah sebagai 'pelengkap penderita' saja. Gagasan kedua dipakai karena para lulusan Berkeley itu dipercaya penuh oleh Presiden Soeharto untuk mengobati luka-luka masa Orde Lama. Apalagi menurut Assar Lindbeck pada bukunya, Kritik atas Ekonomi Kiri Baru terbitan LP3ES 1988, saat mereka kuliah di Berkeley yang trendy adalah kecenderungan pemikiran perkembangan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, yang dikritik dengan keras oleh aliran 'Kiri Baru'.

Yang dipakai oleh pemerintah orde baru pada awalnya (dan bahkan sampai sekarang walaupun kadar penekanannya sudah agak sedikit berbeda) adalah gagasan dari kubu kedua. Alasannya, menurut Nurcholish Madjid dalam Politik Pembangunan, "Kalau kita hendak membagi-bagikan kue pembangunan harus kita buat dulu kuenya."

Pemerintah orde baru beralasan bahwa ekonomi negara sangat morat-marit. Inflasi mencapai 600%, utang negara sangat bertumpuk. Untuk itu maka perlu secepatnya diadakan stabilisasi ekonomi dengan tiang penyangga utamanya berupa stabilitas politik. Maka setiap potensi konflik diredam sedemikian rupa secara terus-menerus agar teredam kekuatan laten yang disebut pemerintah orde baru sebagai ekstrem kiri dan ekstrem kanan.

Terhadap ekstrem kiri, yang dilakukan orba berupa: pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya sekaligus peryataan sebagai organisasi terlarang, dan pelarangan terhadap ajaran Marxisme-Leninisme di seluruh wilayah RI.

Terhadap golongan Islam, tindakannya malah lebih banyak lagi. Secara jelas Yudi Latif dalam buku Mencari Islam (Mizan 1990) membeberkan langkah-langkah yang merugikan umat Islam yaitu:

1-Penolakan rehabilitasi Masyumi;
2-Dikeluarkannya peraturan Mendagri No 12/1969 dan PP No 6/1970 tentang monoloyalitas pegawai negeri yang mengakibatkan 'marginalisasi' pegawai negeri dari partai Islam;
3-Pemaksaan fusi dengan UU No 3/1973;
4-Terbitnya UU perkawinan 1974 yang merupakan de-islamisasi kaidah-kaidah kemasyrakatan karena banyak bertentangan dengan hukum-hukum perkawinan Islam;
5-Terbentuknya MUI sebagai perwakilan tunggal umat Islam tahun 1975 yang lebih sering merupakan alat legitimasi pemerintah;
6-Dilegitimasinya aliran kepercayaan dan P4 melalui Tap MPR No II/1978 yang merupakan usaha pemerintah untuk memperlemah potensi alternatif umat Islam.

Presiden Soeharto sejak awal menjalankan suatu model kepemimpinan sangat khas, yang merupakan hasil penjumlahan dari:
(1) Cara berpikirnya yang sangat Jawa;
(2) Kapabilitasnya yang tak terbantahkan sebagai seorang perwira militer yang cakap dan kaya pengalaman lapangan;
(3) Kecanggihannya sebagai aktor politik dalam melakukan manajemen kekuasaan.; sebagaimana ditulis Eep Saefulloh Fatah dalam Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia.

Otaknya Ali Moertopo

Otak pemberangusan gerakan politik Islam adalah Jenderal Ali Moertopo. Langkah-langkahnya yang cukup ketahuan dan transparan cukup banyak. Penjelasan berikut ini adalah sebagian dari padanya.

Pada tahun 1970 Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo telah 'digarap' atau dibajak oleh J Naro dengan 'diotaki' oleh Jendral Ali Moertopo.

Kemudian pada tahun 1971 PSII di bawah pimpinan M Ch Ibrahim 'digarap' oleh Drs Syarifudin Harahap, juga diotaki oleh Ali Moertopo. Berita pembajakan ini dimasukkan ke dalam berita TVRI, yaitu media massa resmi pemerintah Indonesia. (Bincang-bincang dengan Dahlan Ranuwihardjo).

Selanjutnya dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh dan memfitnah umat Islam. Dikatakan bahwa eks PSI dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Hariman Siregar diadili, tidak ada sedikitpun fakta dan tak ada seorangpun eks Masyumi terlibat di situ.

