PM Jepang Junichiro Koizami menyampaikan permintaan maaf yang mendalam atas kekejaman balatentaranya pada Perang Dunia II (1942-1945) yang mengakibatkan penderitaan rakyat di kawasan Asia. Permintaan maaf tersebut disampaikan saat bertemu Presiden RRC Hu Jintao di se la-sela KTT Asean 2005 di Jakarta.
Tampaknya, permintaan maaf itu tidak hanya ditujukan pada Cina dan Korea Selatan, tapi juga negara Asia termasuk Indonesia yang diduduki Jepang saat PD II. Akibat penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun rakyat Indonesia mengalami penderitaan luar biasa.
Hubungan Jepang dengan Cina dan Korsel akhir-akhir ini memburuk. Pasalnya Jepang dianggap tidak jujur dengan menghilangkan kekejamaan militernya pada mata pelajaran di sekolah-sekolah saat menduduki kedua negara itu.
Demo-demo anti Jepang pun marak di kedua negara. Sejauh ini Korea Utara tidak mengajukan protes. Padahal ketika Jepang berkuasa di semenanjung Korea, kedua Korea (Utara dan Selatan) masih bersatu. Mereka baru terpisah setelah Perang Korea awal 1950-an.
Pada awal PD II Belanda dan sekutu-sekutunya tidak mampu menahan Blitzkrieg atau perang kilat Jepang yang prajuritnya bersemangat sangat tinggi. Dalam waktu tiga bulan, Inggris di Malaysia dan Birma (kini Myanmar), AS di Filipina, dan Belanda di Indonesia, bertekuk lutut pada Dai Nippon. Di Indonesia Jepang mendarat di Banten 5 Maret 1942 dan Belanda hanya dalam waktu singkat menyerah tanpa syarat. Kedatangan Jepang di Indonesia mula-mula dielu-elukan karena mereka berjanji akan membebaskan dan memberi kemerdekaan. Jepang menyebutkan dirinya sebagai ‘saudara tua’. Waktu itu tinggi badan orang Jepang lebih pendek dari kebanyakan orang Indonesia, sehingga mereka disebut bangsa kate.
Hanya di awal pendudukan, Jepang bersikap baik. Setelah itu mereka sangat kejam. Makanan, pakaian, barang, dan obat-obatan menghilang dari pasaran. Karena sulit pakaian, banyak rakyat memakai celana terbuat dari karung goni. Sedangkan wanita menggunakan kain dari karet yang panas menempel di tubuh. Hanya orang berada yang memiliki baju seadanya. Yang paling menyedihkan, rakyat sulit mendapat obat-obatan. Termasuk di rumah-rumah sakit. Mereka yang menderita koreng dan jumlahnya banyak sekali, sulit mendapatkan salep. Terpaksa uang gobengan di gecek dan ditemplok ke tempat yang sakit sebagai ganti perban.
Sepeda kala itu bannya terbuat dari karet, atau ‘ban mati’. Di sekolah-sekolah buku tulis terbuat dari kertas merang. Potlot dari arang, hingga sulit sekali menulis. Masa itu, banyak orang berebut makanan bekas di bak-bak sampah. Bila ada mayat di jalan tidak lagi mengagetkan. Jepang mengajarkan rakyat makan bekicot yang oleh orang Betawi disebut ‘kiong racun’. Radio yang hanya dimiliki beberapa gelintir orang disegel. Hanya boleh mendengarkan siaran pemerintah Dai Nippon. Ketahuan menyetel siaran luar negeri dapat hukuman berat. Orang akan bergidik bila mendengar Kempetai atau polisi militer Jepang.
Pada malam hari seringkali terdengar sirene kuso keho sebagai pertanda bahaya serangan udara dari tentara sekutu. Rakyatpun setelah memadamkan lampu cepat-cepat pergi ke tempat perlindungan. Di halaman rumah-rumah kala itu digali lobang untuk empat atau lima orang bila terdengar sirene bahaya udara.
