Penggulingan Soekarno oleh Soeharto ( bagian 1 )
Profesor Peter Dale Scott (PDS) melalui paper-nya mengungkapkan campur tangan Amerika Serikat dalam pengulingan Presiden Soekarno dengan cara kotor dan berdarah tahun 1965-1967. Seluruh catatan dalam periode yang sulit dimengerti akan tetap berada di luar jangkauan analisis yang terlengkap sekalipun. Fakta sesungguhnya yang terjadi tidak terdokumentasi; dan sementara dokumentasi yang beredar ditemukan banyak kontroversial dan tidak teruji faktanya. Pembantaian pengikut Soekarno yang beraliran kiri (sosialis) merupakan hasil dari konspirasi politik yang meninggalkan ketakutan (paranoid atau phobia) yang meluas, dan menjadikan ini suatu tragedi yang melampaui dari tujuan suatu kelompok atau koalisi.
Dalam hal ini, Dale Scott tidak hanya memberi kesan bahwa provokasi dan kekerasan pada tahun 1965 hanya berasal dari militer Indonesia yang beraliran kanan yang telah bekerja sama dengan Amerika Serikat, bersama (termasuk penting, tapi jarang disebut/diuraikan) intelijen Inggris, Jerman dan Jepang. Namun dari keseluruhan papernya, Dale Scott menemukan peristiwa ini sebagai konspirasi yang rumit dan terselubung. Kompleksitas dan ambiguistias sejarah pembantaian berdarah Indonesia 1965-1967 yang sesungguhnya masih lebih sederhana dan mudah dipercaya oleh masyarakat daripada sejarah versi dari Presiden Soeharto dan Permerintahan Amerika Serikat.
Klaim mereka (versi Soeharto dan Pemeritahan Amerika) yang masih bermasalah itu menjelaskan bahwa pada 30 September 1965, sebuah gerakan yang disebut sebagai Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) melakukan kudeta (pembunuhan 6 jenderal militer), merupakan gerakan penyerangan “kiri” terhadap “kanan”, lalu memberi legalitas restorasi kekuasaan yang diikuti oleh usaha pembantaian golongan kiri oleh golongan tengah. Dalam skenario ini, Soeharto menempatkan dirinya sebagai sosok golongan “tengah” (padahal Soeharto dan AH Nasution merupakan sosok kanan, sementara Jenderal Ahmad Yani merupakan sosok tengah) atau istilah yang digunakan politikus era saat ini adalah “politik jalan tengah”. Ini semata-mata hanya menjadi “kendaraan” simpatik sekaligus pengelabuan kepada rakyat yang mana sesungguhnya mereka sedang berkonspirasi dengan kekuataan asing yakni Amerika Serikat cs atau lebih tepatnya “golongan kanan yang tulen”.
**************
Dengan berusaha menelusuri data-data Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) khususnya bukti yang mendiskreditkan tesis anti-PKI, Dale Scott melalui penelusuran dokumen Coen Holtazappel “The 30 September Movement“, maka didapatkan suatu kesimpulan bahwa gerakan 30 September 1965 merupakan gerakan konspirasi yang berpura-pura melakukan kudeta, padahal yang melakukan sekaligus merancang konpirasi ini adalah golongan kanan “tulen” Angkatan Darat dengan maksud untuk menghabisi golongan tengah militer terlebih dahulu.
Golongan kanan tulen ini adalah Soeharto dan AH Nasution yang anti-komunis (terlibat dalam hal ini adalah Sarwo Edhi). Sedangkan golongan tengah militer adalah mereka yang loyal tapi kritis terhadap Soekarno dan Pancasila, yang tidak bersekutu dengan PKI ataupun Amerika. Mereka adalah 6 Jenderal yang dibunuh. Dengan kudeta “pura-pura”, setelah golongan tengah Angkatan Darat dihabisi, maka golongan kanan dengan mudah merintis pembersihan golongan kiri (termasuk rakyat sipil) dengan slogan dan provokasi. Habisnya golongan tengah dan sipil kiri merupakan rencana langkah-langkah yang harus diambil demi mengukuhkan serta membentuk pemerintahan militer diktator. [catatan: ini juga terjadi di negara Chile yang mana Jenderal Pinochet bertindak seperti Soeharto].
