Dokter Cjipto Mangunkusumo
Lelaki Jawa ningrat yang namanya diabadikan sebagai Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) ini memang sosok yang sangat berani menentang penjajah. Dia rela menanggalkan kepentingan pribadinya untuk mengobati rakyat miskin yang tengah sakit. Dia membantu rakyat yang tengah mengalami kesulitan dan penderitaan, kendati dia sendiri tengah sakit keras. Dia pula yang dengan gamblang menentang penjajahan Belanda dan bersama dua rekannya mendirikan partai politik pertama di negeri ini, Indische Partij.
Seandainya saat ini Dr Cipto Mangunkusumo masih hidup, mungkin dia pula orang pertama yang akan berkunjung ke berbagai wilayah berkonflik, untuk merawat para pengungsi yang menderita berbagai penyakit. Kondisi seperti itu telah dibuktikannya, ketika pada tahun 1910 Kota Malang dilanda wabah pes. Saat itu wabah yang disebabkan oleh tikus ini menimbulkan banyak korban di kalangan rakyat kecil. Sementara Pemerintah Hindia Belanda sendiri, kewalahan menanggulanginya. Pasalnya, tak ada satu pun dokter pemerintah maupun dokter Eropa yang bersedia terjun ke sana dengan alasan takut terjangkiti pes.
Peristiwa itu membuat darah Cipto mendidih, jiwanya seperti ditusuk- tusuk melihat penderitaan rakyat yang mati sia-sia karena ketidakpedulian penjajah. Dengan nekat dan "tebal muka", dia pun kembali mendaftarkan diri menjadi dokter pemerintah Hindia Belanda --kendati sebelumnya dia telah mengundurkan diri-- untuk ditempatkan di daerah wabah pes.
Tanpa gentar maupun takut terkena wabah, Cipto yang saat itu berusia 24 tahun, terjun ke pelosok-pelosok desa untuk melakukan pengobatan, tanpa masker ataupun penutup hidung. Totalitas penyerahan dirinya kepada rakyat saat itu begitu terasa, tulus, dan tanpa pamrih. Meskipun akhirnya dia dianugerahi penghargaan bintang Orde Van Orange Nassau dari Pemerintah Hindia Belanda atas semua yang telah dilakukannya, namun penghargaan ini pun dikembalikannya setelah dia tidak diperbolehkan membantu rakyatnya, ketika wabah pes terjadi lagi di Solo.
Bukan hanya itu penyerahan dirinya, panggilan jiwa, dan ungkapan cintanya kepada rakyat. Ketika Cipto membuka praktik dokter di Solo, dia kerapkali memberi pengobatan gratis kepada pasien-pasiennya yang tak mampu membayar. Bahkan, kepada pasien yang benar-benar miskin, dia malah memberikan uang untuk membeli obat. Sehingga anggaran keuangan rumah tangganya selalu mengalami defisit. Namun hal ini tidak dipersoalkannya, dia sangat bahagia bisa membantu masyarakat yang sedang kesusahan.
Pemberontak Feodalisme
Lelaki yang welas asih ini dilahirkan di Desa Pancangan, Jepara, 4 Maret 1886. Dia terlahir dari keluarga bangsawan Jawa yang patuh pada adat istiadat. Nenek moyangnya, seorang bupati dari Yogyakarta sedangkan ayahnya seorang mantri sekolah yang terpandang dan berpikiran maju.
Cipto kecil adalah bocah yang tampan, bandel, namun cerdas. Kecerdasannya terbukti saat dia menjadi siswa terbaik dan paling berbakat di Europeesche Lageere School (setingkat SD) di usia 12 tahun. Dia pun menjadi lulusan nomor satu saat menjalani tes ujian menjadi Klein Ambtenaar (Pegawai Pangreh Praja).
Perlawanan Cipto terhadap feodalisme, mulai terlihat saat dirinya menolak menjadi Pegawai Pangreh Praja yang disembah-sembah dan disuruh menyembah-nyembah --perilaku adat yang menjadi kebanggaan tiap keluarga Jawa saat itu. Padahal kelulusannya itu dirayakan oleh sanak familinya dengan syukuran dan permainan wayang semalam suntuk. Namun menjadi orang terpandang dan dihormati bukanlah keinginannya.
