PANCASILA

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Translate

• Tentara PETA



Tentara Sukarela Pembela Tanah Air


Tentara Sukarela Pembela Tanah Air disingkat PETA (郷土防衛義勇軍 kyōdo bōei giyûgun) adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia dalam masa pendudukan Jepang. Tentara Pembela Tanah Air dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Ke-16, Letnan Jendral Kumakichi Harada sebagai Tentara Sukarela. Pelatihan pasukan Peta dipusatkan di kompleks militer Bogor yang diberi nama Jawa Bo-ei Giyûgun Kanbu Resentai.
Tentara PETA telah berperan besar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh nasional yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan Jendral Besar Soedirman. Veteran-veteran tentara PETA telah menentukan perkembangan dan evolusi militer Indonesia, antara lain setelah menjadi bagian penting dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga akhirnya TNI. Karena hal ini, PETA banyak dianggap sebagai salah satu cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia.

Latar belakang

Pembentukan PETA dianggap berawal dari surat Raden Gatot Mangkupradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943 yang antara lain berisi permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang. Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang kemudian menjadi anggota senior dalam barisan PETA. Ada pendapat bahwa hal ini merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri. Pendapat ini ada benarnya, karena, sebagaimana berita yang dimuat pada koran "Asia Raya" pada tanggal 13 September 1943, yakni adanya usulan sepuluh ulama: K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan H. Mohammad Sadri, yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa Hal ini menunjukkan adanya peran golongan agama dalam rangka pembentukan milisi ini.
Tujuan pengusulan oleh golongan agama ini dianggap untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Hal ini kemudian juga diperlihatkan dalam panji atau bendera tentara PETA yang berupa matahari terbit (lambang kekaisaran Jepang) dan lambang bulan sabit dan bintang (simbol kepercayaan Islam).

Pemberontakan batalion PETA di Blitar

Pada tanggal 14 Februari 1945, pasukan PETA di Blitar di bawah pimpinan Supriadi melakukan sebuah pemberontakan. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan dengan memanfaatkan pasukan pribumi yang tak terlibat pemberontakan, baik dari satuan PETA sendiri maupun Heiho. Supriadi, pimpinan pasukan pemberontak tersebut, menurut sejarah Indonesia dinyatakan hilang dalam peristiwa ini. Akan tetapi, pimpinan lapangan dari pemberontakan ini, yang selama ini dilupakan sejarah, Muradi, tetap bersama dengan pasukannya hingga saat terakhir. Mereka semua pada akhirnya, setelah disiksa selama penahanan oleh Kenpeitai (PM), diadili dan dihukum mati dengan hukuman penggal sesuai dengan hukum militer Tentara Kekaisaran Jepang di Eevereld (sekarang pantai Ancol) pada tanggal 16 Mei 1945.

Pembubaran PETA

Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepang dengan blok Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan para daidan batalion PETA untuk menyerah dan menyerahkan senjata mereka, dimana sebagian besar dari mereka mematuhinya. Presiden Republik Indonesia yang baru saja dilantik, Sukarno, mendukung pembubaran ini ketimbang mengubah PETA menjadi tentara nasional, karena tuduhan blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator Kekaisaran Jepang bila ia memperbolehkan milisi yang diciptakan Jepang ini untuk dilanjutkan. [2][3][4]. Sehari kemudian, tanggal 19 Agustus 1945, panglima terakhir Tentara Ke-16 di Jawa, Letnan Jendral Nagano Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan pada para anggota kesatuan PETA.

Peran dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia

Sumbangsih dan peranan tentara PETA dalam masa Perang Kemerdekaan Indonesia sangatlah besar. Demikian juga peranan mantan Tentara PETA dalam kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan Jendral Besar Soedirman.
Mantan Tentara PETA menjadi bagian penting pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), mulai dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga TNI. Untuk mengenang perjuangan Tentara PETA, pada tanggal 18 Desember 1995 diresmikan monumen PETA yang letaknya di Bogor, bekas markas besar PETA.

