PANCASILA

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Translate

• Cjipto Mangunkusumo anti feodalisme 1


Dokter Cjipto Mangunkusumo


Lelaki Jawa ningrat yang namanya diabadikan sebagai Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) ini memang sosok yang sangat berani menentang penjajah. Dia rela menanggalkan kepentingan pribadinya untuk mengobati rakyat miskin yang tengah sakit. Dia membantu rakyat yang tengah mengalami kesulitan dan penderitaan, kendati dia sendiri tengah sakit keras. Dia pula yang dengan gamblang menentang penjajahan Belanda dan bersama dua rekannya mendirikan partai politik pertama di negeri ini, Indische Partij.

Seandainya saat ini Dr Cipto Mangunkusumo masih hidup, mungkin dia pula orang pertama yang akan berkunjung ke berbagai wilayah berkonflik, untuk merawat para pengungsi yang menderita berbagai penyakit. Kondisi seperti itu telah dibuktikannya, ketika pada tahun 1910 Kota Malang dilanda wabah pes. Saat itu wabah yang disebabkan oleh tikus ini menimbulkan banyak korban di kalangan rakyat kecil. Sementara Pemerintah Hindia Belanda sendiri, kewalahan menanggulanginya. Pasalnya, tak ada satu pun dokter pemerintah maupun dokter Eropa yang bersedia terjun ke sana dengan alasan takut terjangkiti pes.

Peristiwa itu membuat darah Cipto mendidih, jiwanya seperti ditusuk- tusuk melihat penderitaan rakyat yang mati sia-sia karena ketidakpedulian penjajah. Dengan nekat dan "tebal muka", dia pun kembali mendaftarkan diri menjadi dokter pemerintah Hindia Belanda --kendati sebelumnya dia telah mengundurkan diri-- untuk ditempatkan di daerah wabah pes.

Tanpa gentar maupun takut terkena wabah, Cipto yang saat itu berusia 24 tahun, terjun ke pelosok-pelosok desa untuk melakukan pengobatan, tanpa masker ataupun penutup hidung. Totalitas penyerahan dirinya kepada rakyat saat itu begitu terasa, tulus, dan tanpa pamrih. Meskipun akhirnya dia dianugerahi penghargaan bintang Orde Van Orange Nassau dari Pemerintah Hindia Belanda atas semua yang telah dilakukannya, namun penghargaan ini pun dikembalikannya setelah dia tidak diperbolehkan membantu rakyatnya, ketika wabah pes terjadi lagi di Solo.

Bukan hanya itu penyerahan dirinya, panggilan jiwa, dan ungkapan cintanya kepada rakyat. Ketika Cipto membuka praktik dokter di Solo, dia kerapkali memberi pengobatan gratis kepada pasien-pasiennya yang tak mampu membayar. Bahkan, kepada pasien yang benar-benar miskin, dia malah memberikan uang untuk membeli obat. Sehingga anggaran keuangan rumah tangganya selalu mengalami defisit. Namun hal ini tidak dipersoalkannya, dia sangat bahagia bisa membantu masyarakat yang sedang kesusahan.

Pemberontak Feodalisme

Lelaki yang welas asih ini dilahirkan di Desa Pancangan, Jepara, 4 Maret 1886. Dia terlahir dari keluarga bangsawan Jawa yang patuh pada adat istiadat. Nenek moyangnya, seorang bupati dari Yogyakarta sedangkan ayahnya seorang mantri sekolah yang terpandang dan berpikiran maju.

Cipto kecil adalah bocah yang tampan, bandel, namun cerdas. Kecerdasannya terbukti saat dia menjadi siswa terbaik dan paling berbakat di Europeesche Lageere School (setingkat SD) di usia 12 tahun. Dia pun menjadi lulusan nomor satu saat menjalani tes ujian menjadi Klein Ambtenaar (Pegawai Pangreh Praja).

Perlawanan Cipto terhadap feodalisme, mulai terlihat saat dirinya menolak menjadi Pegawai Pangreh Praja yang disembah-sembah dan disuruh menyembah-nyembah --perilaku adat yang menjadi kebanggaan tiap keluarga Jawa saat itu. Padahal kelulusannya itu dirayakan oleh sanak familinya dengan syukuran dan permainan wayang semalam suntuk. Namun menjadi orang terpandang dan dihormati bukanlah keinginannya.

