PANCASILA

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Translate

• Agresi Militer Belanda II


Agresi Militer Belanda II




Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.


Serangan ke Maguwo

Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio antara dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting. Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi Kraai."

Pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.

Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".

Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.

Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.

Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari. Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.


Pemerintahan Darurat

Soedirman dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Menteri Laoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.

Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.

Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.


Pengasingan Pimpinan Republik

Pada pukul 07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para pemimpin republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda, tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin republik. Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi rombongan Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatera Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat, sementara Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.

Gerilya

Setelah itu Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.

Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.

Salah satu pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada tanggal 19 Desember 1948 bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih dibayangi bahaya serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat mereka terpaksa pula menghadapi gerombolan DI/TII.

Catatan kaki & Pranala luar

  1. ^ MENTOK DAN PANGKALPINANG SUMBER PERCATURAN DIPLOMASI INTERNASIONAL oleh Akhmad Elvian

• Agresi Militer Belanda I

Agresi Militer Belanda I


"Operatie Product" (bahasa Indonesia: Operasi Produk) atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggajati.

Latar belakang

Tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.

Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggajati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.


Dimulainya operasi militer

Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.

Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera.

Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.

Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.

Campur tangan PBB

Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.

Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.

Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.

Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.

Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.

by : wikipedia

-------------------------------------------------------------------------

Selepas perjanjian Linggarjati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, terjadi perbedaan yang mendasar antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda terutama menyangkut permasalahan politik luar negeri dan aset-aset perekonomian Belanda.

Perdana Menteri Sjahrir mengintepretasikan bahwa Indonesia berhak menjalankan politik luar negerinya secara mandiri sedangkan pihak Belanda tidak membenarkannya. Dan masalah pengambil-alihan perkebunan-perkebunan Belanda di Jawa dan Sumatera yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak Indonesia untuk kegiatan perekonomian, terutama pada kegiatan ekspor dan impor, merupakan suatu hal yang wajar karena di tanah Indonesia merdekalah perkebunan-perkebunan tersebut tumbuh.

Namun secara umum Sjahrir menerima isi dari perjanjian Linggarjati tersebut yang menyebabkan di kemudian hari Partai Sosialis menarik dukungannya kepada Sjahrir. Tanpa dukungan Partai Sosialis, ia kemudian mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.

Karena tidak mencapai titik temu, pada tanggal 27 Mei 1947 Belanda mengajukan nota yang bersifat ultimatif (nota ini sengaja dibuat agar pihak Indonesia tidak dapat menerima usulan Belanda). Pada intinya untuk membentuk pemerintahan dan pasukan bersama atau “gendarmarie”. Baik Sjahrir maupun penggantinya yaitu Amir Sjarifudin menolak rencana Belanda tersebut.

Tanggal 15 Juli 1947, Belanda kembali mengirimkan nota serupa dan pihak Indonesia harus menjawabnya dalam waktu 32 jam. Dua hari kemudian pada tanggal 17 Juli 1947, Perdana Menteri Amir Sjarifudin menjawab nota Belanda melalui Radio Republik Indonesia (RRI). Tetapi van Mook menyatakan bahwa jawaban Pemerintah Republik Indonesia tidak memuaskan. Maka pada tanggal 20 Juli 1947, Pemerintah Belanda memberi kuasa kepada van Mook untuk mengambil tindakan “seperlunya” terhadap Republik Indonesia.

Dengan kekuatan sekitar 125.000 orang, Belanda menyerbu ke wilayah Indonesia. Pasukan mereka terdiri dari 110.000 KL (Koninklijke Leger), 12.000 KM (Koninklijke Marinier) dan sisanya adalah anggota KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger). Mereka terdiri dari 3 kelompok pasukan (19 batalyon) :

(a) OVW (Oorlogsvrij Willigers), dibagi menjadi dua divisi yaitu divisi A dan B
(b) EM (Expeditionnaire Macht), dibagi menjadi tiga divisi yaitu : C, D dan E.
(c) ZIB (Zelfstandige Infantarie Brigades), yang dipecah menjadi tiga brigade : F, G dan H

Komando tertinggi Belanda pada agresi ini adalah Letnan Jenderal Simon H. Spoor. Pihak Belanda tidak menganggap serangannya ke wilayah republik khususnya Jawa dan Sumatera adalah agresi militer tetapi sebatas aksi polisionil pada sasaran-sasaran yang sifatnya ekonomis, sehingga mereka menamakan operasinya sebagai Operasi “Produk”.

Berikut beberapa nama pimpinan Divisi dan Brigade dari pihak Belanda :

(a) Penguasaan DKI Jakarta, oleh Divisi E di bawah pimpinan Mayor Jenderal M. Durst Britt.

(b) Bandung dikuasai oleh Divisi B di bawah pimpinan Mayor Jenderal “Siem” de Waal. Divisi ini dipecah menjadi dua brigade yaitu brigade V pimpinan Kolonel Jan Meijer dan Brigade W pimpinan Letnan Kolonel van Gulik. Brigade V dan W kemudian meneruskan operasinya menuju Jawa Tengah melalui jalan yang berbeda (Brigade V melewati Sumedang dan Brigade W melewati Subang) dan mereka bertemu di Cirebon.

(c) Semarang sendiri dibawah pengawasan Brigade T (Tijger = Harimau) pimpinan Kolonel J. van Langen.

(d) Divisi A di bawah pimpinan Mayor Jenderal M.R. De Bruyne dari marinir bertugas merebut Jawa Timur. Unsur angkatan darat dari divisi ini diisi oleh Brigade X pimpinan Letnan Kolonel van der Meulen.

(e) Di Sumatera mereka dipecah menjadi tiga brigade. Brigade Z dibawah pimpinan Kolonel Piet Scholten di Medan, brigade U dibawah pimpinan Letnan Kolonel J.W. Sluyter di Padang dan brigade Y dibawah pimpinan Letnan Kolonel Mollinger bertugas di Palembang.

Pihak Republik Indonesia pun tidak tinggal diam menghadapi pasukan Belanda ini. Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Kepala Staf Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai pimpinan Tentara Nasional Indonesia (istilah TNI resmi semenjak 5 Mei 1947) mempersiapkan dan mempertahankan kubu-kubu di sekitar kantong-kantong yang diduduki Belanda secara bergerilya.

