PANCASILA

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Translate

• Visum et Repertum Lubang Buaya


Ketujuh korban itu adalah Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani, Deputi II Menpangad Mayor Jenderal R. Soeprapto, Deputi III Menpangad Mayor Jenderal MT. Harjono, Deputi IV Menpangad Brigardir Jenderal DI. Panjaitan, Oditur Jenderal/Inspektur Kehakiman AD Brigardir Jenderal Soetojo Siswomihardjo dan Letnan Satu P. Tendean (Ajudan Menko Hankam/KASAB Jenderal AH Nasution).Mayat enam jenderal dan perwira muda Angkatan Darat ini ditemukan di sebuah sumur tua di desa Lubang Buaya,

Pondokgede, Jakarta Timur.

Dari lima anggota tim dokter yang mengautopsi ketujuh mayat itu dua di antaranya adalah dokter Angkatan Darat, yakni dr. Brigardir Jenderal Roebiono Kertopati dan dr. Kolonel Frans Pattiasina. Sementara tiga lainnya adalah dokter Kehakiman, masing-masing Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro, dr. Liauw Yan Siang, dan dr. Liem Joe Thay.Keterangan foto: dr. Liem Joey Thay alias Arief Budianto di RS St. Carolus bulan Juni lalu. Cerita tentang kunjungan saya baca disini. (Posting lain yang berkaitan disini).Lewat tengah malam, pukul 12.30 atau dinihari 5 Oktober, dr. Roebiono dkk menyelesaikan tugas mereka. Beberapa jam kemudian, saat matahari sudah cukup tinggi, ketujuh jenazah korban penculikan dan pembunuhan yang kemudian disebut sebagai Pahlawan Revolusi ini dimakamkan di TMP Kalibata.

Hasil Visum et Repertum
Ketika diperiksa ketujuh mayat telah dalam keadaan membusuk dan diperkirakan tewas empat hari sebelumnya. Dapat dipastikan ketujuh perwira tinggi dan pertama Angkatan Darat ini tewas
mengenaskan dengan tubuh dihujani peluru dan tusukan.













Jenazah Letjen Ahmad Yani diidentifikasi oleh Ajudan Menpangad Mayor CPM Soedarto dan dokter pribadinya, Kolonel CDM Abdullah Hassan, dengan penanda utama parut pada punggung tangan kiri dan pakaian yang dikenakannya serta kelebihan gigi berbentuk kerucut pada garis pertengahan rahang atas diantara gigi-gigi seri pertama.Tim dokter menemukan delapan luka tembakan dari arah depan dan dua tembakan dari arah belakang. Sementara di bagian perut terdapat dua buah luka tembak yang tembus dan sebuah luka tembak yang tembus di bagian punggung.

Jenazah Mayjen R. Soeprapto diidentifikasi oleh dokter gigi RSPAD Kho Oe Thian dari susunan gigi geligi sang jenderal.














Pada jenazah R. Soeprapto ditemukan (a) tiga luka tembak masuk di bagian depan, (b) delapan luka tembak masuk di bagian belakang, (c) tiga luka tembak keluar di bagian depan, (d) dua luka tembak keluar di bagian belakang, (e) tiga luka tusuk, (f) luka-luka dan patah tulang karena kekerasaan tumpul di bagian kepala dan muka, (g) satu luka karena kekesaran tumpul di betis kanan, dan (h) luka-luka dan patah tulang karena kekerasan tumpul yang berat sekali di daerah panggul dan bagian atas paha kanan.



Jenazah Mayjen MT. Harjono ditemukan sebuah luka tusuk benda tajam yang menembus sampai ke rongga perut. Luka tusuk benda tajam juga ditemukan di punggung, namun tidak menembus rongga dada. Dan di tangan kiri dan pergelangan tangan kanan terdapat luka karena kekerasan tumpul yang berat.












Jenazah Mayjen MT. Harjono diidentifikasi oleh saudara kandungnya, MT. Moeljono, pegawai Perusahaan Negara Gaya Motor. Salah satu tanda pengenal jenazah ini adalah cincin kawin bertuliskan “Mariatna”, nama sang istri.Cincin kawin, bertuliskan “SPM”, juga menjadi salah satu penanda jenazah Mayjen S. Parman, selain kartu tanda anggota AD dan surat izin mengemudi serta foto di dalam dompetnya. Jenazah S. Parman diidentifikasi oleh dr. Kolenel CDM Abdullah Hasan.















Jenazah S. Parman ditemukan (a) tiga luka tembak masuk di kepala bagian depan, (b) satu luka tembak masuk di paha bagian depan, (c) satu luka tembak masuk di pantat sebelah kiri, (d) dua luka tembak keluar di kepala, (e) satu luka tembak keluar di paha kanan bagian belakang, dan (f) luka-luka dan patah tulang karena kekerasan tumpul yang berat di kepala, rahang dan tungkai bawah kiri.








Jenazah Brigjen DI. Panjaitan diidentifikasi oleh adiknya, Copar Panjaitan dan Samuel Panjaitan, dan dikenali dari pakaian dinas yang dikenakannya serta cincin mas di tangan kiri yang bertuliskan “DI. Panjaitan”.Tim dokter menemukan luka tembak masuk di bagian depan kepala, juga sebuah luka tembak masuk di bagian belakang kepala. Sementara itu di bagian kiri kepala terdapat dua luka tembak keluar. Terakhir, di punggung tangan kiri terdapat luka iris.



Brigjen Soetojo Siswomihardjo yang diidentifikasi oleh adiknya, dokter hewan Soetopo. Jenazah Brigjen Soetojo dikenali dari kaki kanannya yang tidak ber-ibujari, pakaian yang dikenakannya, arloji merek Omega dan dua cincin emas masing-masing bertuliskan “SR” dan “SS”.Pada mayat Brigjen Soetojo ditemukan (a) dua luka tembak masuk di tungkai bawah kanan bagian depan, (b) sebuah luka tembak masuk di kepala sebelah kanan yang menuju ke depan, (c) sebuah luka tembak keluar di betis kanan sebagian tengah, (d) sebuah luka tembak keluar di kepala sebelah depan, dan (e) tangan kanan dan tengkorak retak karena kekerasan tumpul yang keras atau yang berat.


Lettu P. Tendean yang dikenali perwira kesehatan Dirkes AD CDM Amoro Gondoutomo yang menjadi dokter pribadi Menko Hankam/KASAB. Mayat P. Tendean dikenali dari pakaian yang dikenakannya, gigi geligi dan sebuah cincin logam dengan batu cincin berwarna biru.
Pada mayat P. Tendean tim dokter menemukan (a) empat luka tembak masuk di bagian belakang, (b) dua luka tembak keluar bagian depan, (c) luka-luka lecet di dahi dan tangan kiri, dan (d) tiga luka ternganga karena kekerasan tumpul di bagian kepala.

Format Visum et Repertum
Dokumen visum et repertum ketujuh korban yang saya peroleh dituliskan dalam format yang sama. Di pojok kanan atas halaman depan terdapat tulisan “Departmen Angkatan Darat, Direktortat Kesehatan, Rumah Sakit Pusat, Pro Justicia”.
Sementara di pojok kiri halaman depan tertulis “Salinan dari salinan.

”Bagian kepala laporan bertuliskan “Visum et Repertum” diikuti nomor laporan pada baris bawah yang dimulai dari H.103 (Letjen Ahmad Yani) hingga H.109 (Lettu P. Tendean).

Bagian awal laporan adalah mengenai dasar hukum tim dokter tersebut. Pada bagian ini tertulis rangkaian kalimat sebagai berikut:“Atas perintah Panglima Kostrad selau Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban kepada Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta, dengan surat perintah tanggal empat Oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima, nomor PRIN-03/10/1965 yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal TNI Soeharto, yang oleh Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat diteruskan kepada kami yang bertandatangan di bawah ini.

” Diikuti nama dan jabatan kelima dokter anggota tim. Setelah itu adalah bagian yang menjelaskan kapan dan dimana visum et repertum dilakukan. Pada bagian ini tertulis kalimat:“maka kami, pada tanggal empat Oktober tahun seribu sembilan ratus enam pulu limam mulai jam setengah lima sore sampai tanggal lima Oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima jam setengah satu pagi, di Kamar Seksi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta, telah melakukan pemeriksaan luar atas jenazah yang menurut surat perintah tersebut di atas adalah jenazah dari pada.”

Bagian ini diikuti oleh bagian berikutnya yang menjelaskan jati diri jenazah dimulai dari nama, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, bangsa, agama, pangkat, dan terakhir jabatan.Selanjutnya ada sebuah paragraph yang menjelaskan kondisi terakhir jenazah sebelum ditemukan dan diperiksa. Pada bagian ini tertulis:“Korban tembakan dan/atau penganiayaan pada tanggal satu Oktober tahun seribu sembilan ratus enam pulu lima pada peristiwa apa yang dinamakan Gerakan 30 September. ”

Bagian ini dikuti oleh penjelasan identifikasi; siapa yang mengidentifikasi dan apa-apa saja tanda utama yang dijadikan patokan dalam identifikasi itu.Setelah bagian indentifikasi, barulah tim dokter memaparkan temuan mereka dari “ hasil pemeriksaan luar ” yang dilakukan terhadap jenazah sebelum mengkahirinya dengan “kesimpulan”.Bagian penutup diawali dengan tulisan “ Dibuat dengan sesungguhnya mengingat sumpah jabatan ” pada bagian kanan. Diikuti nama dan tanda tangan serta cap kelima dokter anggota tim.Bagian paling akhir dari dokumen-dokumen yang saya peroleh ini mengenai autentifikasi dokumen.

Karena dokumen ini merupakan “ salinan dari salinan ” maka ada dua penanda autentifikasi dokumen ini.

Bagian pertama bertuliskan “Disalin sesuai aslinya” dan ditandatangani oleh “Yang menyalin” yakni Kapten CKU Hamzil Rusli Bc. Hk. (Nrp. 303840) selaku panitera. Bagian kedua autentifikasi bertuliskan “Disalin sesuai dengan salinan” dan ditandatangani oleh “Panitera dalam Perkara Ex LKU” Letnan Udara Satu Soedarjo Bc. Hk. (Nrp. 473726).

• Konspirasi penggulingan Soekarno ?


Conspiracy

TANGGAL 7 Desember 1957, pukul 19.39, Laksamana Felix Stump, panglima tertinggi Angkatan Laut (AL) AS di Pasifik, menerima perintah melalui radiogram dari Kepala Operasi Angkatan Laut (AL) Laksamana Arleigh Burke. Isinya, dalam empat jam ke depan gugus satuan tugas di Teluk Subic, Filipina, bergerak menuju selatan ke perairan Indonesia. “Keadaan di Indonesia akan menjadi lebih kritis,” demikian salah satu kalimat dalam radiogram tersebut.
Kesibukan luar biasa segera terlihat di pangkalan AL AS. Malam itu juga satuan tugas dengan kekuatan satu divisi kapal perusak, dipimpin kapal penjelajah Pricenton, bergerak mengangkut elemen tempur dari Divisi Marinir III dan sedikitnya 20 helikopter. “Berangkatkan pasukan, kapal penjelajah dan kapal perusak dengan kecepatan 20 knots, yang lainnya dengan kecepatan penuh. Jangan berlabuh di pelabuhan mana pun,” bunyi perintah Laksamana Burke.