Kekerasan jiwanya ternyata meluluhkan hati keluarga besarnya. Ayahnya pun menyekolahkan Cipto ke Sekolah Dokter Jawa STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di Weltevreden, Batavia pada saat itu. Di tempat ini Cipto langsung menarik perhatian kawan dan dosennya karena memiliki karakter khusus dan aneh.

Dia begitu istimewa dengan ketajaman pikirannya, rajin, pembawaan yang serius, tidak mau dikekang, dan suka kebebasan. Dia juga lebih suka mendengarkan ceramah, berpidato, dan membaca buku dibanding menghadiri pesta-pesta. Di usia yang baru 19 tahun, Cipto lulus dari STOVIA tahun 1905.

Setelah lulus, Cipto wajib menjalani masa dinas pemerintah. Pengalaman pertama, dia ditugaskan di Stads Verband, Glodok. Namun tugas ini tak lama dijalaninya, karena bentrok dengan bosnya. Cipto pun dipindahkan ke Amuntai, kemudian pindah lagi ke Banjarmasin karena ada perbedaan pendapat dengan Asisten Residen, dan terakhir Cipto terdampar di Demak.

Kepindahannya ini bukan tanpa alasan. Cipto termasuk sosok kontraversial yang tidak disukai pejabat setempat. Jiwanya yang revolusioner dan anti feodalisme sangat bertentangan dengan kondisi saat itu. Apalagi dirinya rajin menuangkan ide-idenya yang sarat kritik di Harian De Locomotief tahun 1907. Kritikannya begitu keras dan tajam. Dikatakannya bahwa feodalisme dan kolonialisme adalah sumber penderitaan bagi rakyat. Feodalisme membuat ruang gerak dan aktivitas masyarakat sangat terbatas.

"Dalam masyarakat feodal berlaku ketentuan bahwa keturunanlah yang menentukan nasib seseorang, sehingga anak desa akan tetap menjadi anak desa, yang tertinggal dari anak bupati atau kaum ningrat lainnya," imbuhnya kala itu.

Ada pula ulah menarik yang dilakukan Dr Cipto sebagai protes atas penghinaan dan penindasan tuan-tuan Belanda terhadap bangsanya. Suatu ketika Cipto datang ke stasiun menjelang datangnya kereta api cepat khusus untuk orang kulit putih. Setelah KA masuk stasiun, Cipto segera membeli karcis dan menyerahkan karcisnya kepada pengemis yang berpakaian compang-camping. Disuruhnya si pengemis naik kereta api tersebut. Karuan saja, sinyo dan noni-noni itu kaget, berteriak ke sana ke mari karena tak mau berbauran dengan pengemis pribumi.

Itulah salah satu aplikasi protesnya terhadap penjajah. Namun masih ada ulah yang lebih kontroversial lagi. Tanpa ragu, Cipto melepaskan ikatan dinasnya demi kemerdekaan dirinya dalam membela rakyat yang tertindas. Konsekuensinya, dia harus mengganti ongkos beasiswa yang jumlahnya cukup banyak.

Membentuk Indische Partij

Keluarnya Cipto dari ikatan dinas, membawanya keliling kota di Jawa, seperti Solo, Malang, dan Bandung. Banyak peristiwa dan hal berarti telah dilakukannya untuk masyarakat yang membutuhkan pertolongan. Di Solo, Cipto menikah untuk kedua kalinya (setelah perkawinan pertamanya gagal) dengan wanita Belanda yang penuh pengertian, Nyonya De Vogel.

Di Malang, dia bukan hanya membantu menanggulangi wabah pes tapi juga mengangkat seorang bayi perempuan yatim piatu yang diberi nama Pesjati. Dan yang fenomenal pada tahun 1912 di Bandung, dirinya bersama Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudhi), dan Suwardi Surjaningrat (Ki Hajar Dewantara) mendirikan organisasi politik pertama di Indonesia, yakni Indische Partij (IP).