Kekejeman Jepang itu pernah difilmkan dengan judul Romusha, istilah Jepang yang berarti pekerja paksa. Film produksi 1972 yang telah lolos sensor itu tidak beredar karena ditahan oleh Deppen. Alasannya, mengganggu hubungan Indonesia-Jepang. Pada masa Orba, kebijakan pemerintah sulit dilawan. Meskipun ada sedikit protes dari pihak perfilman, tapi Deppen yang mendapat perintah dari ‘atasan’ tidak meladeninya. Konon, larangan film tersebut, seperti dituturkan produsernya Julies Rofi’ie, atas tekanan pemerintah Jepang.
Ratusan ribu tenaga kerja romusha dikerahkan dari pulau Jawa ke luar Jawa, bahkan ke luar wilayah Indonesia. Mereka diperlakukan tidak manusiawi sehingga banyak yang menolak jadi romusha. Dan, Jepang pun menggunakan cara paksa: setiap kepala daerah harus menginventarisasikan jumlah penduduk usia kerja, setelah mereka dipaksa jadi romusha. Ribuan romusha dikerahkan ke medan pertempuran Jepang di Irian, Sulawesi, Maluku, Malaysia, Thailand, Burma dan beberapa negara lainnya. Banyak kisah-kisah sedih yang mereka alami di hutan belukar, hidup dalam serba kekurangan dan di tengah ancaman bayonet. Sampai kini masih banyak eks romusha korban PD II mengajukan klaim agar Jepang membayar konpensasi gaji mereka yang tidak dibayar selama jadi romusha.
alias — perempuan pemuas seks tentara Jepang.
Nasib mereka difilmkan pada 1983 dengan sutradara Sjuman Djaya. Fatima (Jenny Rachman) merelakan dirinya sebagai pengganti putrinya yang hendak diperkosa serdadu Jepang. Bersama ratusan wanita lainnya, Fatima kemudian dikirim ke Malaysia sebagai pemuas nafsu serdadu yang kesepian. Berlainan dengan Romusha, film Budak Nafsu itu diperbolehkan beredar.
Seperti juga eks romusha, mereka yang pernah menjadi fujingkau atau iugun yanfu juga telah menuntut ganti rugi pada pemerintah Jepang atas penderitaan yang luar biasa, yang mereka alami selama PD II. Tapi, kalaupun sekarang mereka masih hidup, rata-rata usianya di atas 80 tahun.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SUARA INDEPENDEN No. 03/1,AUGUST 1995
Setengah abad ia terdampar di perbatasan Thailand dan Burma, sebagai bekas Romusha. Pemuda Jawa itu tak dendam pada Jepang.Masih perlukah permintaan maaf?
Tahun 1943 pemuda Karja Wiredja meninggalkan desanya di Matukara, Banjarnegara, Jawa Tengah, untuk menjadi romusha di Thailand. Di benaknya mungkin tidak terpikir bahwa dia baru akan kembali ke desanya 52 tahun kemudian. "Waktu itu lurah bilang kita boleh ikut Nippon," kata Karja akhir bulan Juli yang lalu. Maka berangkatlah pemuda lugu tersebut untuk jadi mandor pembangunan rel kereta api sepanjang 415 kilometer antara Thailand dan Burma. Bayarannya, dua sen sehari. Selama sebulan kerja Karja mendapat gaji enam rupiah.
Ketika Perang Dunia II berakhir dengan pemboman terhadap Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, proyek yang memakan banyak korban itu ditutup. Sekitar 300,000 tenaga kerja paksa yang masih hidup dipulangkan ke Indonesia, Malaysia, Burma maupun negara-negara barat seperti Australia, Inggris dan Belanda.
Sambil menunggu kapal yang akan membawanya kembali ke Indonesia, Karja memanfaatkan waktu untuk berjalan-jalan. Keluar dari barak para pekerja, "Banyak perempuan baik-baik, muda-muda dan cakap-cakap," kata Karja (75) sambil tergelak dengan giginya yang ompong.
Pemuda Karja yang mantan romusha, tampaknya pecinta yang ulung. Buktinya, dia mampu kawin-cerai selama di Thailand selama lima kali. Dan ini pula alasannya untuk kemudian terlambat kembali ke Bangkok untuk pulang ke Indonesia.