Berikut beberapa nama pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertugas mempertahankan wilayahnya masing :

(a) Jawa Barat dipercayakan kepada Divisi I Siliwangi pimpinan Mayor Jenderal A.H. Nasution

(b) Jawa Tengah sebagai jantung Pulau Jawa dipertahankan oleh tiga Divisi yaitu : Divisi II Gunung Djati pimpinan Mayor Jenderal Gatot Subroto yang meliputi daerah Cirebon, Tegal dan Banyumas, Divisi III Diponegoro dibawah pimpinan Mayor Jenderal R. Susalit yang meliputi daerah Pekalongan, Kedu, Yogyakarta, Pemalang dan Kendal serta Divisi IV Panembahan Senopati yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Sutarto yang bertugas mengawal daerah Semarang, Solo dan Pacitan.

(c) Dan di Jawa Timur dikawal oleh 3 divisi pula. Divisi V Ronggolawe dibawah Mayor Jenderal Djatikusumo yang bertugas di Pati, Bojonegoro dan Madiun, Divisi VI Narotama di bawah pimpinan Mayor Jenderal Sungkono yang bertugas mengawal daerah Kediri dan sekitarnya serta Divisi VII Suropati yang bertugas menjaga daerah Malang dan sekitarnya.

(d) Di Pulau Sumatera terdapat Divisi VIII Garuda yang mengawal daerah Palembang yang dipimpin oleh Kolonel Mauludin Simbolon, Divisi IX Banteng mempertahankan daerah Sumatera Tengah yang dipimpin oleh Kolonel Ismail Lengah dan Divisi X Gajah yang menjaga daerah Sumatera Utara dipimpin oleh Kolonel Hopman Sitompul.

Pasukan Belanda yang paling jauh menempuh daerah operasi dan paling cepat pergerakannya adalah dari Brigade V pimpinan Kolonel Jan Meier. Bermula dari Bandung (21 Juli) kemudian menuju Cicalangka, Sumedang, Tomo, Cirebon (25 Juli), Tegal, Slawi, Bumiayu kemudian berputar arah menuju Tuwel, Gunung Slamet, Bobotsari, Purbalingga (31 Juli), Sukaraja, lalu Brigade V dibagi 2, sebagian menuju kota pelabuhan Cilacap dan sebagian lagi menuju Yogyakarta sebagai target utama. Pergerakan Brigade V terhenti di Gombong pada tanggal 4 Agustus 1947, dan masih 130 km lagi dari kota Jogjakarta. Atas aksinya itu Kolonel Jan Meier mendapatkan penghargaan tertinggi militer Belanda.

Meski kalah dalam persenjataan, semangat juang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan laskar-laskar rakyat tidaklah padam, walau dengan menggunakan taktik gerilya dan perang semesta semangat “merdeka atau mati” tertanam erat seluruh lapisan tentara maupun masyarakat. Nasution sendiri memerintahkan untuk menghindari bentrokan besar-besaran dengan tentara Belanda yang dari segi teknis lebih unggul. Dia memerintahkan kesatuan untuk mundur ke “daerah-daerah kantong”, sehingga mereka dapat menerapkan perang gerilya. Dan di aksi militer Belanda inilah persahabatan antara tentara dan masyarakat terjalin sangat erat dan dekat.

Seiringan dengan agresi Belanda itu, pemerintah Indonesia pun berjuang melalui jalur diplomatik. Mantan Perdana Menteri Bung Sjahrir berhasil lolos dari sergapan Belanda menuju Singapura pada tanggal 22 Juli 1947 dengan menggunakan pesawat “Biju Patnaik”, milik seorang temannya yang berasal dari Bengali. Keesokan harinya ia menuju New Delhi India untuk bertemu dengan Nehru mencari dukungan.

Ketika tiba di New Delhi, ia berkata dengan emosional kepada para wartawan bahwa ia dikirim oleh Presiden Soekarno dengan misi dunia untuk menghentikan perang kolonial di Indonesia. Ia pertama-tama datang ke India, “karena India negeri bersahabat dan Pandit Nehru adalah kawan saya”. Sjahrir juga berkata kepada pers, bahwa disamping Nehru, ia juga mengharapkan bertemu dengan Tuan Ali Jinnah dan mungkin Lord Killearn yang kini sedang berada di New Delhi.

Akan tetapi, ketika Sjahrir tiba di Delhi, tindakan Negara-negara besar belum kelihatan meskipun Nehru sendiri sehari sesudah penyerbuan Belanda mengatakan, “Semangat Asia Baru tidak akan membiarkan hal-hal demikian”. Keadaan yang tidak kondusif tersebut terjadi karena permintaan Inggris kepada Nehru berlangsung hampir satu minggu. Sjahrir terus melakukan pendekatan kepada Nehru.

Dengan ragu-ragu, sesudah menunggu seminggu dan sesudah Australia setuju bergabung dengannya, maka pada tanggal 30 Juli 1947, Nehru dengan dengan resmi meminta supaya aksi militer Belanda dimasukan ke dalam agenda Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)

Tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB bersidang dan menerima mosi bahwa Belanda dan Republik Indonesia diperingatkan untuk menghentikan tembak-menembak. Sidang cabinet Belanda berkumpul pada tanggal 4 Agustus 1947 di rumah Menteri Seberang Lautan, Jonkman (karena sedang menderita penyakit ‘erysipelas’), dengan mempertimbangankan bahwa sasaran yang diinginkan terutama perkebunan-perkebunan telah tercapai dan “sikap berniat baik” Belanda pada saat ini lebih penting daripada memenangkan wilayah di Jawa dan Sumatera. Hari itu juga melalui telepon diperintahkan kepada Gubernur Jenderal van Mook untuk menghentikan agresi militer.

Pustaka :

(1) Agresi Militer Belanda. Pierre Heijboer. Grasindo. 1998.
(2) Perang Gerilya Perang Rakyat Semesta. Sutopo Jasamihardja. Yayasan 19 Desember 1948. 1998.
(3) Politik Militer Indonesia. Ulf Sundhaussen. LP3ES. 1986.
(4) Sjahrir. Rudolf. Mrazek. Yayasan Obor Indonesia. 1996.