Inilah keadaan paling genting, yang tidak sepenuhnya diketahui rakyat Indonesia. Perpecahan dalam tubuh Angkatan Darat, antara mereka yang pro dan kontra Jenderal Nasution, serta yang tidak menyukai Presiden Soekarno, mencapai titik didih. Pada saat yang sama, beragam partai politik ikut terbelah memperebutkan kekuasaan.
Kabinet jatuh bangun. Usianya rata-rata hanya 11 bulan. Paling lama bertahan hanyalah Kabinet Juanda (23 bulan), yang merupakan koalisi PNI-NU. Situasi memanas menjalar ke daerah, benteng terakhir para elite politik di pusat. Daerah terus bergolak. Pembangkangan terhadap Jakarta dimulai sejak militer menyelundupkan karet, kopra, dan hasil bumi lainnya.
Militer Indonesia yang lahir dan berkembang dari milisi berdasarkan orientasi ideologi pimpinannya, bukanlah jenis pretorian. Mereka tetap kepanjangan dari parpol, entah itu PNI, PSI, Masyumi, PKI, dan seterusnya. Terlalu kekanak-kanakan jika dikatakan tindakan sekelompok perwira mengepung Istana Bogor dan mengarahkan meriam pada 17 Oktober 1952 sebagai ekspresi ketidakpuasan semata, dan bukan percobaan “kudeta” terselubung. Demikian pula ketika Kolonel Zulkifli Lubis mencoba menguasai Jakarta, sebelum kemudian merencanakan pembunuhan atas Presiden Soekarno dalam Peristiwa Cikini, dengan eksekutor keponakan pimpinan salah satu parpol.
Bagi Gedung Putih, inilah saat tepat melaksanakan rencana tahap III, yaitu intervensi militer terbuka ke wilayah RI. Presiden Soekarno harus tamat segera. CIA di bawah Allen Dulles telah mematangkan situasi. Melalui jaringannya di Singapura, Jakarta, dan London, sebagaimana dikemukakan Audrey R Kahin dan George McT Kahin dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Subversi Sebagai Politik Luar Negeri, agen-agen CIA berulang kali melakukan kontak khusus dengan Sumitro Djojohadikusumo, pencari dana untuk pemberontakan tersebut. Demikian pula dengan para perwira pembangkang seperti Kolonel Simbolon, Kolonel Fence Sumual, dan sejumlah perwira dan tokoh parpol lainnya.
Namun, ketika perintah menggerakkan elemen Armada VII dikeluarkan, keputusan itu tampak tergesa-gesa yaitu kurang dua jam setelah pembicaraan melalui telepon antara Presiden Eisenhower dengan Menlu John Foster Dulles. Itu sebabnya ketika gugus tugas AL di Teluk Subic bergerak, barulah kedua tokoh ini sadar atas alasan apa intervensi nantinya dilakukan.
Pemerintah Inggris, sekutu terdekat AS, sempat terperanjat dan menolaknya, sehingga kapal-kapal perang tersebut kembali ke pangkalannya. Namun, setelah lobi-lobi intensif, tanggal 23 Desember 1957 PM Harold Macmillan menyetujuinya dan membentuk kerja sama operasi untuk Indonesia.
***
PERTENGAHAN tahun 1958 Gedung Putih akhirnya harus mengakui kegagalannya “menegakkan demokrasi” dan “membendung komunisme” di Indonesia. KSAD Jenderal AH Nasution yang disebut AS sebagai antikomunis, bergerak di luar perkiraan. Ia menerjunkan pasukan para merebut Bandara Pekanbaru. Dari pantai timur, didaratkan Marinir untuk menggunting pertahanan pemberontak. Alhasil, Dumai yang merupakan ladang minyak Caltex, berhasil diamankan.
Pasukan Kolonel Akhmad Husein kocar-kacir, meninggalkan segala peralatan perang, termasuk senjata antiserangan udara yang belum sempat digunakan. Mereka tidak mengira serangan dadakan itu. Pesan rahasia dari Armada VII AS agar meledakkan Caltex tidak sempat lagi dipikirkan. Padahal inilah nantinya akan dijadikan kunci intervensi AS ke Indonesia. Dua batalyon Marinir AS sudah siaga penuh. Dalam tempo 12 jam, Marinir ini akan tiba di Dumai.
Sejak itu sesungguhnya tamatlah riwayat PRRI yang dimotori para kolonel pembangkang serta tokoh PSI dan Masyumi. Pentagon tercengang.

Pasukan PRRI makin terdesak, walaupun Sumitro Djojohadikusumo sebagai wakil PRRI di pengasingan tetap optimis. Kota demi kota berhasil direbut TNI hingga akhirnya para pemberontak hanya mampu melakukan perang gerilya terbatas. Bersamaan dengan itu dukungan rakyat kepada pasukan Kolonel Simbolon, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Akhmad Husein, Kolonel Dahlan Djambek, dan sejumlah perwira menengah lainnya, makin menciut. Bahkan terjangkit perpecahan intern.
CIA gagal membaca situasi. Atas rekomendasi CIA pula sedikitnya AS telah mengedrop persenjataan bagi 8.000 prajurit pemberontak. Ini belum mencakup meriam, mortir, senapan mesin berat, dan senjata antitank. AS juga melatih sejumlah prajurit Dewan Banteng dan Dewan Gajah, yang diangkut dengan kapal selam menuju pangkalan militernya di Okinawa, Jepang. Keunggulan dalam sistem persenjataan dan pendidikan militer, ternyata bukan jaminan superioritas dalam setiap pertempuran.
Penguasa Gedung Putih mulai patah semangat. Tanda kekalahan kelompok yang dibantu, yang disebutnya “patriot” sejati itu, makin jelas. Tetapi, CIA dengan intelijen AL AS, tetap memasok informasi keliru. Dalam laporannya, kekalahan pemberontak antikomunis akan mengguncang Malaya, Thailand, Kamboja, dan Laos. Ini sangat berbahaya. Atas pertimbangan itu, AS akhirnya tetap melanjutkan bantuan pada pemberontak, khususnya Permesta di Sulawesi Utara.
Belajar dari kekalahan PRRI di Sumatera, di Sulawesi Utara penerbang AS dan Taiwan memberi perlindungan payung udara bagi Permesta. Pesawat pembom malang-melintang memutus jalur transportasi laut. Ambon, Makassar, bahkan Balikpapan dihujani bom. Korban terus berjatuhan.
Namun, semua usaha ini juga menemukan kegagalan untuk menekan Jakarta. Ofensif dibalas dengan ofensif. Jenderal Nasution terus mengerahkan pasukan terbaiknya untuk merebut satu per satu pertahanan Permesta. Puncaknya ketika ALRI menembak jatuh pesawat pembom yang dikemudikan Allen Pope, warga negara AS, di Teluk Ambon pada 18 Mei 1958. Peristiwa ini tidak saja mengejutkan publik AS, tetapi juga masyarakat internasional. Apalagi Allen Pope mengaku bekerja untuk CIA. Kecaman terhadap agresi AS mulai mengalir.
Tanpa sedikit pun merasa bersalah, AS kemudian dengan gampang putar haluan. Dari membantu peralatan perang dan pelatihan pemberontak, serta menyebarkan informasi bohong mengenai ancaman komunis terhadap stabilitas Asia Tenggara jika pemberontak kalah, Gedung Putih kemudian memutuskan membantu ekonomi dan militer Indonesia.
Namun, kebijakan baru ini bukan berarti terputusnya hubungan dengan pemberontak yang disebutnya masih punya “masa depan” itu. Melalui jaringan CIA, sejumlah senjata ringan masih dipasok bagi DI/TII di Sulawesi dan Aceh, serta Permesta di Sulut. Presiden Eisenhower menyebutnya sebagai “bermain di dua pihak”.
***

KEBIJAKAN bermuka dua ini, tanpa peduli apa dan berapa banyak korban jiwa dan harta benda.
Lantas di balik selubung bahaya ancaman komunisme, AS selalu berhasil memperdayai elite militer dan politik Indonesia.
Gambaran lebih jelas mengenai Indonesia dikemukakan Presiden Eisenhower dalam konferensi gubernur negara bagian AS tahun 1953. Ia mengatakan, sumbangan AS sebesar 400 juta dollar AS membantu Perancis dalam perang Vietnam bukanlah sia-sia. Jika Vietnam jatuh ke tangan komunis, negara tetangganya akan menyusul pula. “Kita tidak boleh kehilangan Indonesia yang sangat kaya sumber daya alamnya,” ujarnya.
Bagi AS, di dunia ini hanya dikenal dua blok, yaitu komunis dan liberal. Di luar jalur itu dikategorikan sebagai condong ke komunis. Maka dengan kosmetik demikianlah bagi AS tidak ada ampun untuk seorang nasionalis seperti Soekarno. Tahap pertama operasi intelijen dengan membantu dana dua partai politik besar yang disebutnya antikomunis, agar bisa merebut suara dalam Pemilu 1955. Perolehan suara ini diharapkan akan mengurangi dukungan bagi Soekarno.
Perkiraan ini meleset. PKI yang paling tidak disukai AS dan dianggap loyal terhadap Soekarno, justru memperoleh jumlah suara mengejutkan, hingga menempatkannya di urutan kelima. Padahal tujuh tahun sebelumnya, atau tahun 1948, PKI sudah dihancurkan dalam peristiwa Madiun.
Peristiwa Madiun yang diprakarsai Muso tidak lama setelah kembali dari pengembaraannya di dunia Marxisme-Leninisme di Uni Soviet, mustahil dapat dipadamkan tanpa sikap tegas Bung Karno.
CIA tidak memahami ini. Bung Karno tetap dianggap condong ke blok komunis. Itu sebabnya setelah gagal mendanai dua partai politik dalam pemilu, CIA kemudian mencoba cara lain yang lebih keras, yaitu “menetralisir” Bung Karno.
Peristiwa penggranatan tanggal 30 November 1957 atau lebih dikenal dengan sebutan Peristiwa Cikini, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari skenario CIA. Walaupun bukti dalam peristiwa yang menewaskan 11 orang dan 30 lainnya cedera masih simpang-siur, tetapi indikasi keterlibatan CIA sangat jelas.
Pengakuan Richard Bissell Jr, mantan Wakil Direktur CIA bidang Perencanaan pada masa Allan Dulles, kepada Senator Frank Church, Ketua Panitia Pemilihan Intelijen Senat tahun 1975, yang melakukan penyelidikan atas kasus tersebut, membuktikan itu. Ia menyebut sejumlah nama kepala negara, termasuk Presiden Soekarno, untuk “dipertimbangkan” dibunuh. Bagaimana kelanjutannya, ia tidak mengetahui. Bung Karno sendiri yakin CIA di belakang peristiwa ini. David Johnson, Direktur Centre for Defence Information di Washington, juga membuat laporan sebagai masukan bagi Komite Church.
Peristiwa Cikini yang dirancang Kolonel Zulkifli Lubis, yang dikenal sebagai pendiri intelijen Indonesia, bukanlah satu-satunya upaya percobaan pembunuhan atas Bung Karno. Maukar, penerbang pesawat tempur TNI AU, juga pernah menjatuhkan bom dan menghujani mitraliur dari udara ke Istana Presiden.
Presiden Eisenhower sendiri memutuskan dengan tergesa persiapan invasi ke Indonesia sepekan setelah percobaan pembunuhan yang gagal dalam Peristiwa Cikini. Ia makin kehilangan kesabaran. Apalagi peristiwa itu justru makin memperkuat dukungan rakyat pada Bung Karno.
Ketegangan Bung Karno dengan Gedung Putih mulai mengendur setelah Presiden JF Kennedy terpilih sebagai Presiden AS. Ia malah mengundang Bung Karno berkunjung ke Washington. Dalam pandangan Kennedy, seandainya pun Bung Karno membenci AS, tidak ada salahnya diajak duduk bersama. Kennedy yang mengutus adiknya bertemu Bung Karno di Jakarta, berhasil mencairkan hati proklamator ini hingga membebaskan penerbang Allan Pope.
Begitu Kennedy tewas terbunuh, suatu hal yang membuat duka Bung Karno, hubungan Jakarta-Washington kembali memanas. Penggantinya, Presiden Johnson yang disebut-sebut di bawah “todongan” CIA, terpaksa mengikuti kehendak badan intelijen yang “mengangkatnya” ke kursi kepresidenan. Pada masa ini pula seluruh kawasan Asia Tenggara seperti terbakar.
CIA yang terampil dalam perang propaganda, kembali menampilkan watak sesungguhnya. Fitnah dan berita bohong mengenai Bung Karno diproduksi dan disebar melalui jaringan media massa yang berada di bawah pengaruhnya. Tujuannya mendiskreditkan proklamator itu. Hanya di depan publik menyatakan gembira atas kebebasan Allan Pope, tetapi diam-diam diproduksi berita bahwa kebebasan itu terjadi setelah istri Allan Pope berhasil merayu Bung Karno. Sedang pengeboman istana oleh Maukar, diisukan secara sistematis sebagai tindak balas setelah Bung Karno mencoba menggoda istri penerbang itu.
CIA terus melakukan berbagai trik perang urat syaraf mendiskreditkan Bung Karno. Termasuk di antaranya Bung Karno berbuat tidak senonoh terhadap pramuria Soviet dalam penerbangan ke Moskwa. Jauh sebelum itu, Sheffield Edwards, Kepala Keamanan CIA pada masa Allan Dulles, pernah meminta bantuan Kepala Kepolisian Los Angeles untuk dibuatkan film cabul dengan peran pria berpostur seperti Bung Karno.
Dalam satu artikel di majalah Probe, Mei 1996, Lisa Pease yang mengumpulkan berbagai arsip dan dokumen, termasuk dokumen CIA yang sudah dideklasifikasikan, menyebut yang terlibat dalam pembuatan film itu Robert Maheu, sahabat milyarder Howard Hughes, serta bintang terkenal Bing Crosby dan saudaranya.
Lantas apa akhir semua ini?
BY : PENA SOEKARNO