Belakangan ini barulah ada pengakuan dari Jenderal Soemitro (alm) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa justru Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari.

Kemudian pada sidang pengadilan Ismail Pranoto di Jawa Timur pada tahun 1978, yang dituduh membentuk komando jihad, terbukti yang terungkap di pengadilan bahwa kegiatan Ismail Pranoto adalah atas perintah dan biaya Jenderal Ali Moertopo dalam rangka membentuk Front Pancasila Anti Komunis.

Dengan terungkapnya masalah ini tim pembela meminta kepada majelis Hakim untuk menampilkan Jenderal Ali Moertopo sebagai saksi. Tetapi majelis hakim menolaknya, sehingga Ismail Pranoto dijatuhi hukuman seumur hidup. Dengan peristiwa ini, jelas bahwa Jendral Ali Moertopo telah menjebak Ismail Pranoto (bekas DI/TII) untuk kemudian dihancurkan.

Aksi Ali Moertopo berikutnya adalah pada peristiwa Lapangan Banteng 1982. Ali yang ketika itu menjadi Mentri Penerangan dalam briefingnya di hadapan pimpinan teras Deppen dua hari setelah kejadian telah menuduh dan memfitnah umat Islam yang lagi-lagi disebut ekstrem kanan. Ali Moertopo menuduh Yusuf Hasyim dari PPP dan Ali Sadikin dari Petisi 50.

Tetapi setelah pengadilan memeriksa para terdakwa yang dituduh terlibat peristiwa Lapangan Banteng terbukti tidak ada satupun anggota PPP atau petisi 50 yang terlibat, bahkan menjadi saksipun tidak.

Lanjutannya Benny Moerdani

Pasca 1982 peran Ali Moertopo digantikan oleh Benny Moerdani. Pada tahun 1983-1985 Benny melakukan penggarapan terhadap ummat Islam dengan memuluskan perintah Soeharto yaitu bahwa semua ormas dan parpol harus berasaskan Pancasila.

Garapan pertama Benny adalah PII. Organisasi pelajar ini memiliki sejarah harum di masa lalu. Beberapa kadernya menghiasi kepemimpinan umat Islam tahun '90-an.

Gagasan asas tunggal Pancasila mengharuskan mereka menjadikan organisasi PII berjuang di bawah tanah. Sebab tahun 1985 PII merencanakan kongres yang isinya menolak Pancasila sebagai asas, tetapi kongres itu tidak mendapat izin.

Pada tanggal 17 Juli 1987, tanggal terakhir pendaftaran ulang ormas-ormas, PII tidak ikut didaftarkan. Maka sejak saat itu PII menjadi organisasi ilegal atau organisasi bawah tanah. PII juga dicap sebagai ekstrem kanan oleh pemerintah Orde Baru.

'Kakak'-nya PII yaitu HMI juga digarap oleh Benny Moerdani. Hanya bedanya HMI tidak menjadi organisasi ilegal melainkan pecah menjadi dua. HMI Dipo 16 yang menerima Pancasila sebagai asas dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang menolak Pancasila.

Penerimaan asas tunggal Pancasila oleh HMI berjalan alot. Pada mulanya, dalam persiapan Kongres 1983 sudah ada utusan-utusan pemerintah yang alumni HMI atau penyebutan oleh anggota HMI saat itu adalah 'antek-antek pemerintah' dan 'hilang ke HMI-annya' contohnya adalah Menpora Abdul Gafur.

Terjadilah konflik antara anggota HMI dan alumni HMI. Benih-benih konflik ini semakin bersemai dan terbuka dalam kongres berikut di Padang, tahun 1986. Menyadari potensi reaktif HMI yang radikal, pemerintah mulai menggarap anggota-anggotanya yang dianggap 'akomodatif'.

Melalui berbagai 'lobbying' yang dilakukan oleh Abdul Gafur dan Akbar Tanjung, mereka berhasil meyakinkan HMI untuk mencari 'jalan selamat'. Dalam sidang pleno PB HMI 1983/1985 tanggal 5 April 1985 di Ciloto Jawa Barat, HMI menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas.

Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam kongresnya di Padang tahun 1986. Pelaksanaan kongres ini sempat tertunda beberapa bulan karena adanya conditioning oleh pemerintah. Kemudian tokoh-tokoh akomodatif diberi lampu hijau oleh pemerintah dan tokoh-tokoh garis keras seperti Abdullah Hehamahua dan Eggy Sudjana diberi lampu merah.