-------------------------------------------------------------------------

Perundingan Linggarjati bagi Belanda hanya dijadikan alat untuk mendatangkan pasukan yang lebih banyak dari negerinya. Untuk memperoleh dalil guna menyerang Republik Indonesia mereka mengajukan tuntutan sebagai berikut:

  1. Supaya dibetuk pemerintahan federal sementara yang akan berkuasa di seluruh Indonesia samapai pembentukan Republik Indonesia Serikat. Hal ini berarti Republik Indonesia ditiadakan.
  2. Pembentukan gendermeri (pasukan Keamanann) bersama yang akan masuk ke daerah Republik Indonesia.

Republik Indonesia menolak usul itu karena berarti menghancurkan dirinya sendiri. Penolakan itu menyebabakan Belanda melakukan agresi militer terhadap wilayah Republik Indonesia. Serangan belanda dimulai tanggal 21 Juli 1947 dengan sasaran kota-kota besar di Pulau Jawa dan sumatera. Menghadapi militer Belanda yang bersenjata lengkap dan modern menyebabakan satuan-satuan tentara Indonesia terdesak ke luar kota. Selanjutnya, TNI dan lascar rakyat melakukan serangan balasan dan taktik perang gerilya.

Adanya agresi Militer Belanda I menimbulkan simpati dan reaksi keras dari dunia Internasional. Bentuk simpati dunia Internasional ditujukan dengan tindakan sebagai berikut:

  1. Palang Merah Malaya (Malaysia) dan India mengirimkan bantuan obat-obatan yang diangkut oleh pesawat Dakota dari Singapura. Namun, ketika akan mendarat di Yogyakarta pesawat itu ditembaki jatuh oleh tentara Belanda.
  2. Australia dan India bereaksi keras dengan mendesak Dewan Keamanan PBB agar segera membahas masalah Indonesia.

Pada tanggal 4 Agustus 1947 pemerintah republic Indonesia dan Belanda mengumumkan mulai berlakuknya gencatan senjata. Sejak pengumuman gencatan sebnjata tersebutlah, secara resmi berakhirnya agresi milter Belanda I. akan tetapi, kenyataannya Belanda masih terus memperluas wilayahnya samapi dengan dibentuk garis demakrasi yang jauh ke depan ( garis Van Mook ). Indonesia menolak, dengan demikian gencatan senata yang diserukan oleh PBB belum berlakuk secara efektif. Berkat perjuangan diplomasi di forum PBB, banyak negara yang mendukung perjuangan bangsa Indonesia dan membantu mencari jalan penyelesaian secara damai. Dalam upaya penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda secara damai dan mengawasi gencatan senjata yang telah disepakati bersama maka Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN). Negara yang duduk dalam KTN adalah hasil tunjukan Republik Indonesia, Belanda dan sebuah negara lagi yang bersifat netral negara tersebuat adalah:

  1. Australia (tunjukan Indonesia), diwakili oleh Richard Kirby.
  2. Belgia (tunjukan Belanda), diwakili oleh Paul Van Zeeland
  3. Amerika Serikat (tunjukan Australia dan Belgia), diwakili Dr. Frank Graham
http://www.sejarahkita.comoj.com/

-------------------------------------------------------------------------






Jendral Soedirman dan Gatot Soebroto



foto dari koranbaru.com
http://koranbaru.com/foto-foto-langka-agresi-militer-belanda-di-indonesia/

• V.O.C bag II


Legalisasi Perbudakan dimulai oleh VOC


Perbudakan memang telah ada sebelum orang-orang Eropa datang ke Asia Tenggara, namun di masa VOC, berdasarkan Bataviase Statuten (Undang-Undang Batavia) tahun 1642, perbudak diresmikan dengan adanya Undang-Undang Perbudakan.

Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun budak-budak tersebut berasal dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda, seperti dari pulau Banda tahun 1621, di mana 883 orang (176 orang mati dalam perjalanan) dibawa ke pulau Jawa dan dijual sebagai budak.

Perdagangan budak di seluruh dunia memang telah terjadi sejak ribuan tahun lalu, terutama di zaman Romawi. Yang diperdagangkan di pasar budak adalah rakyat, serdadu, perwira dan bahkan bangsawan dari negara-negara yang kalah perang dan kemudian dijual sebagai budak. Selama Perang Salib/Sabil yang berlangsung sekitar 200 tahun, ratusan ribu orang dari berbagai etnis yang ditawan, dijual sebagai budak sehingga membanjiri pasar budak, dan mengakibatkan anjloknya harga budak waktu itu.

Dari abad 15 sampai akhir abad 19, seiring dengan kolonialisme negara-negara Eropa terhadap negara-negara atau wilayah yang mereka duduki di Asia, Afrika dan Amerika, perdagangan budak menjadi sangat marak, juga terutama untuk benua Amerika, di mana para penjajah memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian dan perkebunan. Di Amerika Serikat –negara yang mengklaim sebagai sokoguru demokrasi- perbudakan secara resmi baru dihapus tahun 1865, namun warga kulit hitam masih harus menunggu seratus tahun lagi, sampai mereka memperoleh hak memilih dan dipilih.

Di Afrika, Belanda memiliki 2 portal perdagangan budak. Satu di St. George d’Elmina, Gold Coast (sekarang Ghana) dan satu lagi di Pulau Goree, Senegal. Melalui kedua portal tersebut Belanda membawa budak-budak yang mereka beli dari orang-orang Arab pedagang budak. Pedagang-pedagang budak orang Arab bekerjasama dengan orang-orang Afrika menculik warga Afrika dari desa-desa di pedalaman Afrika -tak pandang bulu, laki-laki, perempuan dan anak-anak- dan kemudian menjual mereka sebagai budak.