Kekerasan jiwanya ternyata meluluhkan hati keluarga besarnya. Ayahnya pun menyekolahkan Cipto ke Sekolah Dokter Jawa STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di Weltevreden, Batavia pada saat itu. Di tempat ini Cipto langsung menarik perhatian kawan dan dosennya karena memiliki karakter khusus dan aneh.
Dia begitu istimewa dengan ketajaman pikirannya, rajin, pembawaan yang serius, tidak mau dikekang, dan suka kebebasan. Dia juga lebih suka mendengarkan ceramah, berpidato, dan membaca buku dibanding menghadiri pesta-pesta. Di usia yang baru 19 tahun, Cipto lulus dari STOVIA tahun 1905.
Setelah lulus, Cipto wajib menjalani masa dinas pemerintah. Pengalaman pertama, dia ditugaskan di Stads Verband, Glodok. Namun tugas ini tak lama dijalaninya, karena bentrok dengan bosnya. Cipto pun dipindahkan ke Amuntai, kemudian pindah lagi ke Banjarmasin karena ada perbedaan pendapat dengan Asisten Residen, dan terakhir Cipto terdampar di Demak.
Kepindahannya ini bukan tanpa alasan. Cipto termasuk sosok kontraversial yang tidak disukai pejabat setempat. Jiwanya yang revolusioner dan anti feodalisme sangat bertentangan dengan kondisi saat itu. Apalagi dirinya rajin menuangkan ide-idenya yang sarat kritik di Harian De Locomotief tahun 1907. Kritikannya begitu keras dan tajam. Dikatakannya bahwa feodalisme dan kolonialisme adalah sumber penderitaan bagi rakyat. Feodalisme membuat ruang gerak dan aktivitas masyarakat sangat terbatas.
"Dalam masyarakat feodal berlaku ketentuan bahwa keturunanlah yang menentukan nasib seseorang, sehingga anak desa akan tetap menjadi anak desa, yang tertinggal dari anak bupati atau kaum ningrat lainnya," imbuhnya kala itu.
Ada pula ulah menarik yang dilakukan Dr Cipto sebagai protes atas penghinaan dan penindasan tuan-tuan Belanda terhadap bangsanya. Suatu ketika Cipto datang ke stasiun menjelang datangnya kereta api cepat khusus untuk orang kulit putih. Setelah KA masuk stasiun, Cipto segera membeli karcis dan menyerahkan karcisnya kepada pengemis yang berpakaian compang-camping. Disuruhnya si pengemis naik kereta api tersebut. Karuan saja, sinyo dan noni-noni itu kaget, berteriak ke sana ke mari karena tak mau berbauran dengan pengemis pribumi.
Itulah salah satu aplikasi protesnya terhadap penjajah. Namun masih ada ulah yang lebih kontroversial lagi. Tanpa ragu, Cipto melepaskan ikatan dinasnya demi kemerdekaan dirinya dalam membela rakyat yang tertindas. Konsekuensinya, dia harus mengganti ongkos beasiswa yang jumlahnya cukup banyak.
Membentuk Indische Partij
Keluarnya Cipto dari ikatan dinas, membawanya keliling kota di Jawa, seperti Solo, Malang, dan Bandung. Banyak peristiwa dan hal berarti telah dilakukannya untuk masyarakat yang membutuhkan pertolongan. Di Solo, Cipto menikah untuk kedua kalinya (setelah perkawinan pertamanya gagal) dengan wanita Belanda yang penuh pengertian, Nyonya De Vogel.
Di Malang, dia bukan hanya membantu menanggulangi wabah pes tapi juga mengangkat seorang bayi perempuan yatim piatu yang diberi nama Pesjati. Dan yang fenomenal pada tahun 1912 di Bandung, dirinya bersama Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudhi), dan Suwardi Surjaningrat (Ki Hajar Dewantara) mendirikan organisasi politik pertama di Indonesia, yakni Indische Partij (IP).