Dalam paper Dale Scott, ia berkesimpulan bahwa dalam konspirasi “Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno, 1965-1967″ ditemukan tiga tahapan besar yakni:
Gestapu- 30 September 1965 : merupakan “kudeta” yang dilakukan oleh sayap kiri “gadungan”
KAP-Gestapu : yakni gerakan anti Gestapu dengan membantai PKI beserta ratusan ribu orang simpatisan PKI sebagai the dead of socialism.
Pendegradasian Pengaruh dan Kekuasaan Soekarno : secara terus menerus hingga tidak bersisa, hingga rakyat tidak diperbolehkan belajar atau mengikuti ajaran Bung Karno.
Pemaparan Dale Scott hanya membahas dua dari tiga phasa besar ini yakni phasa KAP-Gestapu dan Pendegradasian pengaruh dan kekuasaan Soeharto. Sedangkan phasa pertama, menurut penulis istilah kudeta pada tahap pertama bersifat fiktif, karena tidak adanya bukti-bukti pengambilalihan kekuasaan pada tahap ini oleh PKI. Buktinya Presiden Soekarno tidak digulingkan pada 30 September – 1 Oktober 1965 oleh PKI. Justru, Presiden Soekarno digulingkan oleh Soeharto cs setelah Gestapu-30 September dalam rangkaian “3 tahapan konspirasi”.
Ratusan orang dieksekusi secara massal
Sebelum membahas keterlibatan Amerika Serikat yang oleh CIA sendiri menyebut peristiwa 1965 sebagai “salah satu pembunuhan massal terburuk sepanjang abad 20″, marilah kita flash back kembali masalah-masalah apa saja yang menghantar terjadinya pembunuhan massal terburuk ini.
Menurut Harold Crouch, menjelang tahun 1965, staf umum Angkatan Darat (AD) Indonesia pecah menjadi dua kubu. Jauh sebelumnya, para jenderal tersebut (baik tengah maupun kanan) adalah anti-PKI, namun menjelang 1965 para jenderal ini pecah menjadi dua kubu pasca memburuknya kondisi kesehatan Soekarno (yang mana Soekarno jatuh pingsan). Kedua kubu tersebut adalah:
Kubu Tengah AD IndonesiaKubu tengah adalah kelompok yang tetap loyal pada Soekarno, namun disisi lain mereka menentang kebijakan Soekarno tentang Persatuan Nasional (Nasakom) dimana PKI masuk dalam kekuatan nasional tersebut.Kubu tengah dipimpin oleh Jenderal Ahmad Yani dan diikuti kawan-kawannya.
Kubu Kanan AD IndonesiaKubu kanan merupakan mereka yang menentang kebijakan Soekarno maupun Ahmad Yani yang tetap loyal pada Bung Karno. Kubu ini dipimpin oleh AH Nasution dan Soeharto yang anggotanya diantaranya adalah Basuki Rachmat dan Sudirman dari Seskoad.
Kisah penggulingan Soekarno yang sederhana (dan belum terungkap secara menyeluruh) adalah ketika musim “gugur” (September) 1965, Ahmad Yani beserta kelompok intinya dibunuh, hal yang kemudian menjadi jalan “legal” bagi upaya merebut kekuasaan oleh kekuatan-kekuatan anti-Yani (dan yang pasti juga adalah anti Soekarno yang melindungi PKI) dari kubu sayap kanan yang berafiliasi dengan Soeharto. Kunci perebutan kekuasaan ini adalah apa yang dinamakan “coup” (kudeta) 30 September, yang berdalih bahwa menyelamatkan Soekarno, namun sesungguhnya target utama “kudeta” tersebut adalah membunuh para jenderal besar AD yang paling loyal terhadap Soekarno yakni kelompok Ahmad Yani.
Hal ini dapat ditelusuri dari pertemuan AD yang berlangsung pada bulan Januari 1965 yang dihadiri oleh petinggi AD termasuk didalamnya adalah A Yani dan tidak terkecuali Soeharto. Pada pertemuan tersebut, ada sekelompok petinggi AD yang kecewa (tidak senang) dengan Ahmad Yani dan pendukungnya. Dan pertemuan Januari 1965 menjadi petaka para jenderal yang loyal terhadap Soekarno.