• Biografi singkat Penggulingan Soekarno

Penggulingan Soekarno oleh Soeharto ( bagian 1 )

















Profesor Peter Dale Scott (PDS) melalui paper-nya mengungkapkan campur tangan Amerika Serikat dalam pengulingan Presiden Soekarno dengan cara kotor dan berdarah tahun 1965-1967. Seluruh catatan dalam periode yang sulit dimengerti akan tetap berada di luar jangkauan analisis yang terlengkap sekalipun. Fakta sesungguhnya yang terjadi tidak terdokumentasi; dan sementara dokumentasi yang beredar ditemukan banyak kontroversial dan tidak teruji faktanya. Pembantaian pengikut Soekarno yang beraliran kiri (sosialis) merupakan hasil dari konspirasi politik yang meninggalkan ketakutan (paranoid atau phobia) yang meluas, dan menjadikan ini suatu tragedi yang melampaui dari tujuan suatu kelompok atau koalisi.
Dalam hal ini, Dale Scott tidak hanya memberi kesan bahwa provokasi dan kekerasan pada tahun 1965 hanya berasal dari militer Indonesia yang beraliran kanan yang telah bekerja sama dengan Amerika Serikat, bersama (termasuk penting, tapi jarang disebut/diuraikan) intelijen Inggris, Jerman dan Jepang. Namun dari keseluruhan papernya, Dale Scott menemukan peristiwa ini sebagai konspirasi yang rumit dan terselubung. Kompleksitas dan ambiguistias sejarah pembantaian berdarah Indonesia 1965-1967 yang sesungguhnya masih lebih sederhana dan mudah dipercaya oleh masyarakat daripada sejarah versi dari Presiden Soeharto dan Permerintahan Amerika Serikat.
Klaim mereka (versi Soeharto dan Pemeritahan Amerika) yang masih bermasalah itu menjelaskan bahwa pada 30 September 1965, sebuah gerakan yang disebut sebagai Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) melakukan kudeta (pembunuhan 6 jenderal militer), merupakan gerakan penyerangan “kiri” terhadap “kanan”, lalu memberi legalitas restorasi kekuasaan yang diikuti oleh usaha pembantaian golongan kiri oleh golongan tengah. Dalam skenario ini, Soeharto menempatkan dirinya sebagai sosok golongan “tengah” (padahal Soeharto dan AH Nasution merupakan sosok kanan, sementara Jenderal Ahmad Yani merupakan sosok tengah) atau istilah yang digunakan politikus era saat ini adalah “politik jalan tengah”. Ini semata-mata hanya menjadi “kendaraan” simpatik sekaligus pengelabuan kepada rakyat yang mana sesungguhnya mereka sedang berkonspirasi dengan kekuataan asing yakni Amerika Serikat cs atau lebih tepatnya “golongan kanan yang tulen”.
**************
Dengan berusaha menelusuri data-data Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) khususnya bukti yang mendiskreditkan tesis anti-PKI, Dale Scott melalui penelusuran dokumen Coen Holtazappel “The 30 September Movement“, maka didapatkan suatu kesimpulan bahwa gerakan 30 September 1965 merupakan gerakan konspirasi yang berpura-pura melakukan kudeta, padahal yang melakukan sekaligus merancang konpirasi ini adalah golongan kanan “tulen” Angkatan Darat dengan maksud untuk menghabisi golongan tengah militer terlebih dahulu.
Golongan kanan tulen ini adalah Soeharto dan AH Nasution yang anti-komunis (terlibat dalam hal ini adalah Sarwo Edhi). Sedangkan golongan tengah militer adalah mereka yang loyal tapi kritis terhadap Soekarno dan Pancasila, yang tidak bersekutu dengan PKI ataupun Amerika. Mereka adalah 6 Jenderal yang dibunuh. Dengan kudeta “pura-pura”, setelah golongan tengah Angkatan Darat dihabisi, maka golongan kanan dengan mudah merintis pembersihan golongan kiri (termasuk rakyat sipil) dengan slogan dan provokasi. Habisnya golongan tengah dan sipil kiri merupakan rencana langkah-langkah yang harus diambil demi mengukuhkan serta membentuk pemerintahan militer diktator. [catatan: ini juga terjadi di negara Chile yang mana Jenderal Pinochet bertindak seperti Soeharto].
Dalam paper Dale Scott, ia berkesimpulan bahwa dalam konspirasi “Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno, 1965-1967″ ditemukan tiga tahapan besar yakni:
Gestapu- 30 September 1965 : merupakan “kudeta” yang dilakukan oleh sayap kiri “gadungan”
KAP-Gestapu : yakni gerakan anti Gestapu dengan membantai PKI beserta ratusan ribu orang simpatisan PKI sebagai the dead of socialism.
Pendegradasian Pengaruh dan Kekuasaan Soekarno : secara terus menerus hingga tidak bersisa, hingga rakyat tidak diperbolehkan belajar atau mengikuti ajaran Bung Karno.
Pemaparan Dale Scott hanya membahas dua dari tiga phasa besar ini yakni phasa KAP-Gestapu dan Pendegradasian pengaruh dan kekuasaan Soeharto. Sedangkan phasa pertama, menurut penulis istilah kudeta pada tahap pertama bersifat fiktif, karena tidak adanya bukti-bukti pengambilalihan kekuasaan pada tahap ini oleh PKI. Buktinya Presiden Soekarno tidak digulingkan pada 30 September – 1 Oktober 1965 oleh PKI. Justru, Presiden Soekarno digulingkan oleh Soeharto cs setelah Gestapu-30 September dalam rangkaian “3 tahapan konspirasi”.