Selama kurun waktu lebih dari 300 tahun, berjuta-juta orang Afrika diculik dan kemudian dijual sebagai budak. Sebelum dibawa dengan kapal ke negara-negara tujuan pembeli, mereka disekap secara tidak manusiawi dan berjejal-jejal –termasuk anak-anak dan perempuan- di penjara-penjara, tanpa adanya sinar matahari, udara dan air bersih. Biasanya sekitar 20% dari budak-budak tersebut mati di tengah jalan, karena penyakit, mogok makan, siksaan atau bunuh diri, namun yang dibawa ke benua Amerika, jumlah yang mati dalam perjalanan mencapai 40-50%.

Selain mengontrak orang-orang Eropa dan pribumi untuk menjadi serdadu di dinas ketentaraan India-Belanda, juga terdapat pasukan yang terdiri dari yang dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander), yaitu mantan budak yang dibeli dari Afrika.





Pembantaian oleh Belanda di Pulau Banda. Hongi Tochten
Tidak lama setelah kedatangan mereka di Maluku, para pedagang Belanda melakukan cara-cara yang kejam untuk menguasai wilayah yang sangat banyak memberi kenuntungan bagi mereka, seperti yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen terhadap pulau Banda pada tahun 1621 (lihat: Willard A. Hanna, “Indonesian Banda”, Colonialism and its Altermath in the Nutmeg Islands, Yayasan Warisan dan Budaya Banda Neira, Maluku, 1991, Reprint),

Dari Batavia, dia membawa armada yang terdiri dari 13 kapal besar, tiga kapal pengangkut perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukannya terdiri dari 1.655 orang Eropa (150 meninggal dalam perjalanan) dan diperkuat dengan 250 orang dari garnisun di Banda. Ini adalah kekuatan terbesar yang dikerahkan Belanda pada waktu itu ke wilayah Maluku, sehingga tidak diragukan lagi keberhasilannya. 286 orang Jawa dijadikan pengayuh kapal. Selain itu terdapat 80 – 100 pedagang Jepang; beberapa diantaranya adalah pendekar Samurai yang kemudian berfungsi sebagai algojo pemenggal kepala. Ini merupakan kerjasama pertama antara Belanda dan Jepang dalam penjajahan di Indonesia.Dalam waktu singkat, perlawanan rakyat Banda dapat dipatahkan oleh tentara Belanda. Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas, ditangkap dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari tebing yang curam di pantai sehingga tewas.



Leaders of Banda meeting with Dutch Traders, 1599
Social classes in Banda, c.1599. A. a Turlish merchant with scales, B. a wealthy Bandanese man followed by his slave, C. a wealthy Bandanese woman followed by her slave


Semua pimpinan rakyat Banda yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda dijatuhi hukuman mati yang segera dilaksanakan. Mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap pimpinan rakyat Banda pada 8 Mei 1621, Letnan (Laut) Nicholas van Waert menulis antara lain:



“… Keempat puluh
empat tawanan dibawa ke Benteng Nassau, delapan Orang Kaya (pemuka adat di Banda) dipisahkan dari lainnya, yang dikumpulkan seperti domba. Dengan tangan terikat, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng dari bambu dan dijaga ketat. Mereka dituduh telah berkonspirasi melawan Tuan Jenderal dan telah melanggar perjanjian perdamaian.

Enam serdadu Jepang melaksanakan eksekusi dengan samurai mereka yang tajam. Para pemimpin Banda dipenggal kepalanya kemudian tubuh mereka dibelah empat. Setelah itu menyusul 36 orang lainnya, yang juga dipenggal kepalanya dan tubuhnya dibelah empat. Eksekusi ini sangat mengerikan untuk dilihat.

Semua tewas tanpa mengeluarkan suara apa pun, kecuali satu orang yang berkata dalam bahasa Belanda “Tuan-tuan, apakah kalian tidak mengenal belas kasihan”, yang ternyata tidak ada gunanya.

Kejadian yang
sangat menakutkan itu membuat kami menjadi bisu. Kepala dan bagian-bagian tubuh orang-orang Banda yang telah dipotong, ditancapkan di ujung bambu dan dipertontonkan. Demikianlah kejadiannya: Hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang benar.

Kita semua, sebagai yang menyatakan beragama Kristen, dipenuhi rasa kecemasan melihat bagaimana peristiw
a ini berakhir, dan kami merasa tidak sejahtera dengan hal ini ..”.

Laporan ini dikutip oleh Willard A. Hanna dari “De Verovering der Banda-Eilanden,” Bijdragen van het Koninklijke Institut voor de Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Vol. II (1854), hlm. 173. Laporan ini semula beredar secara anonim di Belanda, namun cendekiawan Belanda yang terkenal, H.T. Colenbrander menghubungkan ini dengan salah seorang perwira dari Gubernur Jenderal Coen, yaitu Nicholas van Waert tersebut.

Para pengikut tokoh-tokoh Banda beserta seluruh keluarga mereka dibawa dengan kapal ke Batavia untuk kemudian dijual sebagai budak. Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia adalah 883 orang terdiri dari 287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. 176 orang meninggal dalam perjalanan. Banyak di antara mereka yang meninggal karena siksaan, kelaparan atau penyakit.

Demikianlah pembantaian massal pertama yang dilakukan oleh Belanda di Bumi Nusantara. Kekejaman Belanda tidak terbatas terhadap pribumi di Maluku, melainkan juga terhadap para pesaing mereka, dalam hal ini orang-orang Inggris. Persaingan antara Belanda dan Inggris untuk menguasai rempah-rempah di Maluku mencapai puncaknya pada tahun 1623, dua tahun setelah pembantaian rakyat Banda, di mana para pedagang Inggris juga dibantai oleh serdadu bayaran VOC. Para pedagang Inggris tersebut dibunuh secara kejam oleh Belanda; leher mereka disembelih seperti anjing, sebagaimana diungkapkan oleh Laurens van der Post (lihat: Laurens van der Post: “The Admiral's Baby”, John Murray, London, 1996.):



… It was on Ambon in 1623 that the Dutch slaughtered the English traders they found there, cutting their throats like dogs …