Sebagai informasi, pada pertemuan Januari 1965, terdapat wacana untuk merebut kekuasaan ketika kondisi Presiden Soekarno memburuk untuk mencegah jatuhnya kekuasaan pada kelompok PKI. Namun rencana kudeta ini ditolak oleh Ahmad Yani. Pendapat A Yani didukung oleh empat orang petinggi AD lain yang masuk dalam kubu Yani. A Yani bersama 4 jenderal lain yang mendukung pendapat Yani pada pertemuan Januari 1965 dibunuh pada 1 Oktober 1965. Sebaliknya, mereka yang termasuk dalam kelompok Anti-Yani, justru bebas dari “kudeta” 30 September 1965. Dari kelompok yang anti Yani pada pertemuan Januari 1965, setidaknya 3 orang diantaranya yakni Soeharto, Basuki Rachmat dan Sudirman dari Seskoad menjadi tokoh utama yang menumpas “golongan kiri” dan golongan A Yani yang loyal pada Soekarno.
Tidak seorang Jenderal yang anti Soekarno pun yang menjadi target “kudeta 30S“, dengan satu pengecualian yakni Jenderal AH Nasution. Namun perlu dicatat bahwa AH Nasution “dapat” bebas dari pembunuhan disisi lain anaknya Ade Irma Suryani dan ajudannya Lettu Pierre Tendean yang dibunuh. AH Nasution berhasil melarikan diri tanpa mengalami luka berat, dan kemudian mendukung gerakan pembasmian PKI dan ideologi Soekarno pasca 30S.
Menjelang tahun 1961, CIA dikecewakan oleh AH Nasution yang semula dianggap sebagai “aset/orang” yang handal, namun kemudian dalam beberapa catatan ternyata AH Nasution tetap taat kepada Soekarno dalam berbagai kebijakan penting. Dan menjelang tahun 1965, kekecewaan ini sangat terasa bagi pihak yang mengoposisi AH Nasution, setelah bukti keterlibatan Amerika Serikat dalam perpecahan Vietnam. Lalu bagaimana track record hubungan Soeharto vs Nasution sampai-sampai AH Nasution sempat menjadi sasaran target “kudeta Gestapu”?
Pada tahun 1959, AH Nasution memeriksa kasus dugaan tindakan korupsi yang dilakukan Soeharto. Karena kasus ini, Soeharto diberi sanksi dengan memindahtugaskan Soeharto sebagai Panglima Diponegoro. Akibat kejadian 1959, hubungan Soerharot dan AH Nasution cukup “dingin”. [Crouch, The Army, p. 40; Brian May, The Indonesian Tragedy (London: Routledge and Kegan Paul, 1978), pp. 221-2.]
**************
Pernyataan Distorsi : Skenario Membalikkan Fakta Sudah Direncankan Sejak Awal
Salah satu hal yang paling tidak manusiawi adalah mereka yang berusaha mendistorsi fakta realitas dengan mengkambinghitamkan suatu kejadian serta menggiring opini publik ditengah keruhnya suasana. Suka mempolitisir suatu peristiwa dengan alasan yang tidak korelatif. Misalnya kasus Bom Ritz Carlton.
Sejak awal pasca pembunuhan 6 Jenderal besar yang loyal terhadap Soekarno, telah beredar pernyataan-pernyataan yang berusaha mendistorsi dengan realitas. Pernyataan Letkol Untung mengenai “Gestapu”, begitu juga distorsi ini oleh Soeharto dengan menginstruksikan pembasmian kelompok sosialis. Pada tanggal 1 Oktober 1965, Letnan Kolonel Untung mengumumkan kepada publik bahwa pada hari ini (1 Oktober 1065), Soekarno dilindungi (tawan) oleh kelompok Gestapu (PKI). Padahal pada tanggal 1 Oktober 1965, Soekarno tidak di”lindungi” oleh PKI. Ini sudah pernyataan yang didistorsi.
Belum sampai disana, pada persidangannya Letkol Untung juga mengatakan bahwa para jenderal (yang tewas dalam konspirasi Gestapu) dengan dukungan CIA merencanakan kudeta pada tanggal 5 Oktober 1965, karena telah disiagakannya pasukan militer dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Barat ke Jakarta. Padahal sesungguhnya, pasukan-pasukan militer tersebut disiapkan di Jakarta untuk parade hari ABRI 5 Oktober 1965.