"Dia ketinggalan kapal Red Cross International yang berangkat ke Indonesia," kata Nagase Takashi dari River Kwai Peace Temple and Foundation (Tokyo) yang membantu Karja pulang ke Indonesia.
Menurut laporan koran West Australian (Perth) yang meliput kedatangan Karja, kehidupan panjang sebagai kuli perkebunan dan tinggal di hutan, harus dijalani Karja bersama dengan dua orang India, dua orang Malaysia, satu orang Singapura serta satu orang Gurkha, yang sama-sama "pensiunan" romusha.
Sebagian besar dari yang ketinggalan kapal itu terisolasi dari perkembangan dunia. Semua sudah meninggal, kecuali Karja, yang kemudian atas upaya Takashi, bisa kembali ke kampungnya di kaki Gunung Sindoro. Suatu reuni keluarga yang mengharukan.
Menurut Takashi (77), bekas opsir Jepang yang pernah bertugas sebagai mata-mata di Jakarta dan penterjemah di Thailand, proyek rel kereta itu melibatkan 45,000 romusha Indonesia, 85,000 dari Malaysa (orang Cina, India maupun Melayu), 180,000 dari Burma serta 12,000 serdadu Jepang yang bertugas mengawasi dan mengatur pekerjaan.
Selain romusha, proyek tersebut juga memperkerjakan 68,000 tawanan perang dari berbagai kebangsaan, terutama Inggris, Belanda dan Australia. Dan dari semuanya, 100,000 di antaranya meninggal dunia akibat malaria maupun kebrutalan serdadu Jepang.
Di antara 400,000 pekerja yang membangun jalan kereta api itu juga terdapat Tom Uren, kini politisi terkemuka di Sydney, Australia, yang mengatakan bahwa, pada masa awal menjadi tawanan
perang Jepang, "Saya ingin memusnahkan semua orang Jepang dari muka bumi ini. Mereka sangat kejam dan suka menyiksa."
"Saya tidak pernah mencoba mendefinisikan kebrutalan mereka karena kesadisan mereka sungguh luar biasa," kata Uren kepada kantor berita Kyodo.
Kisah yang sama juga terjadi pada Harry Rynenberg, yang menjadi tawanan perang Jepang di Indonesia, dan kini menjadi ketua Australian Civilian Japanese War Repratriation Action Group. Rynenberg mewakili sekitar 900 orang anggotanya, laki- laki maupun perempuan, yang pernah menjadi tenaga kerja paksa maupun ianfu (wanita penghibur) serdadu Jepang. Bulan Agustus ini, bertepatan dengan 50 tahun berakhirnya Perang Dunia II,
mereka menuntut ganti rugi serta permintaan maaf dari pemerintah Jepang masing-masing US$16,000 (Rp 35 juta).
Selain itu, Rynenberg menekankan perlunya tuntutan tersebut karena pemerintah Jepang tidak pernah memberikan informasi yang memadai kepada rakyat Jepang tentang apa yang pernah mereka lakukan pada tahun 1940-an. Ketika dia sedang berada di Jepang, Rynenberg pernah bertanya pada sekelompok anak muda tentang isu romusha maupun ianfu, "Mereka ternyata tidak tahu apa-apa."
Sikap pemerintah dan Kaisar Jepang, baik Hirohito maupun Akihito, yang berusaha menutup-nutupi pelanggaran hak-hak dasar kaum sipil dalam Perang Dunia II inilah yang masih mengganjal dan menguatirkan banyak negara di kawasan ini akan kemungkinan teru- langinya ekspansionisme Jepang.
"Kami tidak pernah tahu tentang betapa kejamnya pasukan kami pada jaman Perang Dunia II. Saya baru tahu itu semua ketika saya ikut suami saya ke Jakarta," kata seorang ibu rumah tangga Jepang yang bersuamikan orang Indonesia.
Menurutnya, pelajaran sejarah di Jepang tidak pernah menyinggung akibat-akibat dari Perang Dunia II, tentang ratusan ribu romusha di Thailand-Burma, tentang ribuan perempuan Cina, Korea, Indonesia, Inggris, Australia maupun Belanda yang dijadikan wanita penghibur yang sehari-harinya harus melayani tepatnya diperkosa-- oleh lebih dari sepuluh serdadu Jepang. Selain itu, pemerintah Jepang menutup mata terhadap orang-orang semacam Karja Wiredja yang selama berpuluh-puluh tahun tertinggal di hutan-hutan karena terlalu miskin, dan terkadang takut, untuk kembali ke daerah asal mereka.