Secara perlahan-lahan, Belanda menyingkirkan pesaing-pesaing perdagangan mereka dari Eropa, yaitu Portugis, Spanyol dan Inggris, dan dengan demikian berhasil memegang monopoli atas perdagangan rempah-rempah dari wilayah Maluku ke Eropa. Para penguasa setempat yang tidak bersedia memenuhi keinginan VOC disingkirkan dengan segala cara, dan kemudian diganti dengan Raja, Sultan atau penguasa lain yang patuh kepada Belanda. Dengan cara ini VOC dapat memaksa penguasa setempat untuk membuat kebijakan dan peraturan yang sangat menguntungkan VOC, namun merugikan rakyat setempat. Para penguasa boneka Belanda, disamping memperoleh “kekuasaan”, juga mendapat keuntungan materi.Dengan mereka, VOC membuat perjanjian yang dinamakan “kontrak extirpatie”, yaitu menebang dan memusnahkan semua pohon cengkeh dan pala di wilayahnya, dan tidak mengizinkan rakyat mereka untuk menanam kembali dan memelihara pohon rempah-rempah tersebut. Sebagai imbalannya, para penguasa memperoleh uang sebagai pengganti kerugian yang dinamakan recognitie-penningen.



bawah Gubernur Jenderal Mattheus de Haan (1725 – 1729) dan kemudian dilanjutkan oleh Diederik Durven (1729 – dipecat tahun 1732) dilakukan extirpartie secara besar-besaran, guna menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi. Untuk melaksanakan extirpatie tersebut, setiap tahun VOC melakukan pelayaran hongi atau “Hongi tochten”, yaitu armada yang terdiri dari sejumlah kora-kora, kapal tradisional Ternate-Tidore.

Menurut catatan statistik Kompeni, sebagai hasil extirpatie dari Hongi tochten yang hanya berlangsung satu tahun, yaitu dari 10 Desember 1728 sampai 17 Desember 1729 telah dimusnahkan lebih dari 96.000 pohon dan dari 14 Juli 1731 sampai 27 Juli 1732 telah habis dimusnahkan 117.000 pohon rempah-rempah di Pulau-Pulau Makian, Moti, Weda, Maba dan Ternate.


pelayaran hongi atau "Hongi tochten"
Pembantaian Etnis (Genocide) di Batavia



Kekejaman bangsa Belanda tidak hanya dirasakan oleh rakyat jajahannya atau pesaing-pesaing mereka dari Eropa saja, melainkan juga dirasakan oleh etnis Tionghoa yang ada di Batavia, sebagaimana dilakukan oleh Adriaen Valckenier, yang menjadi Gubernur Jenderal India Belanda dari tahun 1737 - 1741. Selain melanjutkan budaya korupsi dan penindasan serta eksploitasi rakyat jajahannya, Valckenier juga menilai, peningkatan yang sangat pesat jumlah orang Tionghoa yang ada di Batavia telah menjadi ancaman bagi orang Belanda.

Sebenarnya pada mulanya Belanda mendatangkan orang-orang Tionghoa dari Tiongkok ke India Belanda terutama untuk menjadi kuli di perkebunan. Namun banyak dari mereka yang berhasil menjadi pedagang, pengusaha dan rentenir uang, dengan kedudukan sebagai lapisan menengah yang berfungsi sebagai perantara antara orang Eropa dan pribumi.

Sekitar tahun 1690, penguasa VOC mencoba mulai membatasi masuknya orang Tionghoa ke Batavia/Jawa, namun tidak berhasil, karena adanya kolusi antara para pengusaha yang terus mendatangkan kuli dari Tiongkok dan pejabat administrasi VOC yang menerima suap. Para pengusaha Belanda juga memperoleh manfaat dengan adanya kuli murah, rajin dan patuh, dibandingkan dengan pribumi yang sering membangkang, melawan dan bahkan melakukan pemberontakan.

Namun, lama kelamaan jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai puluhan ribu orang, dan menjelang tahun 1740, separuh penduduk di Batavia dan sekitarnya adalah orang Tionghoa. Mereka juga telah menguasai berbagai bidang ekonomi dan usaha, yang menjadi ancaman bagi orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, karena dengan adanya pesaing etnis Tionghoa, keuntungan mereka menjadi sangat berkurang. Salah satu bidang usaha yang dikuasai oleh etnis Tionghoa adalah perkebunan tebu di sekitar Batavia.

Tahun 1740, pasar gula mengalami kemerosotan karena selain adanya persaingan dari Brasilia yang menjual gula lebih murah, juga pasar di Eropa telah jenuh. Puluhan pedagang gula mengalami kebangkrutan dan harus memberhentikan kuli-kuli mereka dari Tiongkok. Pengangguran besar-besaran yang mendadak ini memunculkan kelompok-kelompok yang menjurus kepada gang (komplotan) kriminal. Gang-gang tersebut juga tidak segan-segan untuk melakukan tindak kekerasan, sehingga menimbulkan keresahan di kalangan orang-orang Belanda dan Eropa lainnya.

Para penguasa VOC kemudian mulai mengambil langkah-langkah untuk mengatasi hal ini, dengan mendeportasi kuli-kuli dari Tiongkok tersebut ke Ceylon dan Afrika Selatan, yang juga koloni VOC waktu itu. Deportasi dengan kapal laut ini dimulai pada bulan Juli 1740. Tak lama setelah dimulainya deportasi kuli-kuli Tionghoa ke Ceylon, muncul desas-desus, bahwa kuli-kuli itu dibunuh dan kemudian dilemparkan ke laut. Terpancing dengan isu tersebut, banyak kuli Tionghoa mempersenjatai diri mereka dan mulai mengadakan perlawanan, dan bahkan merencanakan akan menyerang Batavia. Tanggal 8 Oktober malam, suasana di Batavia sangat mencekam, karena diberitakan, bahwa orang-orang Tionghoa di dalam kota Batavia akan bergabung dengan warga Tionghoa dari sekitar Batavia.