Untung sengaja tidak mengatakan hal yang sesungguhnya, padaha ia masuk dalam panitia persiapan peringatan hari ABRI tersebut. Dan lebih dashyatnya, padahal dia sendiri yang telah mengambil bagian dalam memilih kesatuan-kesatuan pasukan untuk parade hari ABRI tersebut. Untung juga tidak mengatakan bahwa kesatuan-kesatuan yang terpilih itu (termasuk bekas Batalion-nya yakni Batalyon 454/Banteng Raiders) telah menyediakan sekutu-sekutu untuk melakukan pembunuhan para Jenderal. Lalu, Letkol Untung dieksekusi mati dengan fakta persidangan yang absurd.
Namun ada catatan yang sering terlupakan dalam sejarah bahwa Letkol Untung (Pasukan Tjakrabirawa) yang melakukan “kudeta gadungan” memiliki hubungan khusus dengan Soeharto. Untung adalah anak buah Soeharto, dan Soeharto bersama Tien Soeharto pada tahun 1965 melakukan perjalanan panjang untuk sekadar menghadiri pernikahan Untung di Kebumen dari Jakarta. Lalu, mengapa Untung begitu bodoh melakukan kudeta yang kemudian Soeharto pula yang menghabisi nyawanya?
Bagaimana distorsi Soeharto?Sesaat penculikan dan pembunuhan para Jenderal yang loyal terhadap Soekarno, tanpa bukti jelas Soeharto menuduh PKI + Angkatan Udara RI (AURI) melakukan pembunuhan enam jenderal. Lalu mengkambinghitamkan sekaligus memvonis hukuman mati (namun pada akhirnya dipenjara 29 tahun) Marsekal Madya Omar Dhani pada Desember 1966 (Almarhum meninggal pada 24 Juli 2009 silam) yang loyal terhadap Soekarno [
wawancaranya bisa dibaca di sini]. Alasan Soaharto menghubungkan Omar Dhani dalam peristiwa Gestapu hanya karena lokasi mayat-mayat para jenderal ditemukan di Lubang Buaya di dekat Bandara Halim Perdana Kusuma. Disamping itu, Soeharto menghubungkan Omar Dhani karena para Gerwani melakukan latihandi kawasan dekat Halim Perdana Kusuma.
Padahal, pada saat itu, sesungguhnya Soeharto mengerti betul bahwa pembunuhan para jenderal itu dilakukan oleh unsur-unsur AD yang ditunjuk oleh Letkol Untung (sahabat dekat Soeharto sendiri). Untung pernah ditempatkan sebagai prajurit di bawah komando Soeharto. Fakta ini semakin jelas dari pernytaan Soeharto sendiri, “Dalam perjalan saya ke Mabes Kostrad (markasnya Soeharto), saya berpapasan dengan prajurit Baret Hijau (Pasukan Untung) yang telah ditempatkan dibawah Komando Kostrad (komando Soeharto), namun mereka tidak memberi hormat pada saya”.
Catatan: Batalyon Infanteri (Yonif) 454/Banteng Raiders yang menjadi pasukan pendukung Untung dalam Gestapu sesungguhnya merupakan pasukan Raiders yang dilatih dengan bantuan dana dari Amerika Serikat. Dari korelasi ini, sangatlah mungkin pasukan Raiders (Untung) – Amerika – Soeharto menjadi satu kesatuan dalam konspirasi ini
Tulisan ini saya ambil dari cuplikan paper dari Prof Peter Dale Scott dengan judul
The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967. Tulisan tersebut merupakan investigasi mendalam dari berbagai sumber yang disusun bertahun-tahun dan pertama kali di publikasikan pada Desember 1984. Peter Dale Scott adalah profesor di Universitas California di Berkeley dan juga anggota Dewan Penasehat
Penggulingan Soekarno oleh Soeharto ( bagian 2 )
Jadi, dengan demikian apapapun motivasi Gestapu (G 30 S) oleh personal-personal seperti Untung, Gestapu ini ber”mata dua”. Baik pidato maupun gerakan-gerakan bukan merupakan hal-hal yang janggal, justru merupakan tindakan yang terencana yang dipersiapkan untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan ‘bermata dua” ini. Sebagai contoh, keputusan Gestapu untuk menjaga semua sisi Istana Merdeka Jakarta, kecuali Markas Kostrad (Soeharto) adalah konsisten dengan keputusan personal Gestapu untuk menjadikan jenderal-jenderal Angkatan Darat (AD) sebagai sasaran tunggal, yaitu para jenderal yang diperkirakan akan menentang usaha-usaha kudeta oleh Soeharto.