Ratusan orang dieksekusi secara massal
Sebelum membahas keterlibatan Amerika Serikat yang oleh CIA sendiri menyebut peristiwa 1965 sebagai “salah satu pembunuhan massal terburuk sepanjang abad 20″, marilah kita flash back kembali masalah-masalah apa saja yang menghantar terjadinya pembunuhan massal terburuk ini.
Menurut Harold Crouch, menjelang tahun 1965, staf umum Angkatan Darat (AD) Indonesia pecah menjadi dua kubu. Jauh sebelumnya, para jenderal tersebut (baik tengah maupun kanan) adalah anti-PKI, namun menjelang 1965 para jenderal ini pecah menjadi dua kubu pasca memburuknya kondisi kesehatan Soekarno (yang mana Soekarno jatuh pingsan). Kedua kubu tersebut adalah:
Kubu Tengah AD IndonesiaKubu tengah adalah kelompok yang tetap loyal pada Soekarno, namun disisi lain mereka menentang kebijakan Soekarno tentang Persatuan Nasional (Nasakom) dimana PKI masuk dalam kekuatan nasional tersebut.Kubu tengah dipimpin oleh Jenderal Ahmad Yani dan diikuti kawan-kawannya.
Kubu Kanan AD IndonesiaKubu kanan merupakan mereka yang menentang kebijakan Soekarno maupun Ahmad Yani yang tetap loyal pada Bung Karno. Kubu ini dipimpin oleh AH Nasution dan Soeharto yang anggotanya diantaranya adalah Basuki Rachmat dan Sudirman dari Seskoad.
Kisah penggulingan Soekarno yang sederhana (dan belum terungkap secara menyeluruh) adalah ketika musim “gugur” (September) 1965, Ahmad Yani beserta kelompok intinya dibunuh, hal yang kemudian menjadi jalan “legal” bagi upaya merebut kekuasaan oleh kekuatan-kekuatan anti-Yani (dan yang pasti juga adalah anti Soekarno yang melindungi PKI) dari kubu sayap kanan yang berafiliasi dengan Soeharto. Kunci perebutan kekuasaan ini adalah apa yang dinamakan “coup” (kudeta) 30 September, yang berdalih bahwa menyelamatkan Soekarno, namun sesungguhnya target utama “kudeta” tersebut adalah membunuh para jenderal besar AD yang paling loyal terhadap Soekarno yakni kelompok Ahmad Yani.
Hal ini dapat ditelusuri dari pertemuan AD yang berlangsung pada bulan Januari 1965 yang dihadiri oleh petinggi AD termasuk didalamnya adalah A Yani dan tidak terkecuali Soeharto. Pada pertemuan tersebut, ada sekelompok petinggi AD yang kecewa (tidak senang) dengan Ahmad Yani dan pendukungnya. Dan pertemuan Januari 1965 menjadi petaka para jenderal yang loyal terhadap Soekarno.
Sebagai informasi, pada pertemuan Januari 1965, terdapat wacana untuk merebut kekuasaan ketika kondisi Presiden Soekarno memburuk untuk mencegah jatuhnya kekuasaan pada kelompok PKI. Namun rencana kudeta ini ditolak oleh Ahmad Yani. Pendapat A Yani didukung oleh empat orang petinggi AD lain yang masuk dalam kubu Yani. A Yani bersama 4 jenderal lain yang mendukung pendapat Yani pada pertemuan Januari 1965 dibunuh pada 1 Oktober 1965. Sebaliknya, mereka yang termasuk dalam kelompok Anti-Yani, justru bebas dari “kudeta” 30 September 1965. Dari kelompok yang anti Yani pada pertemuan Januari 1965, setidaknya 3 orang diantaranya yakni Soeharto, Basuki Rachmat dan Sudirman dari Seskoad menjadi tokoh utama yang menumpas “golongan kiri” dan golongan A Yani yang loyal pada Soekarno.
Tidak seorang Jenderal yang anti Soekarno pun yang menjadi target “kudeta 30S“, dengan satu pengecualian yakni Jenderal AH Nasution. Namun perlu dicatat bahwa AH Nasution “dapat” bebas dari pembunuhan disisi lain anaknya Ade Irma Suryani dan ajudannya Lettu Pierre Tendean yang dibunuh. AH Nasution berhasil melarikan diri tanpa mengalami luka berat, dan kemudian mendukung gerakan pembasmian PKI dan ideologi Soekarno pasca 30S.
Menjelang tahun 1961, CIA dikecewakan oleh AH Nasution yang semula dianggap sebagai “aset/orang” yang handal, namun kemudian dalam beberapa catatan ternyata AH Nasution tetap taat kepada Soekarno dalam berbagai kebijakan penting. Dan menjelang tahun 1965, kekecewaan ini sangat terasa bagi pihak yang mengoposisi AH Nasution, setelah bukti keterlibatan Amerika Serikat dalam perpecahan Vietnam. Lalu bagaimana track record hubungan Soeharto vs Nasution sampai-sampai AH Nasution sempat menjadi sasaran target “kudeta Gestapu”?
Pada tahun 1959, AH Nasution memeriksa kasus dugaan tindakan korupsi yang dilakukan Soeharto. Karena kasus ini, Soeharto diberi sanksi dengan memindahtugaskan Soeharto sebagai Panglima Diponegoro. Akibat kejadian 1959, hubungan Soerharot dan AH Nasution cukup “dingin”. [Crouch, The Army, p. 40; Brian May, The Indonesian Tragedy (London: Routledge and Kegan Paul, 1978), pp. 221-2.]
**************
Pernyataan Distorsi : Skenario Membalikkan Fakta Sudah Direncankan Sejak Awal
Salah satu hal yang paling tidak manusiawi adalah mereka yang berusaha mendistorsi fakta realitas dengan mengkambinghitamkan suatu kejadian serta menggiring opini publik ditengah keruhnya suasana. Suka mempolitisir suatu peristiwa dengan alasan yang tidak korelatif. Misalnya kasus Bom Ritz Carlton.
Sejak awal pasca pembunuhan 6 Jenderal besar yang loyal terhadap Soekarno, telah beredar pernyataan-pernyataan yang berusaha mendistorsi dengan realitas. Pernyataan Letkol Untung mengenai “Gestapu”, begitu juga distorsi ini oleh Soeharto dengan menginstruksikan pembasmian kelompok sosialis. Pada tanggal 1 Oktober 1965, Letnan Kolonel Untung mengumumkan kepada publik bahwa pada hari ini (1 Oktober 1065), Soekarno dilindungi (tawan) oleh kelompok Gestapu (PKI). Padahal pada tanggal 1 Oktober 1965, Soekarno tidak di”lindungi” oleh PKI. Ini sudah pernyataan yang didistorsi.
Belum sampai disana, pada persidangannya Letkol Untung juga mengatakan bahwa para jenderal (yang tewas dalam konspirasi Gestapu) dengan dukungan CIA merencanakan kudeta pada tanggal 5 Oktober 1965, karena telah disiagakannya pasukan militer dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Barat ke Jakarta. Padahal sesungguhnya, pasukan-pasukan militer tersebut disiapkan di Jakarta untuk parade hari ABRI 5 Oktober 1965.
Untung sengaja tidak mengatakan hal yang sesungguhnya, padaha ia masuk dalam panitia persiapan peringatan hari ABRI tersebut. Dan lebih dashyatnya, padahal dia sendiri yang telah mengambil bagian dalam memilih kesatuan-kesatuan pasukan untuk parade hari ABRI tersebut. Untung juga tidak mengatakan bahwa kesatuan-kesatuan yang terpilih itu (termasuk bekas Batalion-nya yakni Batalyon 454/Banteng Raiders) telah menyediakan sekutu-sekutu untuk melakukan pembunuhan para Jenderal. Lalu, Letkol Untung dieksekusi mati dengan fakta persidangan yang absurd.
Namun ada catatan yang sering terlupakan dalam sejarah bahwa Letkol Untung (Pasukan Tjakrabirawa) yang melakukan “kudeta gadungan” memiliki hubungan khusus dengan Soeharto. Untung adalah anak buah Soeharto, dan Soeharto bersama Tien Soeharto pada tahun 1965 melakukan perjalanan panjang untuk sekadar menghadiri pernikahan Untung di Kebumen dari Jakarta. Lalu, mengapa Untung begitu bodoh melakukan kudeta yang kemudian Soeharto pula yang menghabisi nyawanya?
Bagaimana distorsi Soeharto?Sesaat penculikan dan pembunuhan para Jenderal yang loyal terhadap Soekarno, tanpa bukti jelas Soeharto menuduh PKI + Angkatan Udara RI (AURI) melakukan pembunuhan enam jenderal. Lalu mengkambinghitamkan sekaligus memvonis hukuman mati (namun pada akhirnya dipenjara 29 tahun) Marsekal Madya Omar Dhani pada Desember 1966 (Almarhum meninggal pada 24 Juli 2009 silam) yang loyal terhadap Soekarno [wawancaranya bisa dibaca di sini]. Alasan Soaharto menghubungkan Omar Dhani dalam peristiwa Gestapu hanya karena lokasi mayat-mayat para jenderal ditemukan di Lubang Buaya di dekat Bandara Halim Perdana Kusuma. Disamping itu, Soeharto menghubungkan Omar Dhani karena para Gerwani melakukan latihandi kawasan dekat Halim Perdana Kusuma.
Padahal, pada saat itu, sesungguhnya Soeharto mengerti betul bahwa pembunuhan para jenderal itu dilakukan oleh unsur-unsur AD yang ditunjuk oleh Letkol Untung (sahabat dekat Soeharto sendiri). Untung pernah ditempatkan sebagai prajurit di bawah komando Soeharto. Fakta ini semakin jelas dari pernytaan Soeharto sendiri, “Dalam perjalan saya ke Mabes Kostrad (markasnya Soeharto), saya berpapasan dengan prajurit Baret Hijau (Pasukan Untung) yang telah ditempatkan dibawah Komando Kostrad (komando Soeharto), namun mereka tidak memberi hormat pada saya”.

Catatan: Batalyon Infanteri (Yonif) 454/Banteng Raiders yang menjadi pasukan pendukung Untung dalam Gestapu sesungguhnya merupakan pasukan Raiders yang dilatih dengan bantuan dana dari Amerika Serikat. Dari korelasi ini, sangatlah mungkin pasukan Raiders (Untung) – Amerika – Soeharto menjadi satu kesatuan dalam konspirasi ini
Tulisan ini saya ambil dari cuplikan paper dari Prof Peter Dale Scott dengan judul The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967. Tulisan tersebut merupakan investigasi mendalam dari berbagai sumber yang disusun bertahun-tahun dan pertama kali di publikasikan pada Desember 1984. Peter Dale Scott adalah profesor di Universitas California di Berkeley dan juga anggota Dewan Penasehat





Penggulingan Soekarno oleh Soeharto ( bagian 2 )