Referensi

  1. ^ Suryanegara, Mansur. 1996. Pemberontakan Tentara PETA di Cileunca Pangalengan Bandung Selatan
  2. ^ Ricklefs (1981), p194
  3. ^ Sunhaussen (1982), pp2-4
  4. ^ Bachtiar(1988), p12
Ensiklopedia Nasional Indonesia (ed. 1989)

• ROMUSHA

ROMUSHA

Romusha (労務者 rōmusha: "buruh", "pekerja") adalah panggilan bagi orang-orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Kebanyakan romusha adalah petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha.Mereka dikirim untuk bekerja di berbagai tempat di Indonesia serta Asia Tenggara. Jumlah orang-orang yang menjadi romusha tidak diketahui pasti - perkiraan yang ada bervariasi dari 4 hingga 10 juta.

romusha yang selamat


Suasana romusha pemerintahan Jepang

Romusha Praktik Kolonialisme Jepang


DALAM sejarah kolonialisme, Jepang merupakan negara pertama di Asia yang memiliki pandangan dan aksi kolonialisme. Kolonialisme Jepang memang pada akhirnya menjadi kolonia lisme yang sangat pendek. Kolonialime Jepang memang belum sebanding jika disandingkan dengan kolonialime bangsa bangsa Eropa atas Asia, Afrika, dan Amerika dalam sejarah abad ke-15 hingga ke-20.

Memang harus diakui, Jepang sempat mengejutkan Eropa, menjelma
menjadi kekuatan kapital-militeristik yang membuat repot Eropa dan Amerika. Beroperasinya kolonialisme Jepang disusun oleh Tanaka arsitek perang modern yang juga menjadi perdana menteri Jepang waktu 1927-1929. Pikiran pikiran Tanaka ditungakannya ke dalam Memorandum Tanaka. Memorandum ini berisi rencana Jepang untuk memikul tugas suci untuk memimpin bangsa bangsa Asia Timur. Pandangan ini pada akhirnya mewujud menjadi doktrin dengan nama Hakko I Chiu; dunia dalam satu keluarga dibawah pimpinan Jepang.

Terinsipirasi dari semangat ini, berubahlah Jepang menjadi kekuatan militer yang sangat disegani. Dalam sejarah perang dunia 2, kemampuan militer Jepang dalam sesaat mampu menghancurkan sekutu, dan dalam sekepap menguasai Asia Tenggara dan sebagian pasifik. Dominasi Jepang ini pada akhirnya berakhir dengan tragis, dalam satu hari pada 9 Agustus 1945 pesawat pembom B 29 milik Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di KotaHiroshima dan Nagasaki. Inilah momentum kekalahan Jepang, serta berakhir pulalah dominasinya di Asia timur dan sebagian Pasifik.

Masuknya Jepang ke Indonesia, awalnya disambut gembira oleh para pejuang kemerdekaan waktu itu. Jepang dianggap sebagai saudara, sesama Asia yang membantu mengusir Kolonial Belanda . Namun, sesaat setelah Jepang mendarat di Hindia Belanda (Indonesia-saat ini), ternyata Jepang berbuat yang tak kalah licik dan bengisnya. Jepang berupaya menghapus pengaruh kultural barat yang telah hinggap di Hindi Belanda, dan yang kedua Jepang mengeruk sumber sumber kekayaan alam startegi yang ada di tanah air kita. Pasokan sumber sumber ala mini digunakan untuk membiayai perang Jepang dengan Sek utu di Asia Timur dan Pasifik.

Luasnya daerh pendudukan Jepang membuat Jepang memerlukan tenaga kerja yang begitu besar. Tenaga kerja ini dibutuhkan untuk membangun kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Tenaga tenaga kerja ini diambilkan dari penduduk Jawa yang cukup padat. Para tenaga kerja ini dipaksa yang popular di sebut denga Romusa. Jejaring tentara Jep
ang untuk menjalankan romusha hingga ke desa desa. Dalam catatan buku ini, setidaknya ada 300.000 tenaga romusha yang dikirim ke berbagai negara di Asia Tenggara, 70.000 orang diantaranya dalam kondisi menyedihkan da berakhir dengan kematian.