Ditambah lagi, pengumuman pengambilalihan kekuasaan yang diumumkan oleh Gestapu atas nama “Dewan Revolusi” yang penuh khayalan didesain untuk mengucilkan Soekarno, dan sebaliknya Soeharto diberi peluang seolah-olah membela Soekarno, padahal pada masa-masa selanjutnya, justru Soeharto menggulingkan Soekarno agar Bung Karno tidak dapat memegang kembali roda pemerintahan. Yang lebih penting adalah pembunuhan para Jenderal secara serampangan oleh Gestapu di dekat pangkalan AURI, yang mana sebelumnya menjadi tempat latihan bagi pemuda PKI, menjadikan alasan untuk melegalkan Soeharto manuvernya, yang mengalihkan tanggungjawab pembunuhan itu dari pasukan-pasukan yang di bawah komandonya sendiri (Soeharto tahu sendiri gerakan Untung, pasukan dibawahnya) yang telah menculik orang AURI dan PKI.
Dari laporan CIA tahun 1968, disebutkan bahwa hanya sedikit pasukan yang terlibat dalam pemberontakan Gestapu yang ‘terselubung’. Dan yang lebih penting bahwa baik di Jakarta maupun Jawa Tengah, sebelum Gestau CIA menyebutkan bahwa terdapat batalyon-batalyon yang dipersiapkan untuk melakukan pemberontakan. Namun, pada faktanya, justru pasukan-pasukan inilah yang membunuh ratusan ribu orang simpatisan dan yang terlibat dalam PKI.Namun perlu dicatat bahwa 2/3 dari pasukan Paramiliter (yang telah diinspeksi langsung oleh Soeharto 1 hari sebelum G 30 S terjadi), ditambah 1 kompi pleton merupakan seluruh kekuatan Gestapu di ibukota Jakarta. Semua kesatuan itu (kecuali ada satu unit), semuanya dipimpin oleh para perwira atau mantan perwira dari Divisi Diponegoro, yang mana Soeharto sebelumnya menjadi Panglima Divisi Diponegoro...(!!!) Dan kesatuan yang memback-up dibawah langsung oleh Brigjend Basuki Rahmat, seorang loyalis Soeharto.
Amerika Serikat dan Pasukan Khusus AD
Perlu diulas kembali (baca :
bagian 1), sejak tahun 1962, dua pasukan elit Raider yakni Batalyon 454 dan Batalyon 530 merupakan salah satu pasukan utama Indonesia yang mendapat bantuan militer dari Amerika Serikat. Pasukan-pasukan yang mendapat dukungan bantuan AS inilah yang menjadi motor Gestapu sekaligus menjadi penumpas Gestapu. Dan dibawah komando Soeharto, gerakan Gestapu yang diberitakan begitu ‘dahsyat’, ternyata dapat dikendalikan Soeharto dalam kurun waktu kurang 24 jam tanpa melepaskan tembakan di ibukota (tidak ada pertumbahan darah), kecuali tembak-menembak yang terjadi antara Batalyon 454 (Baret Hijau) dengan RPKAD (Baret Merah) di kawasan Halim – Jakarta Timur. (???!!!)
Dari fakta ini, kita dapat melihat adanya keterlibatan Amerika dalam Gestapu dan penumpasan Gestapu sekaligus menyebarkan ke media sebagai kejahatan ideologi komunis (ketika itu, Amerika dan Soviet sedang perang ideologi : liberalisme vs komunisme). Fakta yang lebih jelas : sebagian besar pemimpin G 30 S adalah lulusan pendidikan dari Amerika Serikat. Pemimpin G 30 S di Jawa Tengah, Suherman, baru saja pulang dari latihan Front Leaveworth AS dan Okinawa Jepang, lalu bertemu dengan Letnan Kolonel Untung dan Mayor Sukirno serta Batalyon 454 pada pertengahan Agustus 1965. Dan berdasarkan analisis Ruth McVey, diterimanya Suherman untuk mengikuti latihan militer di Fort Leavenworth berarti bahwa Suherman telah lulus (welcome) dari para pejabat CIA.