Ketika mendarat di lapangan udara Adisucipto, Yogyakarta, Karja yang mengenakan sepatu karet alam, jaket lusuh, kaos warna hijau tua serta celana tua yang riutsletingnya sudah rusak, ternyata sudah tidak bisa mengenali Yogyakarta. "Bangunan-bangunan tak sebanyak ini," katanya dalam logat Melayu pasar tahun 1940-an. Menurut Karja, dia sebenarnya rindu untuk pulang kampung melihat saudara-saudara dan menengok kuburan kedua orang tuanya. Tetapi Karja tidak punya uang, buat makan saja sulit.
Pemerintah Jepang juga tidak pernah menggubris tekanan- tekanan dari berbagai organisasi non-pemerintah untuk memperhatikan dan minta maaf pada orang semacam Karja, tetapi mereka bersi keras bahwa pampasan perang sudah dibayar (Presiden Sukarno membangun Hotel Indonesia, Gedung Sarinah dan beberapa proyek
lain dengan uang tersebut).
Mengapa rakyat Jepang tidak menuntut pemerintahnya? "Karena mereka tidak tahu," ujar Takashi yang menyesal karena pernah terlibat dalam penindasan rakyat Asia Tenggara, Tiongkok dan Korea.
"Tetapi waktu itu kami berpikir bahwa kami memang berkehendak membebaskan Asia dari kolonialisme Barat. Saya baru sadar ketika bertugas di Thailand dan melihat kekejaman serdadu Jepang di proyek kereta api," katanya sedih. Ketika ditanya mengapa pemerintah Jepang tidak minta maaf, dengan cepat dan emosional Takashi menjawab, "Tanyakan pada kaisar. Orang itu yang menentukan. Kaisar tidak pernah mau minta
maaf." Tetapi buat Tom Uren (74), persoalannya tidak sesederhana itu. Menurut Uren, tahun terakhir dari 3.5 tahun masa tahanannya, Uren ditempatkan untuk bekerja paksa di daerah Saganoseki, Kyushu, Jepang.
Disana Uren bekerja bersama orang Korea maupun orang Jepang, "Saat itu kami mendapat pengertian yang lebih mendalam. Kami sama-sama ingin perang berakhir dan para pekerja Jepang juga sangat simpati terhadap mereka yang sakit dan lemah." Uren mengatakan bahwa saat ini dia sudah tidak membenci orang Jepang lagi, tetapi tidak dengan militerisme dan fasisme, "Saya tidak ingin berdebat lagi soal perlunya permintaan maaf atau tidak --itu hal yang permukaan," katanya, "Yang perlu, pemerintah Jepang harus mengakui perbuatan-perbuatan kriminal yang dilakukan oleh pihak militer mereka antara tahun 1930-an dan 1940-an."
"Dan sistem pendidikan mereka juga harus menginformasikan kepada generasi muda perbuatan barbar dan tidak berperikemanusiaan yang pernah dilakukan generasi terdahulu. Masalah ini tidak seharusnya didiamkan dan disembunyikan di bawah karpet," kata Uren.
Karja sendiri, dengan lugu, mengatakan bahwa semuanya sudah berakhir tanpa kebencian pada Jepang. "Nippon itu baik-baik, saya dikasih uang seperti sekarang ini," katanya menunjuk pada Takashi. (Suara INDEPENDEN)
Referensi
- ^ "1940 to 1945: Perang Dunia II (the Second World War)"
- ^ "The Japanese Occupation, 1942-45"
- wikipedia
Romusha, Neraka Ala Soekarno!
Pada 1942, Jepang menguasai Indonesia. Mereka berhasil mengambil alih kendali dari tangan Belanda. Begitu pula di beberapa negara asia tenggara lainnya, Jepang juga berhasil menguasai dan mengendalikannya.