Pada 9 Oktober 1740 Gubernur Jenderal Valckenier mengeluarkan perintah untuk menggeledah 5.000 keluarga Tionghoa yang tinggal di lingkungan benteng Batavia dan sekitarnya. Namun yang terjadi dalam 3 hari kemudian adalah pembantaian terhadap semua orang Tionghoa di Batavia. Setiap orang Tionghoa yang ditemui langsung dibunuh, dan bahkan yang berada di rumah sakit juga dibantai (lihat: Vermeulen, J.Th., De Chineezen Turbulenten te Batavia, 1938).
Georg Bernhard Schwarz, seorang Jerman yang berasal dari Remstal, dekat Stuttgart, Jerman, pada 1751 dalam tulisan yang diterbitkan di Heilbronn, Jerman, dengan judul “Merkwürdigkeiten” menuturkan pengalamannya ketika ia ikut dalam pembantaian etnis Tionghoa di Batavia. Ia menuliskan, bahwa ia membunuh orang Tionghoa beserta seluruh keluarganya di Batavia, yang adalah tetangganya sendiri, walaupun mereka sebenarnya adalah kenalan baik dan tidak mempunyai masalah pribadi satu dengan lainnya. (lihat: Seemann, Heinrich, Spuren einer Freundschaft. Deutsch – Indonesische Beziehungen vom 16. bis 19. Jahrhundert. Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000).

Diperkirakan sekitar 24.000 orang etnis Tionghoa yang tewas dibantai oleh orang-orang Belanda dan Eropa lainnya pada bulan Oktober 1740. Dari sisa yang hidup, banyak yang melarikan diri ke Jawa Tengah dan bergabung dengan kelompok pemberontak di bawah pimpinan Raden Mas Said. Mereka kemudian menyerang pos pertahanan Belanda di Semarang dan Rembang. Sebagian lagi melarikan diri ke Kalimantan Barat.

Ini merupakan pembantaian etnis (genocide) terbesar pada waktu itu, dan ketika berita ini sampai di Eropa, hal ini sangat memalukan bangsa Belanda yang bertepuk dada sebagai penganut ajaran Kristen yang taat, namun bukan saja melakukan perbudakan, melainkan juga pembantaian etnis secara massal. Gubernur Jenderal Valckenier dan Wakil Gubernur Jenderal Baron von Imhoff saling menyalahkan atas terjadinya genocide tersebut. Valckenier sendiri kemudian dipanggil pulang dan meninggal ketika dalam tahanan. Setelah Valckenier dipanggil pulang tahun 1741, jabatan Gubernur Jendral untuk sementara dipegang oleh Johannes Thedens, sebelum diganti oleh Gustaf Wilhelm Baron van Imhoff (1743 – 1750), yang adalah orang Jerman.
Masalah pembantaian etnis Tionghoa yang sangat mencoreng wajah Belanda, berhasil ditutup-tutupi dan kemudian hilang begitu saja. Tak ada satu orang pun dari pelaku pembantaian yang dimajukan ke pengadilan.

Di Den Haag, Belanda, sejak Januari 2003 International Criminal Court - ICC (Pengadilan Kejahatan Internasional) memulai kegiatannya, dan Menlu Belanda waktu itu, van Aartsen menyatakan, bahwa dengan demikian “Den Haag is the capital of international justice.” (Den Haag adalah pusat keadilan dunia), karena sebelumnya di Den Haag juga terdapat Intenational Court of Justice. Dalam Statuta Roma yang menjadi landasan dari ICC disebutkan, bahwa kejahatan tertinggi adalah pembantaian etnis (genocide), dan setelah itu, kejahatan terbesar kedua adalah Kejahatan Atas Kemanusiaan (crimes against humanity).

Ironis sekali, bahwa di negara yang telah melakukan kejahatan terbesar, genocide, dan kejahatan atas kemanusiaan, yaitu perbudakan, pembantaian massal seperti di Sulawesi Selatan dan Rawagede, menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga peradilan internasional, dan Menlunya bertepuk dada, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di masa lalu. Satu bangsa yang mengalami amnesia dan pengingkaran kolektif.


Runtuhnya VOC. Penjajahan Pemerintah India-Belanda


Sejak tahun 1780-an terjadi peningkatan biaya dan menurunnya hasil penjualan, yang menyebabkan kerugian perusahaan dagang tersebut. Hal ini disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para pegawai VOC di Asia Tenggara, dari pejabat rendah hingga pejabat tinggi, termasuk para residen. Misalnya beberapa residen Belanda memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil produksi kepada mereka dengan harga yang sangat rendah, dan kemudian dijual lagi kepada VOC melalui kenalan atau kerabatnya yang menjadi pejabat VOC dengan harga yang sangat tinggi.

Karena korupsi, lemahnya pengawasan administrasi dan kemudian konflik dengan pemerintah Belanda sehubungan dengan makin berkurangnya keuntungan yang ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh para pegawai VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC yang jatuh tempo pada 31 Desember 1979 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun 1799. Setelah dibubarkan, plesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie (Hancur karena korupsi).

Setelah VOC dibubarkan, daerah-daerah yang telah menjadi kekuasaan VOC, diambil alih –termasuk utang VOC sebesar 134 juta gulden- oleh Pemerintah Belanda, sehingga dengan demikian politik kolonial resmi ditangani sendiri oleh Pemerintah Belanda. Yang menjalankan politik imperialisme secara sistematis, dengan tujuan menguasai seluruh wilayah, yang kemudian dijadikan sebagai daerah otonomi yang dinamakan India-Belanda (Nederlands-Indië) di bawah pimpinan seorang Gubernur Jenderal.

Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten (1797 – 1799), menjadi Gubernur Jenderal Pemerintah India-Belanda pertama (1800 – 1801).
Pada 20 Mei 2005, KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA (KUKB) menuntut Pe*me*rintah Belanda untuk:
  1. Mengakui Kemer*dekaan Repu*blik Indo*nesia 17 Agustus 1945; dan
  2. II. Meminta Maaf Ke*pa*da Bangsa Indonesia atas Pen*jajahan, Perbudakan, Pe*lang*ga*ran HAM Berat dan Kejahatan Atas Kemanusiaan.
Bagi yang mendukung petisi ter*sebut melalui internet (petition-on*line), silakan mengisi nama da*lam daftar petisi.
Klik: http://www.petitiononline.com/brh41244/petition.html

Lalu Klik: Sign the petition,
Lalu klik: Preview your signature,
Terakhir klik: Approve signature dan selesai. (Email Anda tidak muncul pada display).