Jadi, ada konektivitas antara usaha Gestapu dengan penumpasan Gestapu oleh Soeharto, yang mana dengan dalih menyelamatkan Presiden Soekarno, Soeharto sebenarnya meneruskan tugas Gestapu menghabisi anggota-anggota SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) yang pro-Letnan Jenderal A Yani. Kemudian, langkah yang tak kalah hebohnya adalah menyingkirkan sisa-sisa pendukung Bung Karno. Dari 6 perwira SUAD yang telah diangkat Letjend A Yani, tiga orang pertama yakni Suprapto, DI Pandjaitan dan S Parman dibunuh pada G 30 S. Dari 3 orang yang ’selamat’, 2 dari 3 orang lainnya yakni yakni Mursyid dan Pranoto akhirnya disingkirkan oleh Soeharto 8 bulan pasca G 30 S. Dan orang terakhir dari Staf Letjend A Yani yakni Jamin Ginting, digunakan Soeharto selama menegakkan Orde Baru dan kemudian akhirnya diabaikan.
Bagian terbesar yang sesungguhnya dari tugas-tugas konspirasi ini adalah melengapkan PKI dan pendukung-pendukungnya, melalui pertumbahan darah yang memakan lebih dari 1/2 juta jiwa, yang telah diakui oleh beberapa sekutu Soeharto. Ketiga peristiwa ini – Gestapu, Penumpasan Gestapu oleh Soeharto serta pertumbuhan darah — hampir selalu ditulis dalam sejarah dengan jalan cerita masing-masing dengan motivasi sendiri-sendiri.
Meskipun beberapa jurnalis internasional berusaha memberitakan kejadian pembantaian para simpatisan PKI apa adanya, tulisan mereka yang di fax lalu diedit oleh kantor cabang di Singapura sebelum dikirim ke Eropa dan Amerika. Dan pada kenyataan ini, ada sejumlah pejabat, jurnalis dan peneliti Amerika yang berafilisiasi dengan CIA, secara langsung maupun tidak langsung pada dasarnya bertanggungjawab terhadap pertumbahan darah melalui propaganda sehingga menimbulkan reaksi rakyat secara spontan. Dan dalam salah satu kesempatan, Dube Amerika Serikat di Indonesia, Howard Jones mengakui bahwa terjadi pembantaian PKI secara besar-besaran (carnage), dan Amerika Serikat mengaminin hal tersebut.
Meskipun ada keterlibatan PKI dalam krisis politik 1965, Crouch menunjukkan bahwa terjadi pemberitaan yang berlebihan atas aktivitas PKI, disisi lain fakta pembantaian yang 1/2 juta orang tidak pernah diberitakan ke publik. Pembunuhan secara sistem kepada ratusan ribu rakyat tanpa sistem pengadilan menciptakan trauma psikologis bagi masyarakat yang mendukung atau menjadi loyalis Bung Karno. Aksi-aksi pembantaian para petani, buruh yang pernah mendapat bantuan dari organisasi PKI (yang tidak tahu-menahu kasus G 30 S) menjadi korban pembantaian. [Download Video Dokumentasi :
Shadow Play]
Sementara, aksi Kolonel Sarwo Edhie, sebagai Komando RPKAD dari Jakarta menuju Jawa Tengah, Jawa Timur dan akhirnya Bali sudah semestinya menjadi catatan tersendiri dalam sejarah. Dalam pembantaian di Bali, seorang jurnalis yang dekat dengan sumber resmi AD, mendapat pengakuan bahwa “AD-lah (RPKAD) yang telah mencetus pembantaian”-ini. Gerakan ini sangat jelas ketika RPKAD tiba di Jatim, maka menjadi titik awal pembantaian di provinsi tersebut. Orang-orang sipil yang terlibat dalam pembunuhan massal ini dikerahkan dari kelompok-kelompok setempat yang dilatih dan/atau diback-up oleh AD (sebagai contoh: SOKSI yang mendapat sponsor dari AD dan CIA, serta gerakan politik dari organisasi kemahasiswaan), yang mana selama bertahun-tahun telah bekerja sama dengan AD mengenai masalah-masalah politik.