Indische Partij menurut para pendirinya yang dikenal dengan sebutan "Tiga Serangkai" adalah sebuah batu loncatan untuk perubahan sistem kenegaraan pemerintahan Hindia Belanda. Aksi politik IP bersifat radikal, melawan eksploitasi kolonial, dan kekuasaan konservatif, memberantas diskriminasi ras serta melakukan oposisi revolusioner terhadap kekuasaan Belanda. Namun, keberadaan IP dilarang, karena dianggap membahayakan ketentraman umum.

Pun demikian, bukan berarti perlawanan Cipto pada penjajah berhenti. Melalui Harian yang dipimpinannya, De Expres, Cipto masih bersuara keras menentang pemerintahan Hindia Belanda dengan kritikan yang sangat pedas. Akibatnya, Cipto Mangunkusumo dibuang ke Pulau Banda dari Keresidenan Amboina. Namun kesepian di Pulau Banda mendorongnya memilih dibuang ke Belanda, bersama Suwardi Surjaningrat dan Douwes Dekker.

Tragisnya, udara dingin di Belanda, menyebabkan penyakit asma yang sejak lama diderita Cipto, semakin parah. Akhirnya Cipto diijinkan kembali pulang ke Solo. Dan luar biasanya, meski dalam keadaan sakit, dia tetap keluar masuk kampung dengan berjalan kaki ataupun naik sepeda untuk membantu rakyat yang sakit dan membutuhkan pertolongan.

Gelora perlawanan Cipto pun tak surut. Suaranya tetap keras membeberkan keburukan pemerintahan Hindia Belanda. Sifat revolusioner itu pula yang muncul saat dirinya menuntut pemerintah membentuk Dewan Rakyat (Volksraad). Maksudnya, agar ada lembaga yang betul-betul menghayati kehidupan rakyat dan menangis bersama dalam kesusahan.

Meskipun akhirnya pemerintah Hindia Belanda saat itu membentuk Dewan Rakyat seperti tuntutan Cipto, namun lelaki yang keras hati itu terus mengkritik, sampai ke soal proses pemilihan. Tak pelak, jadilah Cipto kembali dibuang, tahun 1920. Kali itu, dia menjadi tahanan kota di Bandung. Untunglah, di Kota Kembang itu Cipto bertemu Ir Soekarno dan ikut membidani lahirnya Partai Nasional Indonesia (PNI).

Akhir tahun 1926, Cipto dipindahkan lagi ke Pulau Banda, Makasar, atas tuduhan ikut terlibat secara tidak langsung dengan gerakan komunis. Tahun 1940, Pemerintah memutuskan untuk memulangkan Cipto ke Sukabumi karena kondisi kesehatannya yang memprihatinkan dan penyakit asmanya yang kian parah.

Segala upaya dilakukan agar Cipto kembali sehat. Dengan ditangani dokter ahli dan memindahkannya ke beberapa tempat yang nyaman. Namun tetap saja kondisinya tak berubah, sehingga dia pun dipindahkan lagi ke Jalan Gereja No.180, karena penyakitnya yang bertambah parah. Hampir setiap hari dia mengigau dan berteriak-teriak karena rasa sakit yang tak tertahankan. Kondisi Cipto sangat memprihatinkan, kurus dan sudah tak mampu lagi mengenali orang-orang yang menjenguknya.

RSUPN Cipto Mangunkusumo, dengan patung Dr Cipto Sampai pada suatu tengah malam, 8 Maret 1943, empat hari setelah ulang tahunnya, Dr Cipto Mangunkusumo meninggal dunia di Jang Seng, yang sekarang menjadi RS Husada, Jakarta.

Usai sudah perjuangan Dr Cipto Mangunkusumo. Namun semangat pengabdian dan cinta kasihnya pada masyarakat miskin yang sakit dan butuh pertolongan, hingga kini tak pernah lekang. Wajarlah, jika dirinya diabadikan sebagai simbol kesehatan rakyat miskin, melalui Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo. Rumah sakit yang menjadi satu-satunya pusat rujukan nasional, yang identik dengan "rumah sakitnya orang miskin".