Para romusa juga melibatkan kaum perempuan. Mereka dibujuk rayu di iming iming mendapatkan pekerjaan, namun mereka di bawa ke kamp kamp tertutup untuk dijadikan wanita penghibur (Jugun Ianfu).

Romusa juga melibatkan tokoth tokoh pergerakan waktu itu. Mereka dipaksa oleh Jepang untuk menjadi tenaga tenaga paksa tersebut. Diantara para romusa yang berasal dari tokoh pergerakan adalah Soekarno dan Otto Iskandardinata. Mereka berdua dipaksan tentara pendudukan Jepang untuk membuat lapangan udara darurat.

Dalam buku ini, penulis menyajikan cukup rincin mengenai strategi Jepang melakukan rekruitmen calon calon romusa, pola tingkatan, serta alokasi tenaga kerja paksa ini. Basi
s paparannya melihat praktik romusa dan proyek proyeknya di Gunung Madur dan sekitar Banten. Namun pada saat yang sama, Jepang berhasil memanipulasi keberadaan romusa ini ke dunia internasional. Untuk menyamarkan keberadaan romusa, Jepang memperhasul istilah romusa dengan “pekerja ekonomi” atau pahlawan pekerja.

Pada pertengahan tahun 1943, para romusa semakin di eksploitasi
oleh Jepang. Karena kekalahan Jepang pada Perang Pasifik, Romusa romusa ini digunakan sebagai tenaga swasembada untuk mendukung perang secara langsung. Karena disetiap angkatan perang Jepang membutuhkan tenaga tenaga kerja paksa ini untuk mengefisiensikan biaya perang Jepang. Pada situasi seperti ini, permintaan terhadap romusa semakin tak terkendali.

Jika kita melihat angka tahunnya, proyek romusa di Indonesia be
rjalan dalam tempo dua tahun. Bukanlah waktu yang pendek untuk menghasilkan penderitaan dan kematian sebagaimana yang terungkap dalam data diatas. Barulah pada tahun 1945, Hindia Belanda merdeka menjadi Indonesia, serta mengakhiri proyek dan impian kolonialisasi Jepang.



ROMUSHA DAN JUGUN IANFU


PM Jepang Junichiro Koizami menyampaikan permintaan maaf yang mendalam atas kekejaman balatentaranya pada Perang Dunia II (1942-1945) yang mengakibatkan penderitaan rakyat di kawasan Asia. Permintaan maaf tersebut disampaikan saat bertemu Presiden RRC Hu Jintao di se la-sela KTT Asean 2005 di Jakarta.