Terpilihlah Saleh Khalid sebagai ketua umum PB HMI. Persoalan tidak berhenti sampai di situ karena keputusan ini ditolak oleh banyak sekali anggota HMI. Mereka berpendapat bahwa penetapan Pancasila sebagai asas tunggal diterima tidak melalui kongres. Mereka yang menolak ini membentuk 'HMI Tandingan' berupa HMI MPO dan mencoba 'mengadili' pengurus HMI 'bentukan' pemerintah. Sejak saat itulah muncul 'pengurus tandingan' pada banyak cabang HMI di Indonesia. Sejak saat itu pula HMI MPO disebut ekstrem kanan.

Tahun 1984 juga meletus peristiwa Tanjung Priok. Selain kondisi masyarakat yang memang sangat tidak puas terhadap pemerintah dan dipanasi-panasi oleh penceramah-penceramah yang keras, unsur rekayasa dan provokasi juga terlihat (walaupun masih misteri sampai saat ini).

Yang menarik adalah peristiwa sesudahnya yaitu kasus 'lembaran putih' yaitu surat protes yang dikeluarkan oleh Petisi 50 dan ditandingi oleh penceramah-penceramah yang keras. 'Lembaran putih' ini dijadikan alasan oleh Benny Moerdani untuk menangkap penceramah-penceramah keras itu seperti AM Fatwa, AQ Jailani, Tasrif Tuasikal, HM Sanusi, HR Dharsono, Oesmany El Hamidy, Mawardi Noor, Tonie Ardhie, dan lain-lain. Mereka juga dicap sebagai ekstrem kanan. Menurut Panji Masyarakat yang terbit pasca persidangan, persidangan ini mirip dagelan.

Beberapa bulan setelah peristiwa Tanjung Priok, tanggal 4 Maret 1985, timbul peristiwa peledakan dua kantor BCA yang mengakibatkan 200 orang tewas. Di malam Natal dua gereja diledakkan di Malang Jawa Timur. Sebulan kemudian tepat pada tahun baru 1986, 9 Stupa Candi Borobudur diledakkan.

Hal yang lucu adalah yang dituduh sebagai pelaku pemboman ini antara lain Hussein Al Habsyi, seorang tuna netra. Bagaimana mungkin seorang tuna netra yang berjalan atau berlari sebelum bom meledak saja susah (apalagi di Borobudur yang banyak sekali tangganya), dituduh meledakkan bom. Pelaku pemboman ini juga dicap ekstrem kanan.

Pada tahun 1987 di Aceh muncul barisan jubah putih dipimpin Teuku Bantaqiyah. Gerakan ini mencita-citakan 'tegaknya Islam sedunia'. Bulan Mei 1987, dengan berjalan kaki di desa Blang Beuradeh, Beutung Aseuh, Aceh Barat, mereka membunuhi orang Cina yang dijumpai di jalan serta memaksa tutup warung-warung yang buka di siang hari. Pada waktu itu adalah bulan puasa. (Tempo, 18 Februari 1989, hal 26). Mereka juga dicap Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dan ekstrem kanan.

Kemudian terjadi peristiwa Lampung. Gerakan ini meletus ke permukaan pada bulan Februari 1989, dengan membunuh beberapa anggota ABRI. Sedangkan di pihak rakyat Lampung jatuh 27 korban termasuk Anwar alias Warsidi. Pemerintah menyebut pelaku peristiwa ini sebagai Gerakan Pengacau Keamanan dan ekstrem kanan.

Lantas muncul kasus Daerah Operasi Militer di Aceh dan berubah menjadi arena 'killing field'. Pemerintah menyebut Hasan Tiro dan kawan-kawannya sebagai GPK dan ekstrem kanan.

Mengapa Soeharto mempertahankan orang-orang seperti Ali Moertopo dan Benny Moerdani? Agar Soeharto dianggap pahlawan yang bisa mengerem tindakan Benny dan Ali. Terbukti kemudian umat Islam yang menjadi korban langsung atau tidak langsung sampai sekarang kebencian itu tidak ditujukan kepada Soeharto melainkan kepada Ali Moertopo dan Benny Moerdani, apalagi setelah Soeharto naik haji dan takbiran. (Agung Pribadi) 
http://almutawakkilblogsgroup.blogspot.com/2008/01/peristiwa-15-januari-1974-malari.html