Jadi, dengan demikian apapapun motivasi Gestapu (G 30 S) oleh personal-personal seperti Untung, Gestapu ini ber”mata dua”. Baik pidato maupun gerakan-gerakan bukan merupakan hal-hal yang janggal, justru merupakan tindakan yang terencana yang dipersiapkan untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan ‘bermata dua” ini. Sebagai contoh, keputusan Gestapu untuk menjaga semua sisi Istana Merdeka Jakarta, kecuali Markas Kostrad (Soeharto) adalah konsisten dengan keputusan personal Gestapu untuk menjadikan jenderal-jenderal Angkatan Darat (AD) sebagai sasaran tunggal, yaitu para jenderal yang diperkirakan akan menentang usaha-usaha kudeta oleh Soeharto.
Ditambah lagi, pengumuman pengambilalihan kekuasaan yang diumumkan oleh Gestapu atas nama “Dewan Revolusi” yang penuh khayalan didesain untuk mengucilkan Soekarno, dan sebaliknya Soeharto diberi peluang seolah-olah membela Soekarno, padahal pada masa-masa selanjutnya, justru Soeharto menggulingkan Soekarno agar Bung Karno tidak dapat memegang kembali roda pemerintahan. Yang lebih penting adalah pembunuhan para Jenderal secara serampangan oleh Gestapu di dekat pangkalan AURI, yang mana sebelumnya menjadi tempat latihan bagi pemuda PKI, menjadikan alasan untuk melegalkan Soeharto manuvernya, yang mengalihkan tanggungjawab pembunuhan itu dari pasukan-pasukan yang di bawah komandonya sendiri (Soeharto tahu sendiri gerakan Untung, pasukan dibawahnya) yang telah menculik orang AURI dan PKI.
Dari laporan CIA tahun 1968, disebutkan bahwa hanya sedikit pasukan yang terlibat dalam pemberontakan Gestapu yang ‘terselubung’. Dan yang lebih penting bahwa baik di Jakarta maupun Jawa Tengah, sebelum Gestau CIA menyebutkan bahwa terdapat batalyon-batalyon yang dipersiapkan untuk melakukan pemberontakan. Namun, pada faktanya, justru pasukan-pasukan inilah yang membunuh ratusan ribu orang simpatisan dan yang terlibat dalam PKI.Namun perlu dicatat bahwa 2/3 dari pasukan Paramiliter (yang telah diinspeksi langsung oleh Soeharto 1 hari sebelum G 30 S terjadi), ditambah 1 kompi pleton merupakan seluruh kekuatan Gestapu di ibukota Jakarta. Semua kesatuan itu (kecuali ada satu unit), semuanya dipimpin oleh para perwira atau mantan perwira dari Divisi Diponegoro, yang mana Soeharto sebelumnya menjadi Panglima Divisi Diponegoro...(!!!) Dan kesatuan yang memback-up dibawah langsung oleh Brigjend Basuki Rahmat, seorang loyalis Soeharto.
Amerika Serikat dan Pasukan Khusus AD
Perlu diulas kembali (baca : bagian 1), sejak tahun 1962, dua pasukan elit Raider yakni Batalyon 454 dan Batalyon 530 merupakan salah satu pasukan utama Indonesia yang mendapat bantuan militer dari Amerika Serikat. Pasukan-pasukan yang mendapat dukungan bantuan AS inilah yang menjadi motor Gestapu sekaligus menjadi penumpas Gestapu. Dan dibawah komando Soeharto, gerakan Gestapu yang diberitakan begitu ‘dahsyat’, ternyata dapat dikendalikan Soeharto dalam kurun waktu kurang 24 jam tanpa melepaskan tembakan di ibukota (tidak ada pertumbahan darah), kecuali tembak-menembak yang terjadi antara Batalyon 454 (Baret Hijau) dengan RPKAD (Baret Merah) di kawasan Halim – Jakarta Timur. (???!!!)
Dari fakta ini, kita dapat melihat adanya keterlibatan Amerika dalam Gestapu dan penumpasan Gestapu sekaligus menyebarkan ke media sebagai kejahatan ideologi komunis (ketika itu, Amerika dan Soviet sedang perang ideologi : liberalisme vs komunisme). Fakta yang lebih jelas : sebagian besar pemimpin G 30 S adalah lulusan pendidikan dari Amerika Serikat. Pemimpin G 30 S di Jawa Tengah, Suherman, baru saja pulang dari latihan Front Leaveworth AS dan Okinawa Jepang, lalu bertemu dengan Letnan Kolonel Untung dan Mayor Sukirno serta Batalyon 454 pada pertengahan Agustus 1965. Dan berdasarkan analisis Ruth McVey, diterimanya Suherman untuk mengikuti latihan militer di Fort Leavenworth berarti bahwa Suherman telah lulus (welcome) dari para pejabat CIA.
Jadi, ada konektivitas antara usaha Gestapu dengan penumpasan Gestapu oleh Soeharto, yang mana dengan dalih menyelamatkan Presiden Soekarno, Soeharto sebenarnya meneruskan tugas Gestapu menghabisi anggota-anggota SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) yang pro-Letnan Jenderal A Yani. Kemudian, langkah yang tak kalah hebohnya adalah menyingkirkan sisa-sisa pendukung Bung Karno. Dari 6 perwira SUAD yang telah diangkat Letjend A Yani, tiga orang pertama yakni Suprapto, DI Pandjaitan dan S Parman dibunuh pada G 30 S. Dari 3 orang yang ’selamat’, 2 dari 3 orang lainnya yakni yakni Mursyid dan Pranoto akhirnya disingkirkan oleh Soeharto 8 bulan pasca G 30 S. Dan orang terakhir dari Staf Letjend A Yani yakni Jamin Ginting, digunakan Soeharto selama menegakkan Orde Baru dan kemudian akhirnya diabaikan.
Bagian terbesar yang sesungguhnya dari tugas-tugas konspirasi ini adalah melengapkan PKI dan pendukung-pendukungnya, melalui pertumbahan darah yang memakan lebih dari 1/2 juta jiwa, yang telah diakui oleh beberapa sekutu Soeharto. Ketiga peristiwa ini – Gestapu, Penumpasan Gestapu oleh Soeharto serta pertumbuhan darah — hampir selalu ditulis dalam sejarah dengan jalan cerita masing-masing dengan motivasi sendiri-sendiri.
Meskipun beberapa jurnalis internasional berusaha memberitakan kejadian pembantaian para simpatisan PKI apa adanya, tulisan mereka yang di fax lalu diedit oleh kantor cabang di Singapura sebelum dikirim ke Eropa dan Amerika. Dan pada kenyataan ini, ada sejumlah pejabat, jurnalis dan peneliti Amerika yang berafilisiasi dengan CIA, secara langsung maupun tidak langsung pada dasarnya bertanggungjawab terhadap pertumbahan darah melalui propaganda sehingga menimbulkan reaksi rakyat secara spontan. Dan dalam salah satu kesempatan, Dube Amerika Serikat di Indonesia, Howard Jones mengakui bahwa terjadi pembantaian PKI secara besar-besaran (carnage), dan Amerika Serikat mengaminin hal tersebut.
Meskipun ada keterlibatan PKI dalam krisis politik 1965, Crouch menunjukkan bahwa terjadi pemberitaan yang berlebihan atas aktivitas PKI, disisi lain fakta pembantaian yang 1/2 juta orang tidak pernah diberitakan ke publik. Pembunuhan secara sistem kepada ratusan ribu rakyat tanpa sistem pengadilan menciptakan trauma psikologis bagi masyarakat yang mendukung atau menjadi loyalis Bung Karno. Aksi-aksi pembantaian para petani, buruh yang pernah mendapat bantuan dari organisasi PKI (yang tidak tahu-menahu kasus G 30 S) menjadi korban pembantaian. [Download Video Dokumentasi : Shadow Play]
Sementara, aksi Kolonel Sarwo Edhie, sebagai Komando RPKAD dari Jakarta menuju Jawa Tengah, Jawa Timur dan akhirnya Bali sudah semestinya menjadi catatan tersendiri dalam sejarah. Dalam pembantaian di Bali, seorang jurnalis yang dekat dengan sumber resmi AD, mendapat pengakuan bahwa “AD-lah (RPKAD) yang telah mencetus pembantaian”-ini. Gerakan ini sangat jelas ketika RPKAD tiba di Jatim, maka menjadi titik awal pembantaian di provinsi tersebut. Orang-orang sipil yang terlibat dalam pembunuhan massal ini dikerahkan dari kelompok-kelompok setempat yang dilatih dan/atau diback-up oleh AD (sebagai contoh: SOKSI yang mendapat sponsor dari AD dan CIA, serta gerakan politik dari organisasi kemahasiswaan), yang mana selama bertahun-tahun telah bekerja sama dengan AD mengenai masalah-masalah politik.
Dari catatan Sundhaussen, sangat jelas terjadi pembunuhan massal yang terorganisir du sebagian besar daerah seperti Sumatera Utara, Aceh, Cirebo, seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pengorganisasian ini dilakukan melalui komando AD setempat yang sangat anti dengan PKI. Masih dalam laporan Sundhaussen, diketahui pula bahwa banyak diantara komandan AD di daerah-daerah yang disebut di atas sebelumnya selama bertahun-tahun telah bekerja sama dengan orang-orang sipil, melalui apa yang dinamakan “Civic Action” (Gerakan Rakyat) yang didanai oleh Amerika Serikat, yang ditujukan untuk operasi kepada PKI dan beberapa diantaranya ditujukan ke Soekarno. Dengan demikian, bisa dicurigai adanya suatu konspirasi dengan melihat banyaknya kenyataan bahwa ‘respon sipil’ yang anti-PKI telah dimulai pada 1 Oktober yang mana Angkatan Darat mulai membagi-bagikan senjata kepada mahasiswa Islam dan anggota Serikat Buruh Islam. [Informasi Dokumentasi Video dapat dilihat SINI], sebelum adanya pembuktian yang benar tentang tersangkutnya PKI dalam Gestapu.
Meskipun Sundhaussen berusaha menunjukkan peranan AD sekecil mungkin dalam mempersenjatai dan menghasut kelompok pembunuh rakyat secara massal, Sundhaussen menyimpullkan bahwa bagaimanapun kuat rasa benci dan rasa takut terhadap PKI, namun tanpa propaganda anti PKI oleh AD, maka pembunuhan massal terhadap rakyat-rakyat yang tidak tahu menahu dengan G30S itu tidak akan terjadi.
Dan dalam tulisan ini selanjutnya akan menelusuri pendapat bahwa rangkaian 3-peristiwa (Gestapu, respons Soeharto, dan pembantaian) merupakan bagian dari konspirasi besar dalam pengambilalih kekuasaan oleh militer, menjadi bagian awal dari skenario AS dalam meruntuhkan pengaruh komunisme dunia dengan terjadinya kembali Penggulingan Presiden Allende oleh Jenderal Pinnochet pada tahun 1970-1973 di Chile. (dan kasus yang mungkin terjadi juga di Kamboja 1970 ).
Dalam analisis ini, Soeharto menjadi tokoh penting dalam skenario ini : peran ganda (berwajah dua) Soeharto seolah berdiri sebagai penegak konstitusi dalam status quo, namun pada kenyataannya justru bergerak secara terencana untuk merebut kekuasaan Soekarno. Kondisi yang dapat dipersamakan dengan perebutan kekuasaan oleh Jenderal Pinochet yang menggulingkan sosok pemimpin populis Chile yakni Presiden Allende. Namun, peran yang lebih langsung dalam mengatur pertumpahan darah telah dimainkan oleh orang-orang sipil dan perwira yang dekat dengan kader-kader pemberontakan CIA yang gagal pada tahun 1958 (pemberontakan PRRI-Semesta), yang kemudian beralih dala program “Civic Action” yang dibiayai dan dilatih oleh Amerika Serikat.
Selain dari data-data diatas, Peter Dale Scott juga membuktikan bahwa ada unsur-unsur negara lain (selain Amerika Serikat) yang mendukung gerakan Soeharto. Beberapa negara yang ikut dalam penumpasan PKI dan penggulingan Soekarno adalah Japan, Inggris, Jerman, dan terakhir ada kemungkinan Australia. Pada tahun 1965, Badan Intelijen Jerman membantu Badan Intelijen Militer Indonesia untuk menumpas sayap kiri “Putsch” di Jakarta dengan mengirim senapan-senapan, perlengkapan radio dan uang bernilai 300.00 Mark. (Heinz Hoehne and Hermann Zolling, The General Was a Spy [New York: Bantam, 1972], p. xxxiii). Peter Dale Scott dalam hal ini hanya fokus pada pada pembantaian massal dari angkatan darat yang mendapat dukungan dan dorongan dari Amerika Serikat, CIA, militer, RAND, Ford Foundation, dan individu perseorangan.
Salam Perjuangan, 16 Agustus 2009

• Soekarno dan Pergerakan Buruh Sedunia

Soekarno dan Pergerakan Buruh Sedunia
Sejarah gerakan pembebasan nasional di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan sejarah pergerakan buruh. Ketika perjuangan anti-kolonial mulai berbentuk gerakan politik massa, peranan gerakan buruh terbilang sangat besar. Kehadiran gerakan dan serikat buruh, seperti dicatat oleh Ruth Mc Vey, telah menandai perkembangan menakjubkan dari perkembangan situasi revolusioner di Indonesia.

Soekarno, salah satu tokoh paling cemerlang dan terkemuka saat itu, tidak bisa dipisahkan dengan gerakan buruh dan gerakan massa, terutama saat PKI telah dihilangkan oleh penindasan kolonial dalam panggung terbuka perjuangan pembebasan nasional. Soekarno, terutama setelah pidato Indonesia Menggugat yang begitu tajam dan terkenal itu, telah didaulat secara tidak langsung sebagai pemimpinnya gerakan massa. Bahkan, oleh Dr. Sutomo, salah satu tokoh gerakan nasional saat itu, Soekarno diletakkan sebagai motor, kekuatan penggerak dari seluruh barisan yang beraliran kiri.