Tampaknya, permintaan maaf itu tidak hanya ditujukan pada Cina dan Korea Selatan, tapi juga negara Asia termasuk Indonesia yang diduduki Jepang saat PD II. Akibat penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun rakyat Indonesia mengalami penderitaan luar biasa.
Hubungan Jepang dengan Cina dan Korsel akhir-akhir ini memburuk. Pasalnya Jepang dianggap tidak jujur dengan menghilangkan kekejamaan militernya pada mata pelajaran di sekolah-sekolah saat menduduki kedua negara itu.
Demo-demo anti Jepang pun marak di kedua negara. Sejauh ini Korea Utara tidak mengajukan protes. Padahal ketika Jepang berkuasa di semenanjung Korea, kedua Korea (Utara dan Selatan) masih bersatu. Mereka baru terpisah setelah Perang Korea awal 1950-an.
Pada awal PD II Belanda dan sekutu-sekutunya tidak mampu menahan Blitzkrieg atau perang kilat Jepang yang prajuritnya bersemangat sangat tinggi. Dalam waktu tiga bulan, Inggris di Malaysia dan Birma (kini Myanmar), AS di Filipina, dan Belanda di Indonesia, bertekuk lutut pada Dai Nippon. Di Indonesia Jepang mendarat di Banten 5 Maret 1942 dan Belanda hanya dalam waktu singkat menyerah tanpa syarat. Kedatangan Jepang di Indonesia mula-mula dielu-elukan karena mereka berjanji akan membebaskan dan memberi kemerdekaan. Jepang menyebutkan dirinya sebagai ‘saudara tua’. Waktu itu tinggi badan orang Jepang lebih pendek dari kebanyakan orang Indonesia, sehingga mereka disebut bangsa kate.
Hanya di awal pendudukan, Jepang bersikap baik. Setelah itu mereka sangat kejam. Makanan, pakaian, barang, dan obat-obatan menghilang dari pasaran. Karena sulit pakaian, banyak rakyat memakai celana terbuat dari karung goni. Sedangkan wanita menggunakan kain dari karet yang panas menempel di tubuh. Hanya orang berada yang memiliki baju seadanya. Yang paling menyedihkan, rakyat sulit mendapat obat-obatan. Termasuk di rumah-rumah sakit. Mereka yang menderita koreng dan jumlahnya banyak sekali, sulit mendapatkan salep. Terpaksa uang gobengan di gecek dan ditemplok ke tempat yang sakit sebagai ganti perban.
Sepeda kala itu bannya terbuat dari karet, atau ‘ban mati’. Di sekolah-sekolah buku tulis terbuat dari kertas merang. Potlot dari arang, hingga sulit sekali menulis. Masa itu, banyak orang berebut makanan bekas di bak-bak sampah. Bila ada mayat di jalan tidak lagi mengagetkan. Jepang mengajarkan rakyat makan bekicot yang oleh orang Betawi disebut ‘kiong racun’. Radio yang hanya dimiliki beberapa gelintir orang disegel. Hanya boleh mendengarkan siaran pemerintah Dai Nippon. Ketahuan menyetel siaran luar negeri dapat hukuman berat. Orang akan bergidik bila mendengar Kempetai atau polisi militer Jepang.
Pada malam hari seringkali terdengar sirene kuso keho sebagai pertanda bahaya serangan udara dari tentara sekutu. Rakyatpun setelah memadamkan lampu cepat-cepat pergi ke tempat perlindungan. Di halaman rumah-rumah kala itu digali lobang untuk empat atau lima orang bila terdengar sirene bahaya udara.
Kekejeman Jepang itu pernah difilmkan dengan judul Romusha, istilah Jepang yang berarti pekerja paksa. Film produksi 1972 yang telah lolos sensor itu tidak beredar karena ditahan oleh Deppen. Alasannya, mengganggu hubungan Indonesia-Jepang. Pada masa Orba, kebijakan pemerintah sulit dilawan. Meskipun ada sedikit protes dari pihak perfilman, tapi Deppen yang mendapat perintah dari ‘atasan’ tidak meladeninya. Konon, larangan film tersebut, seperti dituturkan produsernya Julies Rofi’ie, atas tekanan pemerintah Jepang.
Ratusan ribu tenaga kerja romusha dikerahkan dari pulau Jawa ke luar Jawa, bahkan ke luar wilayah Indonesia. Mereka diperlakukan tidak manusiawi sehingga banyak yang menolak jadi romusha. Dan, Jepang pun menggunakan cara paksa: setiap kepala daerah harus menginventarisasikan jumlah penduduk usia kerja, setelah mereka dipaksa jadi romusha. Ribuan romusha dikerahkan ke medan pertempuran Jepang di Irian, Sulawesi, Maluku, Malaysia, Thailand, Burma dan beberapa negara lainnya. Banyak kisah-kisah sedih yang mereka alami di hutan belukar, hidup dalam serba kekurangan dan di tengah ancaman bayonet. Sampai kini masih banyak eks romusha korban PD II mengajukan klaim agar Jepang membayar konpensasi gaji mereka yang tidak dibayar selama jadi romusha.