Indische Partij menurut para pendirinya yang dikenal dengan sebutan "Tiga Serangkai" adalah sebuah batu loncatan untuk perubahan sistem kenegaraan pemerintahan Hindia Belanda. Aksi politik IP bersifat radikal, melawan eksploitasi kolonial, dan kekuasaan konservatif, memberantas diskriminasi ras serta melakukan oposisi revolusioner terhadap kekuasaan Belanda. Namun, keberadaan IP dilarang, karena dianggap membahayakan ketentraman umum.
Pun demikian, bukan berarti perlawanan Cipto pada penjajah berhenti. Melalui Harian yang dipimpinannya, De Expres, Cipto masih bersuara keras menentang pemerintahan Hindia Belanda dengan kritikan yang sangat pedas. Akibatnya, Cipto Mangunkusumo dibuang ke Pulau Banda dari Keresidenan Amboina. Namun kesepian di Pulau Banda mendorongnya memilih dibuang ke Belanda, bersama Suwardi Surjaningrat dan Douwes Dekker.
Tragisnya, udara dingin di Belanda, menyebabkan penyakit asma yang sejak lama diderita Cipto, semakin parah. Akhirnya Cipto diijinkan kembali pulang ke Solo. Dan luar biasanya, meski dalam keadaan sakit, dia tetap keluar masuk kampung dengan berjalan kaki ataupun naik sepeda untuk membantu rakyat yang sakit dan membutuhkan pertolongan.
Gelora perlawanan Cipto pun tak surut. Suaranya tetap keras membeberkan keburukan pemerintahan Hindia Belanda. Sifat revolusioner itu pula yang muncul saat dirinya menuntut pemerintah membentuk Dewan Rakyat (Volksraad). Maksudnya, agar ada lembaga yang betul-betul menghayati kehidupan rakyat dan menangis bersama dalam kesusahan.
Meskipun akhirnya pemerintah Hindia Belanda saat itu membentuk Dewan Rakyat seperti tuntutan Cipto, namun lelaki yang keras hati itu terus mengkritik, sampai ke soal proses pemilihan. Tak pelak, jadilah Cipto kembali dibuang, tahun 1920. Kali itu, dia menjadi tahanan kota di Bandung. Untunglah, di Kota Kembang itu Cipto bertemu Ir Soekarno dan ikut membidani lahirnya Partai Nasional Indonesia (PNI).
Akhir tahun 1926, Cipto dipindahkan lagi ke Pulau Banda, Makasar, atas tuduhan ikut terlibat secara tidak langsung dengan gerakan komunis. Tahun 1940, Pemerintah memutuskan untuk memulangkan Cipto ke Sukabumi karena kondisi kesehatannya yang memprihatinkan dan penyakit asmanya yang kian parah.
Segala upaya dilakukan agar Cipto kembali sehat. Dengan ditangani dokter ahli dan memindahkannya ke beberapa tempat yang nyaman. Namun tetap saja kondisinya tak berubah, sehingga dia pun dipindahkan lagi ke Jalan Gereja No.180, karena penyakitnya yang bertambah parah. Hampir setiap hari dia mengigau dan berteriak-teriak karena rasa sakit yang tak tertahankan. Kondisi Cipto sangat memprihatinkan, kurus dan sudah tak mampu lagi mengenali orang-orang yang menjenguknya.
Sampai pada suatu tengah malam, 8 Maret 1943, empat hari setelah ulang tahunnya, Dr Cipto Mangunkusumo meninggal dunia di Jang Seng, yang sekarang menjadi RS Husada, Jakarta.
Usai sudah perjuangan Dr Cipto Mangunkusumo. Namun semangat pengabdian dan cinta kasihnya pada masyarakat miskin yang sakit dan butuh pertolongan, hingga kini tak pernah lekang. Wajarlah, jika dirinya diabadikan sebagai simbol kesehatan rakyat miskin, melalui Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo. Rumah sakit yang menjadi satu-satunya pusat rujukan nasional, yang identik dengan "rumah sakitnya orang miskin".