Akan tetapi, kendati gerakan buruh telah menjadi elemen penting saat itu dan Soekarno juga punya peranan di situ, tetapi nama Soekarno tidak setenar nama seperti Semaun dan Soerjopranoto dalam gerakan buruh. Saat ini, misalnya, kita begitu akrab dengan gagasan Soekarno terkait dengan ide-ide perjuangan nasional, sedangkan soal gagasan perjuangan buruhnya kurang kedengaran.

Gagasan Soekarno Soal Gerakan Buruh
Soekarno sangat akrab dengan sosok-sosok pemimpin gerakan buruh di Eropa seperti Karl Kautsky, Ferdinand Lassalle, Sidney dan Beatrice Webb di Inggris, dsb. Sebagai seorang Marxist, Soekarno pun sangat akrab dengan berbagai aliran pemikiran sosialis dan komunis, mulai dari Pieter Troelstra di Belanda, Jean Jaures di Perancis, hingga Lenin, Stalin, dan Trotsky di Rusia.

Bukankah Soekarno pernah berkata, “Saya punya pikiran, saya punya mind terbang, meninggalkan alam kemiskinan ini, masuk di dalam “world of the mind”; berjumpa dengan orang-orang besar, dan bicara dengan orang-orang besar, bertukar pikiran dengan orang-orang besar.”

Setidaknya, dari berbagai tokoh tersebut, Soekarno memperoleh ide soal massa-actie dan machtvorming, termasuk dalam membangun gerakan serikat sekerja/serikat buruh. Dalam tulisan berjudul “bolehkan Sarekat sekerja berpolitik?”, Soekarno telah mengeritik habis-habisan tuan S (nama inisial, dalam harian pemandangan) yang menuntut gerakan serikat buruh tidak usah berpolitik. Dalam pandangan Soekarno, perjuangan politik bagi serikat buruh, paling tidak, adalah dimaksudkan untuk mempertahankan dan memperbaiki nasib politik kaum buruh, atau mempertahankan “politieke toestand”. Menurut Bung Karno, Politieke toestand sangat terkait dengan masa depan gerakan buruh, yaitu penciptaan syarat-syarat politik untuk tumbuh-suburnya gerakan buruh.
1 Mei memperingati Hari Buruh Sedunia
Lebih jauh lagi, Soekarno juga mengatakan, jika kaum buruh menginginkan kehidupan yang layak, naik upah, mengurangi tempo-kerja, dan menghilangkan ikatan-ikatan yang menindas, maka perjuangan kaum buruh harus bersifat ulet dan habis-habisan. Jika ingin merubah nasib, Soekarno telah berkata, kaum buruh harus menumpuk-numpukkan tenaganya dalam serikat sekerja, menumpuk-numpukkan machtvorming dalam serikat sekerja, dan membangkitkan kekuasaan politik di dalam perjuangan.

“Politik minta-minta satu kali akan berhasil, tetapi sembilan puluh sembilan kali niscaya akan gagal”, demikian dikatakan Soekarno saat mengeritik serikat sekerja yang hanya menuntut perbaikan nasib. Soekarno telah berkata, “politik meminta-minta tidak akan menghapuskan kenyataan antitesa antara modal dan kerja”.

Soekarno juga tidak lupa mengeritik Robert Owen, Louis Blanc, dan Ferdinand Lassalle, yang mana mereka dianggap menganjurkan perdamaian antara modal dan kerja. Karena itu, dalam tulisan Mencapai Indonesia Merdeka, Soekarno sudah menggaris-bawahi pentingnya kaum buruh dan rakyat Indonesia untuk menghancurkan stelsel (sistem) imperialisme dan kapitalisme.

Dalam hal alat politik, seperti juga kaum Leninis, Soekarno menganjurkan pendirian sebuah partai pelopor, sebuah partai yang konsekwen-radikal dan berdisiplin. Partai ini, seperti dikatakan Soekarno, harus merupakan partai yang kemauannya cocok dengan kemauan marhaen, partai yang segala-galanya cocok dengan natuur (alam), partai yang terpikul natuur dan memikul natuur. Sebuah partai yang merubah pergerakan rakyat itu dari onbewust menjadi bewust (sadar), demikian dikatakan Soekarno.

Hanya saja, dalam perjalanan menuju penghancuran stelsel imperialisme dan kapitalisme, Soekarno telah menganjurkan persatuan seluruh kekuatan nasional untuk menggulingkan penjajahan dan mencapai Indonesia merdeka. Sehingga, dalam praktek politik, Soekarno mengharuskan pergerakan buruh mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional. Lenin pernah berkata, bahwa di negeri jajahan dan setengah jajahan, “secara objektif masih ada tugas-tugas nasional yang bersifat umum, yaitu tugas-tugas yang demokratis, tugas-tugas untuk menumbangkan penjajahan asing[i].

PNI dan Gerakan Buruh
Meskipun akrab dengan gerakan buruh, namun Soekarno sendiri tidak pernah menjabat sebagai ketua serikat buruh, seperti Semaun dan Suryopranoto saat itu. Tapi, Soekarno menaruh dukungan besar terhadap pergerakan buruh.

Partai Nasional Indonesia (PNI), partainya Soekarno, saat memandang gerakan massa sebagai komponen penting perjuangannya, telah menempatkan pengorganisiran kaum buruh sebagai aspek penting dalam perjuangan partai. Bersamaan dengan perayaan Ulang Tahun PNI, 4 Juli 1929, partai telah memutuskan untuk mengintensifkan propaganda di kalangan buruh. Untuk itu, PNI telah memperkuat pengaruhnya terhadap salah satu serikat buruh saat itu, yaitu Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia (SKBI).

Ketika SKBI mulai ditindas penguasa kolonial karena keterkaitannya dengan Liga Anti Kolonialisme, PNI tidak berhenti dalam mengorganisir dan memperluas pengaruhnya di kalangan buruh. Pada bulan Juli hingga Agustus, PNI kembali mengorganisir beberapa serikat buruh di berbagai kota besar di Indonesia. Di Bandung, PNI mendirikan Persatoean Chauffeurs Indonesia, yang kemudian berganti nama menjadi “Persatoen Motorist Indonesia”-(PMI). Di Tanjung Priok, telah berdiri Sarikat Anak Kapal Indonesia (SAKI); di Surabaya berdiri Persatoean Djongos Indonesia (PDI) dan Persatoen Boeroeh Oost Java Stoomstram Mij (OJS-Bond Indonesia).

Paska kemerdekaan, meskipun PNI telah mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional, namun mereka tetap tidak meninggalkan gerakan buruh. Pada tahun 1952, PNI telah mendirikan Konsentrasi Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI), yang haluan politiknya adalah menuntaskan perjuangan nasional. Dua tahun kemudian, 1954, KBKI berganti nama menjadi Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia.

Marhaenisme dan Proletar
Marhaen, kata Bung Karno, adalah kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain, misalnya kaum dagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum grobag, kaum nelayan, dan lain-lain. Meski Soekarno tidak menggunakan istilah proletar, tetapi pada dasarnya dia mengakui kebenaran dari faham proletar, khususnya yang berkaitan dengan ajaran Marx ini. Soekarno sendiri tidak menutupi, bahwa bagian terbesar dari perjuangan kaum marhaen ini adalah kaum proletar.

Tapi, menurut Soekarno, ada perbedaan “keadaan” antara Eropa dan disini, Indonesia. Di Eropa, kapitalisme terutama sekali adalah kepabrikan, sedangkan di Indonesia masih bersifat pertanian. Selain itu, menurut Soekarno, kapitalisme di eropa bersifat “zuivere industri” (murni industri), sedangkan di sini sebanyak 75% berasal dari onderneming (perusahaan) gula, teh, tembakau, karet, kina, dsb. Ini, kata Soekarno, menghasilkan perbedaan; di eropa, hasil kapitalisme terutama sekali adalah proletar 100%, sedangkan di Indonesia melahirkan kaum tani yang melarat dan papa.

Meskipun kapitalisme mengacu pada 75% industri pertanian, tetapi Soekarno tidak menutupi kebenaran pendirian, bahwa proletar harus menjadi pembawa panji-panji. Soekarno telah berkata, “Nah, tentara kita adalah benar tentaranya marhaen, tentaranya kelas marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaga kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar”.

Marhaenisme tidak bermaksud menganulis teori kelas, malah berusaha menerapkan penggunaan teori kelas dalam konteks dan karakteristik Indonesia, seperti yang telah dijelaskan Soekarno di atas. Ini bukan versi baru bagi penganut marxisme di negeri dunia ketiga. Di Amerika Latin terdapat nama José Carlos Mariátegui, yang telah berusaha mengembangkan Marxisme dalam konteks setempat, dan mulai membuang aspek eropa-sentisnya. “Eropa Barat memiliki Sosial-Demokrasi; Rusia memiliki Komunisme; Tiongkok San Min Cu I; India mempunya Gandhiisme; marilah kita di Indonesia mempropagandakan kita punya Marhaenisme!” demikian dikatakan Soekarno.

Justru, dalam konteks sekarang ini, marhaenisme justru bisa dipergunakan sebagai salah satu alat analisis kelas versi Indonesia, asalkan dikembangkan dan sesuaikan dengan konteks saat ini. Sebagai missal, perkembangan sektor informal yang sudah mencapai lebih dari 70%, memaksa kita untuk menggunakan teori kelas secara kontekstual.

Walaupun Soekarno mengakui teori perjuangan kelas, namun ia selalu berusaha memperkokoh jiwa bangsa tidak sebagai kesadaran kelas, seperti yang biasa terdapat dalam gerakan buruh, tapi sebagai kesadaran bangsa, kesadaran untuk mencapai tujuan nasional. Bagi Soekarno, dalam tahap negeri kolonial, pertentangan-pertentangan kelas itu menjadi searah dengan pertentangan nasional.

Ini patut dimaklumi, sebab situasi tempat Soekarno membangun teorinya, salah satunya, karena baru saja menyaksikan perpecahan tajam di kalangan pergerakan, terutama perseteruan tajam antara kaum Marxist versus islam. Perpecahan hanya akan memperkuat kekuatan musuh, sedangkan barisan kita akan goyah.

*) Penulis adalah Deputi Bidang Kajian dan Bacaan KPP- Partai Rakyat Demokratik (PRD), pemimpin redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah Kiri.