Di samping romusha, yang juga menderita adalah para wanita Indonesia yang jadi fujingkau atau iugun yanfu alias — perempuan pemuas seks tentara Jepang.
Nasib mereka difilmkan pada 1983 dengan sutradara Sjuman Djaya. Fatima (Jenny Rachman) merelakan dirinya sebagai pengganti putrinya yang hendak diperkosa serdadu Jepang. Bersama ratusan wanita lainnya, Fatima kemudian dikirim ke Malaysia sebagai pemuas nafsu serdadu yang kesepian. Berlainan dengan Romusha, film Budak Nafsu itu diperbolehkan beredar.
Seperti juga eks romusha, mereka yang pernah menjadi fujingkau atau iugun yanfu juga telah menuntut ganti rugi pada pemerintah Jepang atas penderitaan yang luar biasa, yang mereka alami selama PD II. Tapi, kalaupun sekarang mereka masih hidup, rata-rata usianya di atas 80 tahun.

oleh sdnbhaktijaya.wordpress.com
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------


From: John MacDougall

SUARA INDEPENDEN No. 03/1,AUGUST 1995


Kisah Seorang Romusha Jawa


Setengah abad ia terdampar di perbatasan Thailand dan Burma, sebagai bekas Romusha. Pemuda Jawa itu tak dendam pada Jepang.Masih perlukah permintaan maaf?