Dari catatan Sundhaussen, sangat jelas terjadi pembunuhan massal yang terorganisir du sebagian besar daerah seperti Sumatera Utara, Aceh, Cirebo, seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pengorganisasian ini dilakukan melalui komando AD setempat yang sangat anti dengan PKI. Masih dalam laporan Sundhaussen, diketahui pula bahwa banyak diantara komandan AD di daerah-daerah yang disebut di atas sebelumnya selama bertahun-tahun telah bekerja sama dengan orang-orang sipil, melalui apa yang dinamakan “Civic Action” (Gerakan Rakyat) yang didanai oleh Amerika Serikat, yang ditujukan untuk operasi kepada PKI dan beberapa diantaranya ditujukan ke Soekarno. Dengan demikian, bisa dicurigai adanya suatu konspirasi dengan melihat banyaknya kenyataan bahwa ‘respon sipil’ yang anti-PKI telah dimulai pada 1 Oktober yang mana Angkatan Darat mulai membagi-bagikan senjata kepada mahasiswa Islam dan anggota Serikat Buruh Islam. [Informasi Dokumentasi Video dapat dilihat
SINI], sebelum adanya pembuktian yang benar tentang tersangkutnya PKI dalam Gestapu.
Meskipun Sundhaussen berusaha menunjukkan peranan AD sekecil mungkin dalam mempersenjatai dan menghasut kelompok pembunuh rakyat secara massal, Sundhaussen menyimpullkan bahwa bagaimanapun kuat rasa benci dan rasa takut terhadap PKI, namun tanpa propaganda anti PKI oleh AD, maka pembunuhan massal terhadap rakyat-rakyat yang tidak tahu menahu dengan G30S itu tidak akan terjadi.
Dan dalam tulisan ini selanjutnya akan menelusuri pendapat bahwa rangkaian 3-peristiwa (Gestapu, respons Soeharto, dan pembantaian) merupakan bagian dari konspirasi besar dalam pengambilalih kekuasaan oleh militer, menjadi bagian awal dari skenario AS dalam meruntuhkan pengaruh komunisme dunia dengan terjadinya kembali Penggulingan Presiden Allende oleh Jenderal Pinnochet pada tahun 1970-1973 di Chile. (dan kasus yang mungkin terjadi juga di Kamboja 1970 ).
Dalam analisis ini, Soeharto menjadi tokoh penting dalam skenario ini : peran ganda (berwajah dua) Soeharto seolah berdiri sebagai penegak konstitusi dalam status quo, namun pada kenyataannya justru bergerak secara terencana untuk merebut kekuasaan Soekarno. Kondisi yang dapat dipersamakan dengan perebutan kekuasaan oleh Jenderal Pinochet yang menggulingkan sosok pemimpin populis Chile yakni Presiden Allende. Namun, peran yang lebih langsung dalam mengatur pertumpahan darah telah dimainkan oleh orang-orang sipil dan perwira yang dekat dengan kader-kader pemberontakan CIA yang gagal pada tahun 1958 (pemberontakan PRRI-Semesta), yang kemudian beralih dala program “Civic Action” yang dibiayai dan dilatih oleh Amerika Serikat.
Selain dari data-data diatas, Peter Dale Scott juga membuktikan bahwa ada unsur-unsur negara lain (selain Amerika Serikat) yang mendukung gerakan Soeharto. Beberapa negara yang ikut dalam penumpasan PKI dan penggulingan Soekarno adalah Japan, Inggris, Jerman, dan terakhir ada kemungkinan Australia. Pada tahun 1965, Badan Intelijen Jerman membantu Badan Intelijen Militer Indonesia untuk menumpas sayap kiri “Putsch” di Jakarta dengan mengirim senapan-senapan, perlengkapan radio dan uang bernilai 300.00 Mark. (Heinz Hoehne and Hermann Zolling, The General Was a Spy [New York: Bantam, 1972], p. xxxiii). Peter Dale Scott dalam hal ini hanya fokus pada pada pembantaian massal dari angkatan darat yang mendapat dukungan dan dorongan dari Amerika Serikat, CIA, militer, RAND, Ford Foundation, dan individu perseorangan.
Salam Perjuangan, 16 Agustus 2009