• Ir.Soekarno di skala Internasional


Bung Karno adalah orang besar di skala Internasional





Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (2)

(Sebagai ganti kata pengantar : Mengapa Bung Karno perlu “diangkat” kembali pada tempatnya yang semestinya? Apakah ada gunanya bagi bangsa kita, dewasa ini dan juga untuk selanjutnya, mengenang kembali dan mempelajari segala persoalan yang bekaitan dengannya? Apakah artinya Bung Karno bagi perjuangan bangsa Indonesia? Apakah ajaran-ajaran Bung Karno masih perlu dijadikan bahan pemikiran? Apakah Bung Karno itu berhaluan “kiri”? Mengapa Bung Karno mencetuskan gagasan NAS-A-KOM? Mengapa Bung Karno telah digulingkan dari kedudukannya sebagai presiden? Marhaenisme itu sebenarnya apa? Mengapa Bung Karno dimusuhi oleh kekuatan-kekuatan pro-imperialisme dan kolonialisme? Apa sajakah akibat digulingkannya Bung Karno bagi kehidupan bangsa dan negara kita? Mengapa Bung Karno dicintai rakyat? Di mana sajakah perbedaan antara Bung Karno dan Suharto?)
Dalam rangka Peringatan Peringatan 100 Tahun Bung Karno dapatlah kiranya diduga bahwa akan terus muncul beraneka-ragam tulisan - atau karya-karya dalam bentuk lainnya - yang menelaah berbagai aspek tentang tokoh besar bangsa kita ini, baik yang berkaitan dengan perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan maupun perannya sebagai kepala negara dan pemersatu bangsa. (Termasuk juga beragam analisa atau pendapat tentang hal-hal yang berkaitan dengan situasi sebelum dan sesudah peristiwa 1 Oktober 1965).

Tulisan kali ini dimaksudkan sebagai sumbangan untuk bersama-sama merenungkan kembali peran dan tempat Bung Karno bagi perjuangan rakyat Asia-Afrika (dan Amerika Latin) waktu itu. Sebab, dalam segi ini jugalah terletak kebesaran atau keagungan Bung Karno. Mungkin, bagi sebagian terbesar diplomat tua negeri kita (baik yang sudah mantan, mau pun yang masih aktif dewasa ini, terutama yang menghayati arti gagasan-gagasan Bung Karno ) apa yang dikemukakan dalam tulisan kali ini bukanlah sesuatu hal yang baru. Demikian juga bagi mereka yang pernah aktif dalam berbagai kegiatan internasional waktu itu. Mungkin mereka masih ingat betapa tingginya penghargaan rakyat berbagai negeri Asia-Afrika terhadap Bung Karno. Sampai sekarang pun, nama Bung Karno masih tetap terkenal di kalangan pimpinan negara maupun gerakan-gerakan rakyat di berbagai negeri.

Oleh karenanya, generasi muda dewasa ini (dan juga yang akan datang) perlu sekali mengetahui dengan selayaknya akan satu hal, yaitu : bahwa Bung Karno adalah tokoh besar dalam skala internasional, dan terutama sekali dalam skala Asia Afrika. Dan, bahwa Bung Karno pernah menjadi bintang, atau menjadi idola, bagi para gerakan-gerakan progressif di berbagai negeri Asia-Afrika. Juga, bahwa karenanya, Bung Karno patut menjadi kebanggaan bangsa kita, baik sekarang mau pun di masa-masa yang akan datang. Kita patut mengetahui dengan baik bahwa kebesaran gagasan-gagasan Bung Karno tidak hanya mencakup persoalan-persoalan Indonesia saja, melainkan juga berbagai persoalan internasional yang terjadi pada masa hidupnya.

Sejarah bangsa kita selama 100 tahun telah makin meyakinkan kita, bahwa sampai sekarang ini, Bung Karno adalah pemimpin TERBESAR bangsa Indonesia. Dan, bahwa walaupun mungkin di kemudian hari akan muncul pemimpin-pemimpin besar lainnya di Indonesia (mudah-mudahan), maka Bung Karno akan tetap menduduki tempat yang penting dan terhormat dalam sejarah bangsa Indonesia. Untuk mencegah supaya kita tidak terjerembab dalam pengungkapan-pengungkapan yang superlatif (berlebih-lebihan, atau serba “paling”), berbagai faktor sebagai berikut di bawah ini, dapatlah kiranya dipakai bersama sebagai bahan renungan.

KEBESARAN BUNG KARNO ADALAH SEJAK MUDA

Adalah satu hal yang penting untuk sama-sama kita ingat bahwa kebesaran Bung Karno tentang berbagai persoalan bangsa - termasuk masalah perjuangan dalam skala internasional melawan imperialisme dan kolonialisme – adalah sudah di sandangnya sejak muda. Sejak sekolah menengah (HBS, sekolah menengah Belanda) Bung Karno sudah tertarik kepada masalah-masalah politik. Ketika ia “in de kost” di rumah pemimpin Sarekat Islam Haji O.S.Tjokroaminoto di Surabaia ia sudah bergaul dengan Semaun dan Muso (mereka berdua ini kemudian menjadi pemimpin PKI), dan mengenal berbagai tokoh-tokoh perjuangan waktu itu.

Ketika umurnya sudah melewati 20 tahun, ia sudah mulai menulis artikel-artikel yang mencerminkan sikapnya melawan kolonialisme Belanda (dengan nama samaran). Setelah tammat belajar di Technische Hooge School (sekarang ITB) dalam tahun 1925, dan ketika masih berumur 27 tahun, ia bersama-sama dengan kawan-kawan dekatnya (antara lain : Dr Cipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Cokrohadisuryo, Mr Sunaryo) ia telah mendirikan Partai Nasional (PNI) pada tanggal 4 Juli 1927. Tujuan PNI adalah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam tahun itu juga, pada tanggal 29 Desember 1927, ia telah ditangkap oleh pemerintahan Belanda, dengan tuduhan melakukan makar. Bung Karno beserta kawan-kawannya dipenjarakan di Sukamiskin (Bandung), tetapi kemudian mendapat grasi.

Di depan pengadilan Belanda di Bandung, Bung Karno mengucapkan pidato pembelaan yang berjudul “Indonesia Menggugat”, yang kemudian menjadi sumber inspirasi perjuangan bagi banyak golongan lainnya waktu itu. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme Belanda, “Indonesia Menggugat” ini merupakan dokumen penting bangsa. (Adalah baik diketahui bahwa dalam “Indonesia Menggugat” telah diangkat berbagai masalah internasional yang penting).

Agaknya, dari segi ini pulalah kita semua bisa menelaah sikap, atau pandangan, atau politik Bung Karno selama perjuangannya, sampai ketika menjadi kepala negara. Singkatnya, karena sejak mudanya, ia sudah berjuang puluhan tahun sebagai nasionalis melawan secara gigih kolonialisme, maka ia mempunyai simpati yang besar - atau perasaan yang mendalam sekali – terhadap perjuangan bangsa atau rakyat lainnya di berbagai negeri melawan kolonialisme dan imperialisme waktu itu. Dan karena sesudah Perang Dunia ke-II masih banyak negeri-negeri yang masih dijajah atau sedang mempunyai persoalan-persoalan besar dengan kolonialisme (terutama di Asia dan Afrika), maka sikap Bung Karno ini juga tercermin dalam banyak tindakan dan politiknya, sampai menjelang terjadinya peristiwa 1 Oktober 1965 (tentang soal ini bisa diungkap dalam tulisan tersendiri).

BUNG KARNO ADALAH MUSUH KUBU BARAT

Sekarang, kalau kita menoleh ke belakang, dan memandang persoalan-persoalan dengan kaca-mata yang bening, maka akan nyatalah bahwa ada berbagai faktor yang menyebabkan Bung Karno mempunyai sikap yang memihak perjuangan berbagai negeri dalam melawan kolonialisme dan imperialisme (kasarnya, kubu Barat, waktu itu). Demikian juga, mengapa ia selalu menganjurkan persatuan bangsa dan selalu menganjurkan kewaspadaan bangsa akan adanya musuh-musuh yang membahayakan Republik Indonesia.
Revolusi 17 Agustus 45 dan didirikannya Republik Indonesia adalah pukulan berat bagi kekuasaan Belanda yang sudah 300 tahun menjajah dan mengeruk kekayaan Indonesia. Dalam konteks geo-politik waktu itu, adalah jelas sekali bahwa kekalahan Belanda menimbulkan semacam “solidaritas” di kalangan kekuatan “kubu Barat”. Itulah sebabnya mengapa Republik Indonesia, sejak diproklamasikannya oleh Sukarno-Hatta, terus-menerus menjadi sasaran berbagai aksi-aksi subversi mereka dalam berbagai bidang.

Sejak selesainya Perang Dunia, kubu Barat melihat betapa pentingnya kedudukan strategis negeri kepulauan Indonesia dalam konteks geo-politik di benua Asia. Setelah kemenangan revolusi Tiongkok yang dipimpin oleh Mao Tse Tung dan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok (1949),dan kemudian disusul oleh pecahnya Perang Korea (sampai 1953), maka Amerika Serikat makin melihat betapa pentingnya bagi kubu Barat untuk berusaha supaya Indonesia bisa berada difihak Barat. Apalagi, setelah pecahnya perang Indo-Cina, maka kekuatiran dunia Barat akan terlaksananya “teori domino” menjadi makin membesar.

Karena itulah, maka mulai 1950-an, Amerika Serikat (dengan dibantu oleh Belanda dan Inggris) melakukan berbagai “operasi”, baik yang bersifat subversi maupun beraneka-ragam “intervensi” di berbagai bidang. Apalagi, dengan kemenangan PKI dalam pemilu tahun 1955, maka kubu Barat (terutama Amerika Serikat) makin melihat “bahaya” yang terdapat di bumi Indonesia. “Bahaya” ini termanifestasikan pada sosok Sukarno, seorang nasionalis yang berhaluan kiri, yang telah menggegerkan dunia dengan terselenggaranya konferensi Bandung dalam tahun 1955 (tentang soal ini ada catatan tersendiri).

Berbagai pergolakan politik dan juga pembrontakan bersenjata yang terjadi berturut-turut sejak zaman revolusi sampai 1965 menunjukkan bahwa berbagai bahaya selalu mengancam Republik Indonesia dan bahkan juga keselamatan pribadi Bung Karno sendiri. Sejak 1950 sampai 1965 telah terjadi 7 kali percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno, yaitu : penggranatan di Cikini, usaha pembunuhan dalam peristiwa Idhul Adha, pembrondongan dari pesawat udara oleh Maukar, penggranatan di Makassar, pencegatan bersenjata di dekat gedung Stanvac, pencegatan bersenjata di selatan Gunung Salak.

Percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno yang begitu sering dan dalam waktu yang tidak begitu panjang adalah sesuatu yang jarang terjadi terhadap kepala negara di dunia. Ini menunjukkan bahwa Bung Karno, yang jelas-jelas dicintai oleh rakyat karena telah membuktikan dirinya sebagai pejuang kemerdekaan bangsa selama puluhan tahun, mempunyai cukup banyak musuh, baik yang datang dari dalam negeri maupun luarnegeri. Pergolakan daerah atau pembrontakan bersenjata yang terjadi berkali-kali adalah salah satu di antara berbagai sebab mengapa ia selalu menganjurkan persatuan bangsa dan mengatakan bahwa revolusi belum selesai (ingat, antara lain : pembrontakan Andi Azis di Makasar, pembrontakan RMS, pembrontakan DI-TII, pembrontakan PRRI-Permesta dll).