Tahun 1943 pemuda Karja Wiredja meninggalkan desanya di Matukara, Banjarnegara, Jawa Tengah, untuk menjadi romusha di Thailand. Di benaknya mungkin tidak terpikir bahwa dia baru akan kembali ke desanya 52 tahun kemudian. "Waktu itu lurah bilang kita boleh ikut Nippon," kata Karja akhir bulan Juli yang lalu. Maka berangkatlah pemuda lugu tersebut untuk jadi mandor pembangunan rel kereta api sepanjang 415 kilometer antara Thailand dan Burma. Bayarannya, dua sen sehari. Selama sebulan kerja Karja mendapat gaji enam rupiah.
Ketika Perang Dunia II berakhir dengan pemboman terhadap Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, proyek yang memakan banyak korban itu ditutup. Sekitar 300,000 tenaga kerja paksa yang masih hidup dipulangkan ke Indonesia, Malaysia, Burma maupun negara-negara barat seperti Australia, Inggris dan Belanda.
Sambil menunggu kapal yang akan membawanya kembali ke Indonesia, Karja memanfaatkan waktu untuk berjalan-jalan. Keluar dari barak para pekerja, "Banyak perempuan baik-baik, muda-muda dan cakap-cakap," kata Karja (75) sambil tergelak dengan giginya yang ompong.
Pemuda Karja yang mantan romusha, tampaknya pecinta yang ulung. Buktinya, dia mampu kawin-cerai selama di Thailand selama lima kali. Dan ini pula alasannya untuk kemudian terlambat kembali ke Bangkok untuk pulang ke Indonesia.
"Dia ketinggalan kapal Red Cross International yang berangkat ke Indonesia," kata Nagase Takashi dari River Kwai Peace Temple and Foundation (Tokyo) yang membantu Karja pulang ke Indonesia.
Menurut laporan koran West Australian (Perth) yang meliput kedatangan Karja, kehidupan panjang sebagai kuli perkebunan dan tinggal di hutan, harus dijalani Karja bersama dengan dua orang India, dua orang Malaysia, satu orang Singapura serta satu orang Gurkha, yang sama-sama "pensiunan" romusha.
Sebagian besar dari yang ketinggalan kapal itu terisolasi dari perkembangan dunia. Semua sudah meninggal, kecuali Karja, yang kemudian atas upaya Takashi, bisa kembali ke kampungnya di kaki Gunung Sindoro. Suatu reuni keluarga yang mengharukan.
Menurut Takashi (77), bekas opsir Jepang yang pernah bertugas sebagai mata-mata di Jakarta dan penterjemah di Thailand, proyek rel kereta itu melibatkan 45,000 romusha Indonesia, 85,000 dari Malaysa (orang Cina, India maupun Melayu), 180,000 dari Burma serta 12,000 serdadu Jepang yang bertugas mengawasi dan mengatur pekerjaan.
Selain romusha, proyek tersebut juga memperkerjakan 68,000 tawanan perang dari berbagai kebangsaan, terutama Inggris, Belanda dan Australia. Dan dari semuanya, 100,000 di antaranya meninggal dunia akibat malaria maupun kebrutalan serdadu Jepang.
Di antara 400,000 pekerja yang membangun jalan kereta api itu juga terdapat Tom Uren, kini politisi terkemuka di Sydney, Australia, yang mengatakan bahwa, pada masa awal menjadi tawanan
perang Jepang, "Saya ingin memusnahkan semua orang Jepang dari muka bumi ini. Mereka sangat kejam dan suka menyiksa."
"Saya tidak pernah mencoba mendefinisikan kebrutalan mereka karena kesadisan mereka sungguh luar biasa," kata Uren kepada kantor berita Kyodo.
Kisah yang sama juga terjadi pada Harry Rynenberg, yang menjadi tawanan perang Jepang di Indonesia, dan kini menjadi ketua Australian Civilian Japanese War Repratriation Action Group. Rynenberg mewakili sekitar 900 orang anggotanya, laki- laki maupun perempuan, yang pernah menjadi tenaga kerja paksa maupun ianfu (wanita penghibur) serdadu Jepang. Bulan Agustus ini, bertepatan dengan 50 tahun berakhirnya Perang Dunia II,
mereka menuntut ganti rugi serta permintaan maaf dari pemerintah Jepang masing-masing US$16,000 (Rp 35 juta).
Selain itu, Rynenberg menekankan perlunya tuntutan tersebut karena pemerintah Jepang tidak pernah memberikan informasi yang memadai kepada rakyat Jepang tentang apa yang pernah mereka lakukan pada tahun 1940-an. Ketika dia sedang berada di Jepang, Rynenberg pernah bertanya pada sekelompok anak muda tentang isu romusha maupun ianfu, "Mereka ternyata tidak tahu apa-apa."