  1. http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/10/voc-verenigde-oost-indische-compagnie.html
  2. http://id.wikipedia.org/wiki/VOC
  3. http://en.wikipedia.org/wiki/Dutch_East_India_Company
  4. http://voc-kenniscentrum.nl/
  5. http://www.engelfriet.net/Alie/Aad/liefde.htm
  6. http://www.geocities.com/nedindie/
  7. http://www.nedindie.nl/
  8. http://members.tripod.com/alifuru/jakarta/ts_sbatavia.htm
  9. http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Kebon_Kopi
  10. http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara
  11. Slavery : http://www.youngmessengerrzz.com/id135.html


• V.O.C bag I

Vereenigde Oostindische Compagnie

The Dutch East India Company /Perserikatan Perusahaan Hindia Timur



Era VOC - 1602 - 1799 Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) atau VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 adalah perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula VWC yang merupakan perserikatan dagang Hindia Barat. Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan pertama yang mengeluarkan pembagian saham.

Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalkan VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam negara.

VOC terdiri 6 Bagian (Kamers) di Amsterdam, Middelburg (untuk Zeeland), Enkhuizen, Delft, Hoorn dan Rotterdam. Delegasi dari ruang ini berkumpul sebagai Heeren XVII (XVII Tuan-Tuan). Kamers menyumbangkan delegasi ke dalam tujuh belas sesuai dengan proporsi modal yang mereka bayarkan; delegasi Amsterdam berjumlah delapan.

Di Indonesia VOC memiliki sebutan populer Kompeni atau Kumpeni. Istilah ini diambil dari kata compagnie dalam nama lengkap perusahaan ters ebut dalam bahasa Belanda.


VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie)


Datangnya orang Eropa melalui jalur laut diawali oleh Vasco da Gama, yang pada tahun 1497-1498 berhasil berlayar dari Eropa ke India melalui Semenanjung Harapan (Cape of Good Hope) di ujung selatan Afrika, sehingga mereka tidak perlu lagi bersaing dengan pedagang-pedagang Timur Tengah untuk memperoleh akses ke Asia Timur, yang selama ini ditempuh melalui jalur darat yang sangat berbahaya.

Pada awalnya, tujuan utama bangsa-bangsa Eropa ke Asia Timur dan Tenggara termasuk ke Nusantara adalah untuk perdagangan, demikian ju
ga dengan bangsa Belanda. Misi dagang yang kemudian dilanjutkan dengan politik pemukiman kolonisasi- dilakukan oleh Belanda dengan kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatera dan Maluku, sedangkan di Suriname dan Curaçao, tujuan Belanda sejak awal adalah murni kolonisasi (pemukiman).





Bangsa Portugis, yang terlebih dahulu datang ke Indonesia sebelum Belanda, selain di Malakka, memusatkan perhatian mereka di kepulauan Maluku, yang kaya akan rempah- rempah –komoditi langka dan sangat mahal di Eropa. Setelah dapat mematahkan perlawanan rakyat Maluku tahun 1511, Portugis menguasai perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku selama sekitar 100 tahun.
Pada akhir abad 16, Inggris dan Belanda mulai menunjukkan minatnya di wilayah Asia Tenggara dan melakukan beberapa pelayaran ke wilayah ini, antara lain dilakukan oleh James Lancaster tahun 1591, dua bersaudara Frederik dan adiknya, Cornelis de Houtman tahun 1595 dan kemudian tahun 1599, Jacob van Neck tahun 1598. Lancaster datang lagi tahun 1601. Ketika de Houtman bersaudara tahun 1596 pertama kali tiba di Banten, mereka disambut dengan sangat ramah, demikian juga dengan para pedagang lain, yang setelah itu makin banyak datang ke Jawa, Sumatera dan Maluku.







Cornelis Houtman 15 Juni 1596 (Bantam/Banten)


Sebelum Belanda membuat Jayakarta/Sunda Kalapa (setelah menduduki Jayakarta, Belanda kemudian menamakannya Batavia) menjadi pelabuhan yang merupakan basis perdagangan dan kubu militernya, pelabuhan Banten adalah pelabuhan internasional yang terbesar di Asia Tenggara dan menjadi pusat perdagangan antar benua.

Ketika kembali ke Asia Tenggara tahun 1599, Houtman bersaudara terlibat pertempuran melawan kerajaan Aceh, di mana Cornelis tewas dan Frederik ditawan, dan setelah dibebaskan tahun 1602, ia kembali ke Amsterdam. Selama di penjara, ia sempat belajar bahasa Melayu dan menerbitkan kamus Melayu pertama pada tahun 1603.


Adalah para pedagang Inggris yang memulai mendirikan perusahaan dagang di Asia pada 31 Desember 1600 yang dinamakan The Britisch East India Company dan berpusat di Calcutta. Kemudian Belanda menyusul tahun 1602 dan Prancis pun tak mau ketinggalan dan mendirikan French East India Company tahun 1604.

Pada 20 Maret 1602, para pedagang Belanda mendirikan Verenigde Oost-Indische Compagnie - VOC (Perkumpulan Dagang India Timur). Di masa itu, terjadi persaingan sengit di antara negara-negara Eropa, yaitu Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis dan Belanda, untuk memperebutkan hegemoni perdagangan di Asia Timur. Untuk menghadapai masalah ini, oleh Staaten Generaal di Belanda VOC diberi wew
enang memiliki tentara yang harus mereka biayai sendiri. Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas nama Pemerintah Belanda –yang waktu itu masih berbentuk Republik- untuk membuat perjanjian kenegaraan dan menyatakan perang terhadap suatu negara.
Wewenang ini yang mengakibatkan, bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya satu negara.

Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktro
oi (Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602 meliputi:
  1. Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens serta menguasai perdagangan untuk kepentingan sendiri;
  2. Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara untuk:
    1. memelihara angkatan perang,
    2. memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian,
    3. merebut dan me
    nduduki daerah-daerah asing di luar Belanda,
    4. memerintah daer
    ah-daerah tersebut,
    5. menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan
    6. memungut pajak.
(Catatan penulis: Saya punya satu coin VOC dari tahun 1790)

Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor perwakilan, dan pada 1610 Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama (1610-1614). Sementara itu, Frederik de Houtman menjadi Gubernur VOC di Ambon (1605 – 1611) dan setelah itu menjadi Gubernur untuk Maluku (1621 – 1623).


Belanda konsisten menggunakan kekuatan bersenjata untuk memuluskan perdagangannya dan menjalankan taktik divide et impera (memecah-belah dan kemudian menguasai). Apabila ada konflik internal di satu kerajaan, atau ada pertikaian antara satu kerajaan dengan kerajaan tetangganya, Belanda membantu salah satu pihak untuk mengalahkan lawannya, dengan imbalan yang sangat menguntungkan bagi Belanda, termasuk antara lain memperoleh sebagian wila
yah yang bersama -sama dikalahkan. Dengan tipu muslihat dan bantuan penguasa setempat, Belanda berhasil mengusir Portugis dari wilayah yang mereka kuasai di Maluku, yang sangat kaya akan rempah-rempah, yang mahal harganya di Eropa.




The Dutch and English enclaves at Amboyna (top) and Banda (bottom). 1655 engraving.







Dutch Batavia in the 17th Century, built in what is now North Jakarta








Jayakarta, Jajahan VO
C Pertama

Bukti tertua mengenai eksistensi pemukiman penduduk yang sekarang bernama Jakarta adalah Prasasti Tuguyang tertanam di desa Batu Tumbuh, Jakarta Utara. Prasasti terebut berkaitan dengan 4 prasasti lain yang berasal dari zaman kerajaan Hindu, Tarumanegara ketika diperintah oleh Raja Purnawarman. Berdasarkan Prasasti Kebon Kopi, nama Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) sendiri diperkirakan baru muncul abad sepuluh.


Pemukiman tersebut berkembang menjadi pelabuhan, yang kemudian juga dikunjungi oleh kapal-kapal dari mancanegara. Hingga kedatangan orang Portugis, Sunda Kalapa masih di bawah kekuasaan kerajaan Hindu lain, Pakuan Pajajaran. Sementara itu, Portugis telah berhasil menguasai Malakka, dan tahun 1522 Gubernur Portugis d’Albuquerque mengirim utusannya, Enrique Leme yang didampingi oleh Tome Pires untuk menemui Raja Sangiang Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian persahabatan antara Pajajaran dan Portugis.
Diperkirakan, langkah ini diambil oleh Raja Pakuan Pajajaran guna memperoleh bantuan dari Portugis dalam menghadapi ancaman kerajaan Islam Demak, yang telah menghancurkan beberapa kerajaan Hindu, termasuk Majapahit. Namun ternyata perjanjian ini sia-sia saja, karena ketika diserang oleh Kerajaan Islam Demak, Portugis tidak membantu mempertahankan Sunda Kalapa




Nearby, in Gang Mesjid 1, off JI. Pangeran Tubagus Angke, the small Mesjid Alanwar or Angke Mosque, 1761







The Castle of Batavia, Seen from Kali Besar West






Reproduksi naskah asli di atas ini memperlihatkan sisi kanan dari halaman terakhir Perjanjian Sunda Kelapa (1522) antara Kerajaan Sunda dan Portugal. Dari dokumen yang tersimpan dalam arsip Lisbon tersebut terlihat tanda tangan para perwira Portugis.

Rekonstruksi letaknya kota Jayakartadan kastael Belanda tahun 1619 menurut J.W. Ijzerman.



BEOS ... : Stasiun kereta api ini dulunya biasa disebut dengan nama B.O.S = Bataviasche Ooster Spoorweg [Batavia Eastern Railway], namun bagi penduduk Jakarta tempo dulu, stasiun ini sering dilafalkan dengan Bé-OS. Kini nama stasiun ini dikenal dengan nama STASIUN JAKARTAKOTA.

Stasiun ini didirikan pada tahun 1929




Pusat Kota Batavia Sekarang Museum Batavia/Kota Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pelabuhan Sunda Kalapa diserang oleh tentara Demak yang dipimpin oleh Fatahillah, Panglima Perang asal Gujarat, India, dan jatuh pada 22 Juni 1527, dan setelah berhasil direbut, namanyapun diganti menjadi Jayakarta. Setelah Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten, Jayakarta berada di bawah kekuasaan Banten, yang kini menjadi kesultanan.

Ironisnya, kini tanggal 22 Juni ditetapkan sebagai hari “kelahiran” Jakarta. Jelas tanggal ini tidak mencerminkan berdirinya kota Jakarta, karena dari berbagai prasasti, telah terbukti bahwa Sunda Kalapa telah ada sejak abad 10. Ironis, karena hari penaklukkan Jakarta yang dipimpin oleh seorang asing, ditetapkan sebagai hari “kelahiran” Jakarta.
Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta/Sunda Kalapa masih merupakan pelabuhan kecil.

Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.

Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta. Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang tuan rumah, yang memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota, dan kemudian seluruh Nusantara. Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun de Heeren Seventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang bangsa Batavir, yaitu bangsa Germania yang bermukim di tepi Sungai Rhein yang kini dihuni oleh orang Belanda. Dan nama Batavia ini digunakan oleh Belanda selama lebih dari 300 tahun.

Dengan demikian, Batavia (Sunda Kalapa, Jayakarta, Jakarta) adalah jajahan Belanda pertama di Nusantara. Entah sejak kapan, penduduk di kota Batavia dinamakan –atau menamakan diri- orang Betawi, yang mengambil nama dari Batavia tersebut. Dilihat dari sejarah dan asal-usulnya, jelas penamaan ini keliru.

Tanggal 30 Mei 1619 dapat ditetapkan sebagai awal penjajahan Belanda di bumi Nusantara, yang berakhir tanggal 9 Maret 1942, yaitu dengan resmi menyerahnya Pemerintah India Belanda kepada Jepang di Kalijati, Subang, Jawa Barat.