DI BAWAH BENDERA REVOLUSI

Adalah sangat menarik untuk sama-sama kita telaah, sekarang ini (!), mengapa Bung Karno selalu berbicara tentang persatuan, atau persatuan revolusioner, dan juga tentang revolusi, dalam hampir setiap pidatonya. Bagi kita semua (apalagi bagi generasi muda dewasa ini!) adalah baik sekali untuk membaca dan merenungkan kembali pidato-pidato atau karya asli Bung Karno, untuk berusaha mengerti mengapa ia mengambil sikap yang demikian, dalam konteks situasi dalamnegeri dan situasi internasional WAKTU ITU (mohon perhatian bahwa dua kata itu digaris-bawahi). Fikirannya tentang perjuangan bangsa dan gagasannya mengenai pentingnya persatuan ini tercermin dengan jelas dalam buku “Di bawah Bendera Revolusi”. (tentang buku ini ada cetatan tersendiri).

Terutama sekali, buku DBR (Di bawah Bendera Revolusi) jilid kedua, yang berisi kumpulan 20 pidato Bung Karno setiap Hari Ulangtahun 17 Agustus, sejak 1945 sampai 1964 (598 halaman) dengan jelas menggambarkan mengapa ia begitu “gandrung” (mendambakan sekali, mencintai) kepada persatuan revolusioner bangsa, dan mengapa ia selalu mengingatkan bahwa revolusi bangsa belumlah selesai dengan hanya sudah terbentuknya Republik Indonesia. Pandangannya itu didasarkan pada pengalaman bangsa kita sebelum kemerdekaan, tetapi juga sesudah berdirinya Republik Indonesia. Bahkan, bukan itu saja. Bung Karno, dalam konteks internasional waktu itu (!) melihat bahwa apa yang dialami bangsa Indonesia ada persamaannya dengan bangsa atau rakyat berbagai negeri, terutama di Asia dan Afrika. Oleh karena itu, Bung Karno menaruh simpati kepada lahirnya Republik Rakyat Tiongkok, kepada perjuangan rakyat Vietnam melawan Perancis dan AS, kepada perjuangan rakyat Aljazair melawan kolonialisme Prancis dll dll. Singkatnya, simpatinya atau dukungannya kepada rakyat yang sedang berjuang terhadap imperialisme dan kolonialisme adalah salah satu ciri yang menonjol sekali Bung Karno.

Penghargaan bangsa-bangsa lain terhadap Bung Karno memuncak dengan diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika di Bandung dalam tahun 1945. Konferensi Bandung adalah sumbangan yang amat besar kepada banyak rakyat dan negeri-negeri yang sedang berjuang. Dan, dalam hal ini peran Bung Karno adalah amat besar (tentang Konferensi Bandung ini ada catatan tersendiri). Oleh karenanya, sejak itu, nama Soekarno disanjung-sanjung di banyak negeri, terutama di Asia-Afrika. Bung Karno pernah menjadi kebanggaan banyak orang, bukan saja di Indonesia, melainkan juga di luarnegeri. (Berdasarkan pengamatan penulis sendiri, yang pernah menjabat sebagai pengurus Persatuan Wartawan Asia-Afrika, baik di Jakarta maupun kemudian di Peking, tidak salahlah kalau dikatakan bahwa Bung Karno pernah menjadi bintang kejora bagi perjuangan banyak rakyat Asia-Afrika).

TEMPAT BUNG KARNO DI SKALA INTERNASIONAL

Sekarang, mungkin banyak orang yang tidak tahu, bahwa selama di bawah pimpinan Bung Karno nama Indonesia mendapat tempat yang terhormat dalam berbagai konferensi internasional atau badan-badan internasional. Terutama bagi gerakan-gerakan progresif di berbagai negeri yang melawan imperiaslime dan kolonialisme waktu itu, nama Soekarno dan Indonesia merupakan sumber inspirasi perjuangan.
Bung Karno adalah salah satu di antara sejumlah kecil pemimpin-pemimpin Asia-Afrika yang mendorong, membantu, atau bersimpati terhadap lahirnya berbagai gerakan yang berskala Asia-Afrika. Sikapnya itu mencerminkan bahwa ia konsisten terhadap prinsip atau tujuan perjuangannya sejak usia-mudanya. Di samping itu, sikapnya yang demikian itu juga didasarkan pada situasi kongkrit dan kebutuhan kongkrit yang dihadapi oleh Republik Indonesia sendiri. Oleh karena itu, ia membantu diselenggarakannya Konferensi Wartawan Asia-Afrika di Jakarta dalam tahun 1963, yang melahirkan Persatuan Wartawan Asia-Afrika dan berkedudukan di Jakarta pula (mengenai soal ini ada catatan tersendiri). Bung Karno juga membantu terselenggaranya di Indonesia sidang-sidang Konferensi Pengarang Asia-Afrika. (di Bali).

Politik Bung Karno yang menyatukan perjuangan rakyat Indonesia dengan perjuangan rakyat–rakyat berbagai negeri melawan imperialisme dan kolonialisme (sekali lagi: waktu itu) membuat nama Indonesia menjadi terhormat di berbagai badan internasional. Beraneka-ragam gerakan atau organisasi massa Indonesia yang terkemuka menjadi wakil presiden atau anggota sekretariat dalam beraneka-ragam organisasi internasional di berbagai bidang, antara lain Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Colombo, Konferensi Jurist Asia-Afrika di Conakry (Guinea), demikian juga dalam badan-badan internasional lainnya seperti mahasiswa, serikat buruh, wanita, sarjana, dll.

Dalam konteks situasi internasional waktu itu, ketika Perang Dingin antara Blok Timur dan Blok Barat masih berkecamuk dengan hebatnya, Bung Karno bersama-sama pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya, telah menggariskan politik luarnegeri yang bebas-aktif dan non-blok. Bung Karno adalah satu di antara para negawaran besar lainnya (Tito dan Jawaharlal Nehru dll) yang menjadi promotor gerakan non-blok. Dari segi ini pulalah bisa dilihat kebesaran gagasan-gagasan Bung Karno dalam bidang internasional.

Di selenggarakannya Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing (KIAPMA) di Jakarta dalam bulan Oktober 1965 adalah manifestasi yang gamblang politik bung Karno dalam melawan imperialisme dan kolonialisme sambil mempertahankan prinsip-prinsip gerakan non-blok waktu itu. (Patut dicatat di sini bahwa pidatonya di KIAPMA - di Hotel Indonesia - inilah merupakan pidatonya yang terakhir di depan masyarakat internasional).

REVOLUSI YANG BELUM SELESAI

Peringatan 100 Tahun Bung Karno adalah kesempatan bagi bangsa kita untuk mengenal, atau lebih mengenal lagi, atau mengenang kembali segala soal yang berkaitan dengan Bung Karno. Dalam kesempatan ini perlulah diusahakan supaya karya-karyanya bisa dikenal, dan dikaji oleh sebanyak mungkin orang. Dengan membaca karya-karyanya, kita akan lebih mengerti apakah sebenarnya tujuan perjuangan Bung Karno. Setelah mengerti tujuan politik Bung Karno, dan kemudian membandingkannya dengan situasi negeri dewasa ini, maka kita bisa makin yakinlah bahwa gagasan-gagasan Bung Karno adalah agung sekali !!! Dan juga lebih yakin lagi bahwa sistem politik Orde Baru/Golkar adalah salah, karena bertentangan sama sekali dengan berbagai ajaran dan gagasan Bung Karno.
Membaca kembali karya-karya Bung Karno akan menggugah kita semua bahwa revolusi bangsa menuju masyarakat adil dan makmur - yang selalu didengung-dengungkannya - memanglah betul-betul belum selesai dan bahwa adalah tugas kita bersama untuk meneruskan revolusi ini. Yaitu, meneruskan revolusi dalam situasi nasional yang sudah berobah dan juga situasi internasional yang sudah mengalami berbagai transformasi, sehingga memerlukan syarat-syarat atau cara dan bentuk baru, sesuai dengan kondisi kongkrit sekarang ini.
Tiga puluh tahun yang lalu Bung Karno sudah meninggalkan bangsa dalam keadaan yang menyedihkan, sebagai akibat tindakan para pendiri Orde Baru. Sekarang ini, makin terasa bagi banyak orang, bahwa dengan hilangnya Bung Karno sebagai kepala negara dan pimpinan nasional, maka bangsa kita telah kehilangan pedoman perjuangan menuju masyarakat adil dan makmur, seperti yang dicita-citakan oleh proklamasi 17 Agustus. Banyak orang makin melihat bahwa Bung Karno adalah ORANG BESAR pada zamannya, dan yang juga akan tetap terus besar dalam ingatan bangsa Indonesia, berkat perjuangannya dan juga gagasan-gagasannya.
Hanya karena politik Orde Barulah maka kebesaran Bung Karno ini dikerdilkan selama puluhan, atau bahkan dicoba untuk dihapus dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Tugas bersama kitalah, sekarang, untuk memberikan tempat yang selayaknya, atau semestinya, kepada Bung Karno kita ini.

Paris, 2 April 2001

(Catatan : tulisan ini bebas untuk diteruskan kepada siapa saja.Untuk hubungan E-mail : kontak@club-internet.fr). oleh A Umar Said

• Detik-detik proklamasi oleh Soekarno



Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima di Jepang, oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Syahrir memberitahu penyair Chairil Anwar tentang dijatuhkannya bom atom di Nagasaki dan bahwa Jepang telah menerima ultimatum dari Sekutu untuk menyerah. Syahrir mengetahui hal itu melalui siaran radio luar negeri, yang ketika itu terlarang. Berita ini kemudian tersebar di lingkungan para pemuda terutama para pendukung Syahrir.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.
Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.
Sementara itu Syahrir menyiapkan pengikutnya yang bakal berdemonstrasi dan bahkan mungkin harus siap menghadapi bala tentara Jepang dalam hal mereka akan menggunakan kekerasan. Syahrir telah menyusun teks proklamasi dan telah dikirimkan ke seluruh Jawa untuk dicetak dan dibagi-bagikan.
Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol no. 1. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 malam 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan UUD yang sehari sebelumnya telah disiapkan Hatta.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pengikut Syahrir. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka menculik Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, dan membawanya ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka langsung menuju ke rumah Laksamana Maeda di Jl. Imam Bonjol No. 1 (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) yang diperkirakan aman dari Jepang. Sekitar 15 pemuda menuntut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan melalui radio, disusul pengambilalihan kekuasaan. Mereka juga menolak rencana PPKI untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus.
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Letnan Jenderal Moichiro Yamamoto, komandan Angkatan Darat pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda dengan sepengetahuan Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan.
Setelah itu mereka bermalam di kediaman Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) untuk melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Rapat dihadiri oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56
Sebelumnya para pemuda mengusulkan agar naskah proklamasi menyatakan semua aparat pemerintahan harus dikuasai oleh rakyat dari pihak asing yang masih menguasainya. Tetapi mayoritas anggota PPKI menolaknya dan disetujuilah naskah proklamasi seperti adanya hingga sekarang.
Para pemuda juga menuntut enam pemuda turut menandatangani proklamasi bersama Soekarno dan Hatta dan bukan para anggota PPKI. Para pemuda menganggap PPKI mewakili Jepang. Kompromi pun terwujud dengan membubuhkan anak kalimat ”atas nama Bangsa Indonesia” Soekarno-Hatta.

Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi


Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di kediaman Soekarno, Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya

Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari otto iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Isi Teks Proklamasi

indo forum >>>