Sikap pemerintah dan Kaisar Jepang, baik Hirohito maupun Akihito, yang berusaha menutup-nutupi pelanggaran hak-hak dasar kaum sipil dalam Perang Dunia II inilah yang masih mengganjal dan menguatirkan banyak negara di kawasan ini akan kemungkinan teru- langinya ekspansionisme Jepang.
"Kami tidak pernah tahu tentang betapa kejamnya pasukan kami pada jaman Perang Dunia II. Saya baru tahu itu semua ketika saya ikut suami saya ke Jakarta," kata seorang ibu rumah tangga Jepang yang bersuamikan orang Indonesia.
Menurutnya, pelajaran sejarah di Jepang tidak pernah menyinggung akibat-akibat dari Perang Dunia II, tentang ratusan ribu romusha di Thailand-Burma, tentang ribuan perempuan Cina, Korea, Indonesia, Inggris, Australia maupun Belanda yang dijadikan wanita penghibur yang sehari-harinya harus melayani tepatnya diperkosa-- oleh lebih dari sepuluh serdadu Jepang. Selain itu, pemerintah Jepang menutup mata terhadap orang-orang semacam Karja Wiredja yang selama berpuluh-puluh tahun tertinggal di hutan-hutan karena terlalu miskin, dan terkadang takut, untuk kembali ke daerah asal mereka.
Ketika mendarat di lapangan udara Adisucipto, Yogyakarta, Karja yang mengenakan sepatu karet alam, jaket lusuh, kaos warna hijau tua serta celana tua yang riutsletingnya sudah rusak, ternyata sudah tidak bisa mengenali Yogyakarta. "Bangunan-bangunan tak sebanyak ini," katanya dalam logat Melayu pasar tahun 1940-an. Menurut Karja, dia sebenarnya rindu untuk pulang kampung melihat saudara-saudara dan menengok kuburan kedua orang tuanya. Tetapi Karja tidak punya uang, buat makan saja sulit.
Pemerintah Jepang juga tidak pernah menggubris tekanan- tekanan dari berbagai organisasi non-pemerintah untuk memperhatikan dan minta maaf pada orang semacam Karja, tetapi mereka bersi keras bahwa pampasan perang sudah dibayar (Presiden Sukarno membangun Hotel Indonesia, Gedung Sarinah dan beberapa proyek
lain dengan uang tersebut).
Mengapa rakyat Jepang tidak menuntut pemerintahnya? "Karena mereka tidak tahu," ujar Takashi yang menyesal karena pernah terlibat dalam penindasan rakyat Asia Tenggara, Tiongkok dan Korea.
"Tetapi waktu itu kami berpikir bahwa kami memang berkehendak membebaskan Asia dari kolonialisme Barat. Saya baru sadar ketika bertugas di Thailand dan melihat kekejaman serdadu Jepang di proyek kereta api," katanya sedih. Ketika ditanya mengapa pemerintah Jepang tidak minta maaf, dengan cepat dan emosional Takashi menjawab, "Tanyakan pada kaisar. Orang itu yang menentukan. Kaisar tidak pernah mau minta
maaf." Tetapi buat Tom Uren (74), persoalannya tidak sesederhana itu. Menurut Uren, tahun terakhir dari 3.5 tahun masa tahanannya, Uren ditempatkan untuk bekerja paksa di daerah Saganoseki, Kyushu, Jepang.
Disana Uren bekerja bersama orang Korea maupun orang Jepang, "Saat itu kami mendapat pengertian yang lebih mendalam. Kami sama-sama ingin perang berakhir dan para pekerja Jepang juga sangat simpati terhadap mereka yang sakit dan lemah." Uren mengatakan bahwa saat ini dia sudah tidak membenci orang Jepang lagi, tetapi tidak dengan militerisme dan fasisme, "Saya tidak ingin berdebat lagi soal perlunya permintaan maaf atau tidak --itu hal yang permukaan," katanya, "Yang perlu, pemerintah Jepang harus mengakui perbuatan-perbuatan kriminal yang dilakukan oleh pihak militer mereka antara tahun 1930-an dan 1940-an."
"Dan sistem pendidikan mereka juga harus menginformasikan kepada generasi muda perbuatan barbar dan tidak berperikemanusiaan yang pernah dilakukan generasi terdahulu. Masalah ini tidak seharusnya didiamkan dan disembunyikan di bawah karpet," kata Uren.
Karja sendiri, dengan lugu, mengatakan bahwa semuanya sudah berakhir tanpa kebencian pada Jepang. "Nippon itu baik-baik, saya dikasih uang seperti sekarang ini," katanya menunjuk pada Takashi. (Suara INDEPENDEN)