Demi mempertahankan daerah-daerah kekuasaannya tersebut, Jepang merencanakan pembangunan rel kereta api guna mempercepat pengangkutan logistik dan tentara. Jepang juga merencanakan untuk menambang sumber daya alam Indonesia (emas, batu bara dan lainnya). Untuk mengerjakan semuanya, Jepang membutuhkan banyak pekerja paksa atau dalam bahasa Jepang disebut romusha: pahlawan kerja.
Di Indonesia, romusha dihimpun langsung oleh Presiden Soekarno. Konsekuensi langsung dari kebijakan politik terkait kesepakatan dengan Kaisar Jepang, Tenno Heika, untuk mempercepat dan mendukung proses kemerdekaan Indonesia.
Para pemuda dan orang dewasa -Belanda dan pribumi- dibujuk, ditangkap paksa dan diangkut dengan truk. Mereka kemudian dikirim ke pelbagai lokasi kerja, di Indonesia maupun di negara lain. Jumlah yang terhimpun sekira 4-10 juta orang. Banyak dari mereka yang mati mengenaskan: kelaparan, kedinginan, sakit, disiksa, dibunuh dan sebagian menjadi santapan binatang buas.
Terkait romusha, presiden Soekarno melontarkan beberapa pernyataan:
“Sesungguhnya akulah yang mengirim mereka untuk kerja paksa. Ya, akulah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian. Ya, ya, ya, akulah orangnya. Aku membuat pernyataan untuk menyokong pengerahan romusha. Aku bergambar dekat Bogor dengan topi di kepala dan cangkul di tangan untuk menunjukkan betapa mudah dan enaknya menjadi seorang romusha…”
“…Aku melakukan perjalanan ke Banten untuk menyaksikan tulang-tulang kerangka hidup yang menimbulkan belas, membudak di garis belakang, jauh di dalam tambang batu bara dan emas. Mengerikan. Ini membuat hati di dalam seperti diremuk-remuk.”
“Ada dua jalan untuk bekerja. Pertama dengan tindakan revolusioner, kita belum siap. Kedua adalah bekerja sama dengan Jepang sambil mengonsolidasikan kekuatan dan menantikan sampai tiba saatnya ia jatuh. Saya mengikuti jalan kedua.”
“Dalam setiap perang ada korban. Tugas dari seorang panglima adalah memenangkan perang, sekalipun akan mengalami beberapa kekalahan dalam pertempuran di jalan. Andaikata saya terpaksa mengorbankan ribuan jiwa demimenyelamatkan jutaan orang, saya akan lakukan. Kita berada dalam suatu perjuangan untuk hidup…”
Logas adalah kawasan di tengah hutan belantara antara Sumatera Barat dan Riau. Pada 1943-1945, Jepang membangun rel kereta api di sini, menghubungkan Sumatera Barat dan Riau. Puluhan romusha dikerahkan untuk mengerjakannya. Logas menjadi kawasan pekuburan dan saksi bisu tragedi yang mengerikan.
Romusha terdiri dari pemuda-pemuda pribumi yang ditangkapi secara paksa sepulang sekolah; bahkan yang sedang nongkrong atau jalan-jalan. Mereka diangkut dengan truk dan dibawa ke Logas. Beberapa tawanan Belanda juga dijadikan romusha.
Para romusha hidup di tengah hutan belantara. Dikomandoi Letnan Doi Isamu yang kejam, mereka bekerja keras siang-malam, makan seadanya dan tidur berselimutkan dingin dan sengatan nyamuk malaria. Kalau mereka lari, harimau sumatera dan binatang buas lainnya siap menerkam di hutan. Tak ada catatan pasti tentang jumlah kematian, tapi yang jelas: belasan romusha mati tiap harinya selama dua tahun.
Bagaimana dengan romusha Indonesia yang dikirim ke negara lain? Di negara Burma, sebagaimana diakui dan digambarkan presiden Soekarno: hampir 99% mati.
Sumber:
“Bung Karno dan Lembar Hitam Romusha” oleh Roso Daras.
“Neraka Rimba Logas” oleh Marthias Dusky Pandoe.
Ditulis kembali oleh kompasiana.com
berikut link nya http://sejarah.kompasiana.com/2011/01/04/romusha-neraka-ala-soekarno/