• Cjipto Mangunkusumo anti feodalisme 2


Dokter Cjipto Mangunkusumo


Sang Pembangkang”, itulah julukan bagi Dokter Cipto Mangunkusumo, Dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia ia sering membangkang”, baik terhadap feodalisme di kalangan bangsanya maupun terhadap Pemerintah Hindia Belanda yang dituduhnya sebagai penyebab segala penderitaan rakyat Indonesia. Cipto membangkang terhadap semua ketidakadilan, tetapi dia bersahabat dengan kebenaran dan keadilan.
Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan Jepara. Ia adalah putera tertua dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa. Karir Mangunkusumo diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar di Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang. Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.
Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang tinggi kedudukan sosialnya, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Cipto beserta adik-adiknya yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif bersekolah di Stovia, sementara Darmawan, adiknya bahkan berhasil memperoleh beasiswa dari pemeintah Belanda untuk mempelajari ilmu kimia industri di Universitas Delf, Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta.
Ketika menempuh pendidikan di Stovia, Cipto mulai memperlihatkan sikap yang berbeda dari teman-temannya. Teman-teman dan guru-gurunya menilai Cipto sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam dan rajin. “Een begaald leerling”, atau murid yang berbakat adalah julukan yang diberikan oleh gurunya kepada Cipto. Di Stovia Cipto juga mengalami perpecahan antara dirinya dan lingkungan sekolahnya. Berbeda dengan teman-temannya yang suka pesta dan bermain bola sodok, Cipto lebih suka menghadiri ceramah-ceramah, baca buku dan bermain catur. Penampilannya pada acara khusus, tergolong eksentrik, ia senantiasa memakai surjan dengan bahan lurik dan merokok kemenyan. Ketidakpuasan terhadap lingkungan sekelilingnya, senantiasan menjadi topik pidatonya. Baginya, Stovia adalah tempat untuk menemukan dirinya, dalam hal kebebasan berpikir, lepas dari tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalan dengan lingkungan baru yang diskriminatif.
Beberapa Peraturan-peraturan di Stovia menimbulkan ketidak puasan pada dirnya, seperti semua mahasiswa Jawa dan Sumatra yang bukan Kristen diharuskan memakai pakaian tadisional bila sedang berada di sekolah. Bagi Cipto, peraturan berpakaian di Stovia merupakan perwujudan politik kolonial yang arogan dan melestarikan feodalisme. Pakaian Barat hanya boleh dipakai dalam hirarki administrasi kolonial, yaitu oleh pribumi yang berpangkat bupati. Masyarakat pribumi dari wedana ke bawah dan yang tidak bekerja pada pemerintahan, dilarang memakai pakaian Barat. Implikasi dari kebiasaan ini, rakyat cenderung untuk tidak menghargai dan menghormati masyarakat pribumi yang memakai pakaian tradisional.
Keadaan ini senantiasa digambarkannya melalui De Locomotief, pers kolonial yang sangat progresif pada waktu itu, di samping Bataviaasch Nieuwsblad. Sejak tahun 1907 Cipto sudah menulis di harian De Locomotief. Tulisannya berisi kritikan, dan menentang kondisi keadaan masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Cipto sering mengkritik hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat. Dalam sistem feodal terjadi kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Rakyat umumnya terbatas ruang gerak dan aktivitasnya, sebab banyak kesempatan yang tertutup bagi mereka. Keturunanlah yang menentukan nasib seseorang, bukan keahlian atau kesanggupan. Seorang anak “biasa” akan tetap tinggal terbelakang dari anak bupati atau kaum ningrat lainnya.
Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi ras. Sebagai contoh, orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang misalnya, peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna. Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga dalam perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa, tidak ada orang Indonesia yang berani masuk kamar bola dan sociteit. Semua diukur berdasarkan warna kulit.
Tulisan-tulisannya di harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah. Untuk mempertahankan kebebasan dalam berpendapat Cipto kemudian keluar dari dinas pemerintah dengan konsekuensi mengembalikan sejumlah uang ikatan dinasnya yang tidak sedikit.
Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga sering melancarkan protes dengan bertingkah melawan arus. Misalnya larangan memasuki sociteit bagi bangsa Indonesia tidak diindahkannya. Dengan pakaian khas yakni kain batik dan jas lurik, ia masuk ke sebuah sociteit yang penuh dengan orang-orang Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki dijulurkan, hal itu mengundang kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga) mencoba mengusir Cipto untuk keluar dari gedung, dengan lantangnya Cipto memaki-maki sang opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan mempergunakan bahasa Belanda. Kewibawaan Cipto dan penggunaan bahasa Belandanya yang fasih membuat orang-orang Eropa terperangah.
Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jatidiri politik Cipto semakin nampak. Walaupun kongres diadakan untuk memajukan perkembangan yang serasi bagi orang Jawa, namun pada kenyataannya terjadi keretakan antara kaum konservatif dan kaum progesif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan ini sangat ironis mengawali suatu perpecahan ideology yang terbuka bagi orang Jawa.
Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman. Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Organisasi ini harus menjadi pimpinan bagi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya. Sedangkan Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan yang bersifat Jawa.
Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tetapi yang ia tolak adalah kebudayaan keraton yang feodalis. Cipto mengemukakan bahwa sebelum persoalan kebudayaan dapat dipecahan, terlebih dahulu diselesaikan masalah politik. Pernyataan-pernyataan Cipto bagi jamannya dianggap radikal. Gagasan-gagasan Cipto menunjukkan rasionalitasnya yang tinggi, serta analisis yang tajam dengan jangkauan masa depan, belum mendapat tanggapan luas. Untuk membuka jalan bagi timbulnya persatuan di antara seluruh rakyat di Hindia Belanda yang mempunyai nasib sama di bawah kekuasaan asing, ia tidak dapat dicapai dengan menganjurkan kebangkitan kehidupan Jawa. Sumber keterbelakangan rakyat adalah penjajahan dan feodalisme.
Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya mengundurkan diri dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak ada lagi perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan progesifnya.
Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktek dokter di Solo. Meskipun demikian, Cipto tidak meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela kesibukkannya melayani pasiennya, Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi setelah dia bertemu dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische Partij. Cipto melihat Douwes Dekker sebagai kawan seperjuangan. Kerjasama dengan Douwes Dekker telah memberinya kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya, yakni gerakan politik bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Bagi Cipto Indische Partij merupakan upaya mulia mewakili kepentngan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidak memandang suku, golongan, dan agama.
Pada tahun 1912 Cipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar dekat dengan Douwes Dekker. Ia kemudian menjadi anggota redaksi penerbitan harian de Expres dan majalah het Tijdschrijft. Perkenalan antara Cipto dan Douwes Dekker yang sehaluan itu sebenarnya telah dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad. Douwes Dekker sering berhubungan dengan murid-murid Stovia.
Pada Nopember 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Perancis. Peringatan tersebut dirayakan secara besar-besaran, juga di Hindia Belanda. Perayaan tersebut menurut Cipto sebagai suatu penghinaan terhadap rakyat bumi putera yang sedang dijajah. Cipto dan Suwardi Suryaningrat kemudian mendirikan suatu komite perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putra. Dalam komite tersebut Cipto dipercaya untuk menjadi ketuanya. Komite tersebut merencanakan akan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada Ratu Wihelmina, yang isinya meminta agar pasal pembatasan kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut. Komite Bumi Putra juga membuat selebaran yang bertujuan menyadarkan rakyat bahwa upacara perayaan kemerdekaan Belanda dengan mengerahkan uang dan tenaga rakyat merupakan suatu penghinaan bagi bumi putera.
Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Nederlands Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian De Express Cipto menulis artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera.
Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda.
Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa pengaruh yang cukup berarti terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging, pada mulanya adalah perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling memberi informasi tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto, Suwardi dan Douwes Dekker berdampak pada konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep “Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Pengaruh mereka semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal Indische Vereeniging yaitu Hindia Poetra pada 1916.
Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij. Sejak itu, Cipto menjadi anggota pengurus pusat Insulinde untuk beberapa waktu dan melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak, kemudian surat kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan. Akibat propaganda Cipto, jumlah anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula berjumlah 1.009 meningkat menjadi 6.000 orang pada tahun 1917. Jumlah anggota Insulinde mencapai puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang. Insulinde di bawah pengaruh kuat Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).
Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Pengangkatan anggota Volksraad dilakukan dengan dua cara. Pertama, calon-calon yang dipilih melalui dewan perwakilan kota, kabupaten dan propinsi. Sedangkan cara yang kedua melalui pengangkatan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur jenderal Van Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan maksud agar Volksraad dapat menampung berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Salah seorang tokoh radikal yang diangkat oleh Limburg Stirum adalah Cipto.
Bagi Cipto pembentukan Volksraad merupakan suatu kemajuan yang berarti, Cipto memanfaatkan Volksraad sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran dan kritik kepada pemerintah mengenai masalah sosial dan politik. Meskipun Volksraad dianggap Cipto sebagai suatu kemajuan dalam sistem politik, namun Cipto tetap menyatakan kritiknya terhadap Volksraad yang dianggapnya sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan penjajah dengan kedok demokrasi.
Pada 25 Nopember 1919 Cipto berpidato di Volksraad, yang isinya mengemukakan persoalan tentang persekongkolan Sunan dan residen dalam menipu rakyat. Cipto menyatakan bahwa pinjaman 12 gulden dari sunan ternyata harus dibayar rakyat dengan bekerja sedemikian lama di perkebunan yang apabila dikonversi dalam uang ternyata menjadi 28 gulden.
Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto sebagai orang yang sangat berbahaya, sehingga Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) pada 15 Oktober 1920 memberi masukan kepada Gubernur Jenderal untuk mengusir Cipto ke daerah yang tidak berbahasa Jawa. Akan tetapi, pada kenyataannya pembuangan Cipto ke daerah Jawa, Madura, Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur masih tetap membahayakan pemerintah. Oleh sebab itu, Dewan Hindia berdasarkan surat kepada Gubernur Jenderal mengusulkan pengusiran Cipto ke Kepulauan Timor. Pada tahun itu juga Cipto dibuang dari daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di pulau Jawa, yaitu ke Bandung dan dilarang keluar kota Bandung. Selama tinggal di Bandung, Cipto kembali membuka praktek dokter. Selama tiga tahun Cipto mengabdikan ilmu kedokterannya di Bandung, dengan sepedanya ia masuk keluar kampung untuk mengobati pasien.
Di Bandung, Cipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak menjadi anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui sebagai penyumbang pemikiran bagi generasi muda. Misalnya Sukarno dalam suatu wawancara pers pada 1959, ketika ditanya siapa di antara tokoh-tokoh pemimpin Indonesia yang paling banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran politiknya, tanpa ragu-ragu Sukarno menyebut Cipto Mangunkusumo.
Pada akhir tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indo-nesia terjadi pemberontakan komunis. Pemberontakan itu menemui ke-gagalan dan ribuan orang ditangkap atau dibuang karena terlibat di dalamnya. Dalam hal ini Cipto juga ditangkap dan didakwa turut serta dalam perlawanan terhadap pemerintah. Hal itu disebabkan suatu peristiwa, ketika pada bulan Juli 1927 Cipto kedatangan tamu seorang militer pribumi yang berpangkat kopral dan seorang kawannya. Kepada Cipto tamu tersebut mengatakan rencananya untuk melakukan sabotase dengan meledakkan persediaan-persediaan mesiu, tetapi dia bermaksud mengunjungi keluarganya di Jatinegara, Jakarta, terlebih dahulu. Untuk itu dia memerlukan uang untuk biaya perjalanan. Cipto menasehatkan agar orang itu tidak melakukan tindakan sabotase, dengan alasan kemanusiaan Cipto kemudian memberikan uangnya sebesar 10 gulden kepada tamunya.
Setelah pemberontakan komunis gagal dan dibongkarnya kasus peledakan gudang mesiu di Bandung, Cipto dipanggil pemerintah untuk menghadap pengadilan karena dianggap telah memberikan andil dalam membantu anggota komunis dengan memberi uang 10 gulden dan diketemukannya nama-nama kepala pemberontakan dalam daftar tamu Cipto. Sebagai hukumannya Cipto kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928.
Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto kemudian mengusulkan kepada pemerintah agar Cipto dibebaskan. Ketika Cipto diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya. Cipto kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun 1940 Cipto dipindahkan ke Sukabumi. Kekerasan hati Cipto untuk berpolitik dibawa sampai meninggal pada 8 Maret 1943.