Referensi

  1. ^ "1940 to 1945: Perang Dunia II (the Second World War)"
  2. ^ "The Japanese Occupation, 1942-45"
  3. wikipedia

Romusha, Neraka Ala Soekarno!

Pada 1942, Jepang menguasai Indonesia. Mereka berhasil mengambil alih kendali dari tangan Belanda. Begitu pula di beberapa negara asia tenggara lainnya, Jepang juga berhasil menguasai dan mengendalikannya.

Demi mempertahankan daerah-daerah kekuasaannya tersebut, Jepang merencanakan pembangunan rel kereta api guna mempercepat pengangkutan logistik dan tentara. Jepang juga merencanakan untuk menambang sumber daya alam Indonesia (emas, batu bara dan lainnya). Untuk mengerjakan semuanya, Jepang membutuhkan banyak pekerja paksa atau dalam bahasa Jepang disebut romusha: pahlawan kerja.

Di Indonesia, romusha dihimpun langsung oleh Presiden Soekarno. Konsekuensi langsung dari kebijakan politik terkait kesepakatan dengan Kaisar Jepang, Tenno Heika, untuk mempercepat dan mendukung proses kemerdekaan Indonesia.


Para pemuda dan orang dewasa -Belanda dan pribumi- dibujuk, ditangkap paksa dan diangkut dengan truk. Mereka kemudian dikirim ke pelbagai lokasi kerja, di Indonesia maupun di negara lain. Jumlah yang terhimpun sekira 4-10 juta orang. Banyak dari mereka yang mati mengenaskan: kelaparan, kedinginan, sakit, disiksa, dibunuh dan sebagian menjadi santapan binatang buas.


Terkait romusha, presiden Soekarno melontarkan beberapa pernyataan:

“Sesungguhnya akulah yang mengirim mereka untuk kerja paksa. Ya, akulah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian. Ya, ya, ya, akulah orangnya. Aku membuat pernyataan untuk menyokong pengerahan romusha. Aku bergambar dekat Bogor dengan topi di kepala dan cangkul di tangan untuk menunjukkan betapa mudah dan enaknya menjadi seorang romusha…”

“…Aku melakukan perjalanan ke Banten untuk menyaksikan tulang-tulang kerangka hidup yang menimbulkan belas, membudak di garis belakang, jauh di dalam tambang batu bara dan emas. Mengerikan. Ini membuat hati di dalam seperti diremuk-remuk.”

“Ada dua jalan untuk bekerja. Pertama dengan tindakan revolusioner, kita belum siap. Kedua adalah bekerja sama dengan Jepang sambil mengonsolidasikan kekuatan dan menantikan sampai tiba saatnya ia jatuh. Saya mengikuti jalan kedua.”

“Dalam setiap perang ada korban. Tugas dari seorang panglima adalah memenangkan perang, sekalipun akan mengalami beberapa kekalahan dalam pertempuran di jalan. Andaikata saya terpaksa mengorbankan ribuan jiwa demimenyelamatkan jutaan orang, saya akan lakukan. Kita berada dalam suatu perjuangan untuk hidup…”


Logas adalah kawasan di tengah hutan belantara antara Sumatera Barat dan Riau. Pada 1943-1945, Jepang membangun rel kereta api di sini, menghubungkan Sumatera Barat dan Riau. Puluhan romusha dikerahkan untuk mengerjakannya. Logas menjadi kawasan pekuburan dan saksi bisu tragedi yang mengerikan.

Romusha terdiri dari pemuda-pemuda pribumi yang ditangkapi secara paksa sepulang sekolah; bahkan yang sedang nongkrong atau jalan-jalan. Mereka diangkut dengan truk dan dibawa ke Logas. Beberapa tawanan Belanda juga dijadikan romusha.

Para romusha hidup di tengah hutan belantara. Dikomandoi Letnan Doi Isamu yang kejam, mereka bekerja keras siang-malam, makan seadanya dan tidur berselimutkan dingin dan sengatan nyamuk malaria. Kalau mereka lari, harimau sumatera dan binatang buas lainnya siap menerkam di hutan. Tak ada catatan pasti tentang jumlah kematian, tapi yang jelas: belasan romusha mati tiap harinya selama dua tahun.

Bagaimana dengan romusha Indonesia yang dikirim ke negara lain? Di negara Burma, sebagaimana diakui dan digambarkan presiden Soekarno: hampir 99% mati.

Sumber:

“Bung Karno dan Lembar Hitam Romusha” oleh Roso Daras.

“Neraka Rimba Logas” oleh Marthias Dusky Pandoe.

Ditulis kembali oleh kompasiana.com

berikut link nya http://sejarah.kompasiana.com/2011/01/04/romusha-neraka-ala-soekarno/